Imam Al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thus Syafi’i (1058 – 1111 M), seorang sufi besar dan dikenal sebagai filosof sekaligus teolog muslim Persia. Perjalanan hidupnya dirangkum dalam sebuah film dokumenter yang berjudul Alchemi of Happiness—sebuah film pendek yang menggetarkan hari karena kisah pencariannya terhadap Allah Ta’ala. Bagaimana kisah selengkapnya?
Wartapilihan.com, Jakarta – Film yang disutradarai oleh Ovidio Salazar yang berdurasi 01: 19: 11 ini berkisah tentang perjalanan Al-Ghazali dalam melakukan perjalanan spiritual untuk menemukan dirinya-sendiri. Seperti yang tercantum dalam sebuah Hadits “Barangsiapa yang menemukan dirinya, maka ia menemukan Tuhannya,”.
Awalnya, ia adalah seorang guru yang bisa dibilang sangat mumpuni di bidangnya. Jika disamakan dengan jaman ini, ia seperti “seorang bintang idola” yang disukai oleh banyak orang. Ia mengetahui ilmu hadits, fiqih, filsafat dan sains—yang pada saat itu, ilmu tersebut sangat menjadi “tren”. Selain terpandang sebagai ulama, ia juga memiliki kekayaan karena jubah kebesarannya tersebut.
Hingga suatu hari, Al-Ghazali dirampok dalam perjalanan. Al-Ghazali berkata jangan mengambil buku catatannya yang tebal, karena baginya sungguh berharga. Namun kemudian, perampok heran. Kemudian perampok itu berkata “Jadi, yang perlu aku lakukan untuk menghapus ilmumu hanya dengan mengambil bukumu?” sindirnya. Maka, ia pun tidak jadi mengambil buku itu.
Al-Ghazali pun tersentak. Semenjak itu terjadi, seluruh buku ia hafalkan di luar kepala tanpa sisa. Tetapi kemudian, ia tersadar, ketika itu dia hanya mampu hafal akan segalanya, tetapi belum memahami ataupun membuktikan kebenaran yang selama ini ia ajarkan. Ia takut diadzab karena kepandaiannya bicara, namun tidak memahaminya.
Sampai suatu waktu, ia tidak menjadi bisu dan tidak bisa berbicara sama sekali. Walau sudah berobat ke berbagai tabib, mereka menyatakan bahwa ada penyakit yang tidak dapat dideteksi. Ia sakit, tetapi tidak sakit. Karena kejadian itu, ia akhirnya mulai memutuskan untuk ber-uzlah (mengembara). Ia hendak tempuh suatu eksperimen, apakah semua hal yang diajarkannya itu bisa ia alami sendiri. Ia pun pergi dari Baghdad sampai Damaskus, Syiria—menempuh perjalanan 10 tahun lamanya, meninggalkan anak dan istri demi sebuah pencarian akan kebenaran.
Ia pun bersaksi, hal-hal yang telah berhasil ia hafal tidak ada apa-apanya dibandingkan ia beruzlah selama bertahun-tahun, melakukan penyucian batin dengan keledai, melewati gurun dan padang pasir yang panas dan ganas. Akhirnya, ia telah naik haji dan kembali lagi ke Baghdad. Ia pulang kepada istri, anak dan keluarga, serta kembali mengajar. Tetapi, tentu dengan kesadaran yang berbeda.
Hal yang menarik, menjelang kematiannya setelah shalat subuh, ia panggil adiknya untuk meminta kain kafan. Ia bilang, “Hari Senin sudah tiba,” ia berseru, “Ya Rabb, aku taat, dengan senang hati,” katanya. Ia menggunakan kain kafannya sendiri dengan berbaring tidur di kasurnya, bersiap akan kematian. Di sampingnya ada sebuah buku, yang ditulis langsung oleh tangannya Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa).
Film ini sangat patut untuk ditonton agar mendapatkan pencerahan dan perenungan akan kehidupan. Film ini mengingatkan kita untuk senantiasa mencari kebenaran yang sejati, hingga menemukan makna kehidupan sesungguhnya. Cocok juga untuk mengisi liburan Anda dengan film yang bermanfaat dan berfaedah seperti ini. ||
Eveline Ramadhini