Wartapilihan.com – Majelis Ulama Indonesia akhir-akhir ini menjadi lembaga umat Islam yang pamornya menjulang. Sikap keagamaannya yang tegas dan dijadikan rujukan umat menjadikannya sebuah lembaga yang banyak disorot. Ada yang pro, tidak sedikit yang nyinyir. Bahkan, sorotan miring tersebut bukan pada produk-produknya, tapi lebih pada tuntutan transparansi atas keuangannya.
Pada 23 Desember 2016 lalu, misalnya, Djadjat Sudradjat, anggota Dewan Redaksi Media Group, menulis di Media Indonesia, dengan nada yang menghujat. Bermula dari bendahara MUI, Fahmi Darmawansyah, yang ditetapkan sebagai tersangka penyuapan Rp 2 miliar terhadap petinggi Badan Keamanan Laut (Bakamla), lalu merembet pada perlunya keterbukaan pemakaian anggaran MUI yang berasal dari APBN.
Djadjat mendasarkan pada Pasal 1 ayat (3) UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menurutnya, MUI termasuk ‘organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri’.
Logika itu juga digunakan oleh komisioner Komisi Informasi Pusat, Abdulhamid Dipopramono, ketika ia meminta agar laporan keuangan MUI bisa diakses oleh masyarakat.
Adalah Sekretaris Jenderal MUI, Anwar Abbas, menjelaskan, bahwa selama ini laporan keuangan MUI selalu diperiksa oleh BPK dan Kementrian Agama yang mengaudit. Jika menggunakan logika administrasi negara, maka apa yang dilakukan oleh MUI selama ini sudah benar. Kementrian Agama yang mengucurkan dana, BPK yang memerika, dan Kementrian Agama pula yang meng-audit.
Di luar MUI, puluhan lembaga yang mendapat kucuran dana dari pemerintah, apakah mereka juga harus bertanggungjawab kepada publik, dengan cara membuka alur kas masuk dan keluar? Tentu saja tidak. Tapi cukup BPK dan kementerian terkait yang meng-auditnya.
Lagian pula, jika menggunakan logika demokrasi, maka yang berlaku adalah keterwakilan. MUI adalah lembaga keagamaan yang dana operasionalnya didapatkan dari APBN (untuk Pusat) dan APBD (untuk daerah-daerah). Kucuran dana melalui Kementrian Agama, maka kepada Kementrian Agama pula lembaga tersebut mempertanggungjawabkannya. Tidak perlu dipertanggungjawabkan secara langsung ke publik, seperti sistem demokrasi langsung di jamannya Aristoteles, filsuf Yunani, yang hidup 4 abad sebelum Masehi, itu.
Jika lembaga-lembaga lain, selain MUI, tidak dituntut sebagaimana halnya MUI, di sinilah muncul pertanyaan, Ada apa dengan MUI?
Nampaknya ada “arus deras” yang hendak “memadamkan” api MUI. Mereka hendak mengerdilkan peran MUI, minimal menghambat gerak dan laju MUI. Dengan berbagai argumen, MUI tidak boleh besar dan jadi panutan umat. Skenario yang hendak dicapai: Islam tidak boleh besar di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Untuk tujuan tersebut, mereka menggunakan “tangan-tangan” yang ada di dalam tubuh umat Islam.
Fatwa MUI
Menjelang Natal 2016 dan Tahun baru 2017, pada 14 Desember lalu MUI mengeluarkan fatwa tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim. Tidak lama kemudian, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemananan, Wiranto, meminta agar sebelum mengeluarkan fatwa, MUI berkoordinasi dengan Kementrian Agama dan Polri.
Permintaan Wiranto itu disanggah oleh Rektor Institut Ilmu Alquran, Prof. Dr. Huzaemah T Yanggo, yang mengatakan bahwa terkait fatwa, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak perlu berkoordinasi ke Kementrian Agama dan Polri.
Agama, menurut Huzaemah, berpatokan pada Al-Qur’an dan hadits yang menjadi referensi para ulama. “Urusan agama bukan urusan dengan penguasa,” kata Huzaemah, tegas.
Tidak bisa dibayangkan, jika setiap kali MUI hendak mengeluarkan fatwa harus berkoordinasi (baca: berkonsultasi) dulu dengan pihak pemerintah. Jika setiap akan keluarkan fatwa, MUI mesti “koordinasi” dulu dengan Kementrian Agama dan Polri, apa pun akan bisa terjadi.
Dari urusan transparansi keuangan sampai koordinasi sebelum mengeluarkan fatwa, tanda-tanda zama sudah mulai terlihat. Apakah mereka masuk dalam kategori yang hendak memadamkan cahaya Allah? Dalam surah at-Taubah ayat 32 Allah berfirman:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.”
Dan yang tidak menyukai orang-orang mukmin menegakkan kalimah Allah di muka bumi ini bukan hanya kaum kafirin dan musrikin, tapi juga orang-orang yang punya penyakit nifaq di dalam dirinya.
Semoga Allah menjaga diri ini dari penyakit nifaq, dan semoga mereka yang membenci Agama Allah mendapatkan hidayah dan Rahmat-Nya. Wallahu A’lam. |
Penulis : Herry M Joesoef