Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Situs resmi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) — https://www.uny.ac.id – pada 8 Agustus 2020 menurunkan sebuah artikel berjudul: “SI UDIN (MANUSIA MARBOT), SEMOGA MENJADI INSPIRASI KITA.” Artikel ini memuat kisah “Si Udin”, seorang marbot masjid, yang kemudian menjadi profesor. Berbagai media online juga memuat kisah “Si Udin” ini.
Baiklah kita kutip untaian kata-kata dalam artikel tersebut.
“Sekelumit judul, yang nampaknya sederhana, tetapi membawa makna yang luar biasa. Si Udin (Manusia Marbot) semoga menjadi inspirasi kita bersama terutama bagi dosen dan para guru. Hal ini disampaikan oleh Rektor UNY, Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. dalam sambutan pada Pengukuhan Guru Besar, pada hari Sabtu, (8/8) di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta. Guru Besar yang dikukuhkan adalah Prof. Dr. Sri Wening, M.Pd., dan Prof. Ir. Moh. Khairudin, M.T., Ph.D.
Sutrisna membaca dan meramu sebuah kisah dari judul “Sebuah Inspirasi Dari Masjid Jogja: UDIN, yang tidak lain adalah Prof. Dr. Ir. Moh. Khairudin, M.T. dalam perjalanan hidupnya, yang diawali kisahnya dari seorang marbot, akhirnya menjadi seorang profesor, gelar tertinggi dari jabatan seorang dosen.” …
Rektor UNY itu mengutip tulisan Falasifah Ani Yuniarti, berjudul: “UDIN dari MARBOT MASJID jadi PROFESOR.” Dikisahkan, bahwa tahun 1998, Udin ke Yogya, sebagai mahasiswa baru UNY, jurusan elektro. Kehidupannya yang tidak berkecukupan membuatnya prihatin, kuliah, tinggal dan mengurus masjid Al Amin, menjadi marbot dan jualan tempe.
Setiap pagi setelah subuh, dia kayuh sepeda bututnya, mengambil tempe Mochlar dan mengantar ke langganannya. Setelah itu, kembali ke masjid untuk membersihkan masjid, kemudian mengayuh sepedanya di kampus yang jaraknya sekitar 5km. Kadang malam hari selepas isya dia mengantar tempe ke langganannya yang lain.
Tak jarang dia pulang ke masjid di sela-sela jam kuliahnya untuk melantunkan adzan dhuhur atau ashar. Kemudian balik lagi ke kampus untuk meneruskan kuliahnya. Sepulang kuliah, dia mengajar anak-anak mengaji di TPA masjid. Berpuluh anak belajar a ba ta darinya. Tepuk anak sholeh dan lagu anak TPA pun diajarkannya.
Setiap malam kamis, pengajian rutin disiapkannya. Sebagai marbot masjid, dia mengangkat minum dan snack, membagikan ke jamaah yang hadir mengaji. Setelahnya, dia merapikan lagi tikar gelaran tadi, menyapu dan mengepelnya.
Alhamdulillah, Udin, begitu kami memanggilnya, lulus dengan cumlaude. Meneruskan sekolah S2 di ITS, dan kemudian menikah. Setelah menikah, dia tidak lagi tinggal di kampung kami. Menurut kabar dia tinggal di daerah Bantul, dekat suatu makam di sana. Selang berapa tahun, dia kembali. Dia membeli rumah di kampung kami, dekat dengan masjid yang dulu dia rawat. Kali ini, dia sudah menjadi dosen di UNY dan sudah PhD. Sudah memiliki anak 3.
Bertahun berlalu, Udin yang dulu mengayuh sepeda butut, sekarang sudah mengendarai mobil. Sesekali sepeda dikayuhnya untuk berolah raga. Tak lama lagi, dia akan menjadi Profesor. Profesor Khairudin, di usia sangat muda. Barakallah Prof Khairudin. Maafkan kami, tak bisa mengubah panggilan itu, Udin. Meskipun sudah Profesor, engkau tetaplah Udin, yang bagai anak bagi mama dan bapak, adik, kakak, bagi keluarga kami. Dan menjadi teladan bagi kami. (Condong Catur, 4 Agustus 2020). (https://www.uny.ac.id/id/berita/si-udin-manusia-marbot-semoga-menjadi-inspirasi-kita).
*****
Begitulah kisah Prof. Khairudin yang menarik untuk disimak dan diambil pelajaran. Kerja kerasnya, kepeduliannya kepada aktivitas ibadah dan keilmuan di masjid patut dijadikan teladan. Kondisi kekurangan finansial tidak menjadikannya manja dan menyerah dengan keadaan. Ia berjuang dan bekerja keras untuk meraih cita-citanya.
Kisah ini memang sangat inspiratif. Hanya saja, kita patut berhati-hati menangkap makna lain dari kabar itu. Bahwa, seolah-olah orang yang menjadi marbot masjid adalah orang yang berderajat rendahan. Dan seolah-olah, kalau menjadi profesor pasti orang yang mulia. Banyak orang yang menjadi profesor, tetapi kisah Udin menarik karena sebelumnya ia adalah seorang marbot masjid.
Kita patut bertanya dengan kritis. Apakah menjadi profesor selalu lebih mulia dibandingkan dengan menjadi marbot masjid? Bagaimana dengan sejumlah profesor yang menyebarkan ilmu-ilmu yang salah dan bahkan ada yang ditangkap KPK karena terbukti menerima suap dari calon mahasiswa? Apakah para profesor ini lebih mulia daripada para marbot masjid!
Pekerjaan mengurus masjid, seperti membersihkan masjid, mengatur kegiatan masjid, menyiapkan kenyamanan ibadah dan kajian keilmuan di masjid, merupakan aktivitas yang sangat mulia. Seorang marbot masjid akan mendapatkan pahala besar dari aktivitasnya. Karena itu, bersyukurlah jika ada diantara keuarga kita yang berkiprah menjadi marbot masjid.
Sebaliknya, profesor adalah jenjang tertinggi dalam jabatan fungsional dosen. Menjadi profesor akan dipandang mulia oleh Allah SWT, jika ia mengajarkan ilmu-ilmu yang benar, memiliki iman yang kokoh dan berakhlak mulia.
Dalam kasus ini diperlukan worldview Islam dalam memahami realitas marbot dan profesor. Islam memandang orang yang mulia adalah yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Rasulullah saw menyebutkan, orang yang terbaik adalah yang bermanfaat bagi sesamanya.
Itulah manusia yang paling mulia, apapun profesi atau aktivitasnya; apakah dia marbot, pedagang kaki lima, gubernur, atau profesor. Siapa saja yang paling bertaqwa, itulah yang paling mulia. Tentu, lebih mulia dan terhormat lagi, jika seorang profesor itu benar ilmunya, baik akhlaknya, dan juga sekaligus menjadi marbot masjid. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 28 September 2023).