Betapa banyak cerita-cerita orang sukses tetapi tidak begitu menonjol di sekolah, seperti Albert Einstein, Leonardo da Vinci; mereka bukanlah anak-anak yang menonjol di sekolah, namun anak-anak ini selalu berlatih, mencoba, dan mengulanginya sehingga menjadi sukses di masa depan.
Wartapilihan.com, Jakarta – Menurut psikolog, Desita, ketika anak mendapatkan juara satu jangan begitu bangga. Pasalnya, kesuksesan anak, menurut dia, tidak diukur dari juara yang didapatkan di masa sekolah, melainkan lebih kepada substansi pembelajaran dan hal-hal yang kongkrit.
“Kita bida belajar banyak darimana saja, tidak hanya di sekolah. Ajarkan anak-anak kita tentang alam, tentang lingkungan, tentang ketangguhan, tentang sikap dan tindakan. Yang pastinya bisa bermanfaat bagi lingkungannya,” kata Desita.
Lebih jauh ia menekankan, anak-anak perlu diberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna dan membuat anak-anak antusias dan memacu rasa ingin tahu anak.
“Itulah yang akan selalu diingat anak sampai dia dewasa nanti. Saya yakin dan percaya anak-anak semuanya punya keistimewaan dan keunikan masing-masing. Saya percaya anak-anak tidak ada yang bodoh seperti dugaan kita, hanya saja kita yg tidak mengerti keinginan anak kita,” tukas dia.
Masih menurut Desita, bukan berarti anak yang lari-larian ketika di kelas tidak bisa diam dan dilabeli ‘bodoh’. Atau, anak yang cerewet dan suka mengobrol dilabeli ‘bawel’. Demikian juga dengan anak pendiam dan suka menangis tidak perlu dilabeli ‘pemalu’ atau ‘manja’.
“Anak-anak butuh penyesuaian dan pembelajaran sesuatu yang baru dia ketahui, atau melihat apakan sesuatu itu sesuai dengan dirinya atau malah membuat dia tidak nyaman.
Jadi, jika kita terlanjur melabeli anak-anak, kita maka kesalahan ada pada kita, karena kita kurang mengerti atau memahami anak kita sendiri,” tegas dia.
Dia menambahkan, anak-anak tidak akan tahu berbohong jika dia tidak melihat orangtuanya bohong. Anak-anak juga akan suka berbagi jika dia lihat di keluarganya yang pemurah dan suka memberi. “Ini adalah hal-hal yang anak-anak kita lihat langsung tindakan kita dan interaksi kita,”
Ia menyoroti para orangtua yang merasa takut jika nanti anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran; juga merasa malu jika anak tidak bisa menulis atau membaca.
“Tapi yang sebenarnya kita sebagai orangtua, sudahkah memetakan atau merangkum masalah anak kita. Apa kita ortunya mengerti dan memahami anak kita sendiri, pernahkan ortu bertanya pada diri nya sendiri sejauh mana ketakutan kita terhadap situasi tersebut?”
Ia menegaskan, hal ini penting yang harus diketahui bahwa ketakutan atau kekawatiran ini berasal dari orangtua yang kurang memahami anak kita sendiri. Hal yang terpenting, orangtua tidak hanya menilai dari sudut pandang kacamata sendiri, melainkan dari sudut pandang anak.
“Apapun yang kita inginkan, pastilah yang terbaik buat anak kita. Kurangilah menilai hanya menilai dari diri kita sendiri. Pahamilah dan berilah stimulus atau rangsangan atau kenyataan yang menyenangkan bagi anak,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini