Ustadz HTI dan Wahabi, Mengapa Dilarang?

by

Wartapilihan.com, Jakarta – Ahad (30/4) pagi, kajian tentang “remaja” yang disampaikan oleh Ustadz Felix Siauw, di sebuah hotel di kota Malang, Jawa Timur, dihentikan oleh pihak kepolisian. Ceramah agama yang semestinya diselenggarakan di Kampus Universitas Brawijaya, Malang, itu, sehari sebelum pelaksanaan, dibatalkan oleh pihak rektor. Lalu acara pindah ke hotel. Eh, tetap juga harus dihentikan oleh pihak kepolisian.

Bukan kali pertama seorang ustadz gagal tampil di kampus. Sebelumnya, Ustadz Syafiq Basalamah gagal ceramah di Masjid Manarul Ilmi Kampus ITS Surabaya(11/9/2016).

Di luar Kampus, Ustadz Khalid Basalamah dihentikan ketika sedang berceramah di Masjid Shalahuddin, Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (4/3/2017).

Tiga kasus tersebut penyebabnya sama. Ada Ormas yang selama ini getol mempromosikan diri sebagai garda depan penjaga NKRI, keberatan mereka tampil. Jika polisi tidak mau mau membubarkan, mereka akan membubarkan dengan paksa. Polisi seakan tak berdaya, dan cenderung ikut arus. Felix Siauw berlatar Hizbut Tahrir Indonesia(HTI), sedangkan Syafiq dan Khalid mendapat tudingan sebagai Wahabi.
* * *

Kasus-kasus yang dialami oleh Felix, Syafiq, dan Khalid tersebut, akhir-akhir ini bermunculan di berbagai tempat di republik ini. Ini mestinya jadi “PR” kita bersama, untuk saling introspeksi, dan memperbaiki cara-cara berkomunikasi dalam menyampaikan dakwah Islam yang sejuk dan menyejukkan, itu.

Orang-orang beriman itu bersaudara. Dan bersaudara itu tidak harus satu rumah. Dalam perjalanan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu bisa ditempuh dengan melalui banyak jalan dan rombongan. Sepanjang masih dalam koridor ahlus sunnah wal-Jamaah, mestinya tidak ada yang perlu dipersoalkan. Jangan sampai hal-hal yang ranting jadi pokok, dan yang pokok malah jadi ranting.

Persoalan akan muncul ketika jamaah tertentu sudah keluar dari koridor tersebut. Aliran-aliran sesat(MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang ini), idiologi komunis, para penista agama, adalah musuh bersama umat Islam.

Ibarat bangunan, keberadaan jamaah dalam komunitas Islam ada yang berposisi sebagai pondasi, tiang, dinding, plafon, atap, dan seterusnya. Ini sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

عن أبي موسى الأشعري ـ رضي الله عنه ـ عن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قال : ” المؤمن للمؤمن كالبنيان ، يشد بعضه بعضاً ، ثم شبك بين أصابعه ، وكان النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ جالساً ، إذ جاء رجل يسأل ، أو طالب حاجة أقبل علينا بوجهه ، فقال : اشفعوا تؤجروا ، ويقضي الله على لسان نبيه ما شاء ” . رواه البخاري ، ومسلم ، والنسائي

Dari Abu Musa Al Asy’ari ra. dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang mukmin itu bagi mukmin lainnya seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Kemudian Nabi Muhammad menggabungkan jari-jari tangannya. Ketika itu Nabi Muhammad duduk, tiba-tiba datang seorang lelaki meminta bantuan. Nabi hadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Tolonglah dia, maka kamu akan mendapatkan pahala. Dan Allah menetapkan lewat lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki.” (H.R. Imam Bukhari, Muslim, dan An Nasa’i).

Begitulah yang dicontohkan oleh Baginda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Baik fihak yang dicegah maupun yang mencegah, sebenarnya masih dalam satu koridor Ahlus Sunnah wal-Jamaah. Bahwa HTI mengusung ide Khilafah dan Wahabi mencoba memurnikan akidah, secara teknis komunikasi masih bisa didiskusikan lebih lanjut.

Jika ada pernyataan-pernyataan secara tertulis dan menyinggung pihak lain, bisa disikapi dengan membantahnya lewat tulisan juga. Begitu pula jika ada pernyataan-pernyataan di atas mimbar ada yang menyinggung, bisa dilakukan tabayyun, bisa juga digelar diskusi atau debat terbuka, tentang suatu persoalan.

Dengan demikian, ilmu mesti dihadapi dengan ilmu, argumen dengan argumen. Dengan cara-cara ke-ilmuan itu, dan tetap menjaga adab dalam ber-interaksi, masyarakat akan tercerahkan, dan mendapat ilmu darinya. Sebaliknya, jika main larang dan bahkan main kekerasan, justru akan menggelincirkan pelakunya menjauh dari adab-adab ke-Islaman.

Inilah yang mesti dijaga. Persoalan internal umat Islam bisa diselesaikan dengan kaidah “Watawa shoubil haqqi, watawa shoubis sobri, watawa shoubis marhamah”(mengingatkan dalam kebenaran, mengingatkan dalam kesabaran, dan mengingatkan untuk saling menyayangi). Kaidah ini memperkuat firman Allah dalam surah Al-Hujurat ayat 10:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang beriman. Penegasan tentang iman ini penting, tidak cukup hanya Islam. Iman itu adanya dalam hati, sedangkan Islam itu cover-nya. Jika sesama Muslim saling mencaci, mendzalimi, dan menyerang, maka sejatinya mereka baru Islam, belum ber-iman. Wallahu A’lam.

Penulis: Herry M. Joesoef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *