Video yang dibuat oleh seseorang bernama Anto Galon dan menjadi terkenal karena diunggah oleh akun Divisi Humas POLRI di facebook dan sekarang ramai dikritik karena tendensinya yang menyudutkan umat Islam itu sebenarnya punya sisi lain, yang tidak kalah kontroversialnya
Wartapilihan.com, Jakarta – Dalam pandangan salah satu dokter dari Muara Enim yaitu dr. Rahadi Widodo, video ini tidak hanya menyudutkan umat Islam, tetapi sekaligus juga menyudutkan rumah sakit dan petugas kesehatan. Justru, adegan yang menyudutkan Rumah Sakit itu tampil lebih dulu daripada penyudutan umat Islam.
Video ini dibuka dengan adegan ketika satu pasangan suami-istri diantar seorang anggota POLRI membawa anak balitanya ke RS. Mereka menuju ke Poli Rawat Jalan RS (bukan UGD) sehingga harus mengambil nomor antrian. Nomor yang didapat adalah nomor 27, padahal saat itu pasien yang mendapat giliran pelayanan baru sampai nomor 11.
Mungkin Sang Bapak merasa anaknya sudah dalam kondisi parah, sehingga ia menemui petugas RS untuk meminta agar anaknya didahulukan. Petugas menolak dan mengatakan, “Maaf, Pak. Ini sudah peraturan”.
Adegan ini tergambar begitu miris, tragis, dan ironis, ketika seorang pasien anak-anak yang sakit parah harus pasrah menunggu antrian. Pembuat video kemudian menampilkan “pahlawan” yaitu seorang pasien dengan nomor urut 12 yang bersedia menukarkan antriannya dengan anak tsb.
“Pasien sakit berat apalagi gawat seharusnya mendaftar ke Unit Gawat Darurat (UGD) atau Emergency Unit yang ada di tiap RS. Di UGD tidak ada nomor antrian. Pasien akan segera dilayani sesuai tingkat kegawatannya masing-masing, bukan soal siapa yang duluan datang,” kata Rahadi Widodo, Rabu (28/6).
Artinya, terang Rahadi, bagaimana mungkin seorang Polisi tidak bisa membedakan antara Poli Rawat Jalan dan UGD. Bagaimana bisa dia salah mengantar pasien tersebut ke Poli dan bukan ke UGD. Secara tidak langsung, pembuat video ini menggambarkan betapa bodohnya petugas Kepolisian di Indonesia.
“Menurut saya sih jelas bukan polisi kita yang bodoh, melainkan pembuat video ini yang ‘kurang piknik’. Dia bikin video tapi tidak melakukan riset dulu bagaimana sebenarnya seluk-beluk pelayanan di RS,” lanjut Rahadi dalam keterangan tertulisnya.
Baginya yang lebih mengherankan, bagaimana bisa sebuah video yang menggambarkan polisi Indonesia jadi tampak bodoh begini memenangkan penghargaan di Police Movie Festival dan mendapat kehormatan diunggah di akun fb Divisi Humas POLRI?
“HERO-nya adalah pemilik no.12! Sedangkan petugas RS tergambar bagai iblis yang tidak punya perikemanusiaan!
Bagaimana seorang petugas kesehatan tidak peduli dengan parah-tidaknya kondisi pasien, dan bisanya cuma bilang, “Maaf Pak, ini sudah peraturan,” tiru dia.
Menurutnya, semua RS punya Unit Gawat Darurat, dan gunanya memang untuk mengatasi hal-hal semacam ini. Petugas Kesehatan yang menemui kasus pasien gawat di Poli tinggal bilang saja, “Pak silakan pasiennya dibawa ke UGD, di sana tidak perlu nomor antrian.” Gampang, kan? Pasien no.12 pun tidak perlu repot-repot berkorban untuk jadi pahlawan.
“Kejadian sehari-hari yang umum terjadi adalah pasien semacam ini akan diantar petugas kesehatan ke UGD. Mas Anto Galon yang bikin video ini pasti tidak tahu karena tidak pernah nongkrong di RS. Dia membuat video hanya berdasarkan khayalan dan prasangkanya sendiri,” tegas Rahadi.
Menjawab wawancara sebuah media, Anto Galon menjawab bahwa ia mendapat ide membuat video tersebut ketika menemui kejadian sebuah jalan ditutup karena ada acara pengajian. Lalu terpikir olehnya bagaimana seandainya ada ambulan yang mau lewat.
“Ya, isi benak yang dipenuhi prasangka negatif, kemudian diolah dengan khayalan tingkat tinggi, dipadu dengan kemalasan untuk melakukan riset terhadap fakta yang terjadi sehari-hari di sekitarnya. Jalan ditutup karena ada kegiatan masyarakat, bukankah itu kejadian lumrah dan sering? Biasanya juga harus mengurus surat izin dari instansi Kepolisian setempat untuk bisa menutup jalan selama waktu tertentu.
Dan perhatikan, kegiatan apakah yang paling sering menutup jalan? Pengajian-kah?,” tukas Rahadi.
Selain itu, ia mempersilakan Anto Galon melakukan riset, mencari tahu kegiatan apa yang paling sering menutup jalan.
Menurut pengamatan tenaga kesehatan tersebut, yang paling sering menutup jalan adalah kegiatan sosial seperti kawinan, khitanan, agustusan, dan lain-lain. Hampir tiap bulan ada, bahkan kadang bisa lebih dari sekali.
“Pengajian mah jarang. Setahun ada sekali pengajian akbar di satu kampung itu sudah hebat. Walaupun sering, kegiatan sosial yang menutup jalan itu tidak membuat mas Anto Galon ‘ngeh’. Tapi begitu ada satu kali pengajian menutup jalan, langsung KRIIIIING! Alarm dalam otaknya berdering keras. Sontak terpikir, “Bagaimana kalau ada ambulan mau lewat?” Cling! Dan jadilah video itu. Thing! Dan jadi juara,”.
Rahadi mengkhawatirkan di masyarakat nanti muncul sangkaan, jangan-jangan memang ada seseorang atau sekelompok orang dalam tubuh Kepolisian yang cara berpikirnya sejalan dengan orang-orang seperti Anto Galon ini. Kalau tidak, mustahil videonya jadi juara.
“Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala melimpahi kita semua dengan ampunan, rahmat, dan hidayah, sehingga bangsa kita senantiasa dijauhkan dari segala bencana, fitnah, dan prasangka buruk antarsesama, seterusnya hingga akhir zaman. Aamiin ya Robbal ‘Alamiin,” pungkasnya.
Senada dengan hal itu, Komandan KOKAM Jawa Tengah, Muhammad Ismail menanggapi film miring ini. “Film pendek yang dibuat dalam festival lomba yang dipublikasikan polri telah membuat rasa tidak nyaman di khalayak umat islam,” tegas Ismail.
“Polri sebagai pengayom masyarakat seharusnya lebih bijak dalam melangkah. Polri adalah alat negara, bukan alat penguasa,” lanjut Ismail.
KOKAM Pemuda Muhammadiyah sebagai pasukan yang bertugas mempertahankan kalimat syahadat mengecam keras pembuatan film tersebut.
“Film ini telah melukai hati kami. Polri dalam hal ini kapolri harus minta maaf kepada umat islam dan berhati hati dlm melangkah,” tandasnya.
[Satya Wira]