Tarif Angkutan Umum; Seperti Kucing Dalam Karung

by
https://3.bp.blogspot.com

Beranjak dari Cipanas setelah shalat Dzuhur dengan menjama qashar Ashar,  kami mulai bergerak ke Tarogong untuk menaiki bus/elf ukuran 3/4 menuju Cicaheum Bandung.

Wartapilihan.com, Jakarta – Rencana perjalanan kali ini adalah meliput Musyawarah Pimpinan (Muspim) ANNAS di bilangan Cihapit, Bandung Wetan, Bandung, Jawa Barat.

Perbaikan jalan di sekitar Jalan Al Musaddad belum dirampungkan, meskipun tidak macet, jalan dari arah Bandung dialihkan. Siang itu, tepat pukul 12.20 kami mulai melaju dengan elf ukuran 3/4. Sang kondektur tetap memanggil orang yang hendak ke Kota yang tercatat dalam sejarah sebagai kota lautan api.

“Sok Barandung, Barandung A. Caheum, caheum,” teriak sang kondektur.

Setelah melewati perbaikan jalan, cussssssss, elf melaju dengan kecepatan cukup kencang. Mungkin ini yang menjadi pertimbangan kenapa kami lebih memilih naik elf, meskipun tidak ber-AC dan sang kondektur asik dengan sebatang rokoknya menghempaskan asap ke dalam mobil. Padahal, sampingnya, dua nenek-nenek duduk. Tapi, lebih memilih karena efisiensi dan efektifitas waktu.

Keindahan Kota Garut dengan pemandangan Gunung Guntur, Gunung Putri, Gunung Jabrik serta jurang yang tinggi menjadikan terik panas tidak begitu terasa.

Tak lama kemudian, elf berhenti (ngetem) di Pasar Leles. Sang supir serta kondektur meninggalkan elf entah kemana. Lima menit berselang, keduanya kembali ke Elf dan kembali melanjutkan perjalanan.

Satu hal yang kami soroti dari Elf adalah tarif yang ambigu. Setiap penumpang hampir dipaksa masuk tanpa kejelasan harga. Memang di Elf itu tidak ada penjelasan tarif sesuai arah tujuan. Namun, apakah belum dipayungi oleh regulasi Dinas Perhubungan yang menangani kendaraan umum seperti ini.

“Caheum Caheum bu,” seru kondektur ke seorang ibu bersama bayinya yang berumur 1 1/2 tahun. “Sabarahaeun?,” tanya si Ibu itu sebelum menaiki Elf. “Biasa weh bu, teu dimahalkeun, sami ka sadayana ge bu (biasa bu, enggak dimahalin, ke semuanya juga sama),” timpal kondektur itu.

Akhirnya ibu itu naik karena seperti terburu-buru. Lima menit berselang duduk, kondektur meminta ongkos perjalanan. “Tilu puluh ribu teh (tiga puluh ribu teh),” ujar pria berkaus hijau itu. “Naon ah mahal teuing, saya mah ka Cileunyi, naikna ge lain ti Tarogong (kenapa mahal sekali, saya cuman ke Cileunyi, naiknya juga bukan dari Tarogong),” ucap si ibu dengan nada kesal dan meminta untuk diturunkan kembali di tengah perjalanan.

“Sami bu ka sadayana, aslina (sama bu ke semuanya),” timpal kondektur itu. Akhirnya tanpa berpanjang kalam, ibu itu membayar Rp. 30.000 ke kondektur.

Setelah 10 menit berlalu, ibu itu menanyakan kami “Bade kamana (mau kemana)?,” tanyanya. “Ka Cicaheum bu,” balas saya. “Owh,” tukasnya, singkat.

“Biasana sabarahaeun bu?,” tanya saya penasaran. “Kamari mah ka Leuwi Panjang 25 (Rp. 25.000,-),” imbuhnya.

“Biasana sapartos kitu nya bu? (Biasanya seperti itu ya bu?),” tanya saya kembali menanyakan ketidakjelasan tarif. “Muhun. Kadang tilu lima, opat puluh (iya betul. Kadang Rp. 35.000,- kadang Rp. 40.000),” kata si ibu itu. Sejenak saya terdiam sedikit marah dengan ketidakjelasan itu.

“Mang di oper-oper teu?,” tanya saya segera. Pasalnya, kejadian itu terjadi pada setiap penumpang yang hendak ke tujuan akhir. “Henteu, langsung. Kalem weh (enggak, langsung, tenang aja),” ucapnya dengan khas logat sunda.

Setelah itu, saya segera donwload Pergub Jawa Barat Nomor 38 Tahun 2013 tentang tarif dasar bawah dan tarif dasar atas angkutan umum. Tarif dasar bawah dalam pasal 6 bagian tiga itu menjelaskan, Rp 107,90,- per kilometer untuk setiap penumpang. Why? Berapa jarak Garut-Bandung? Apakah Dishub Jabar tidak dapat mengkalkulasi estimasi jarak yang dapat di lihat secara mudah dari Google Map? Ataukah ada oknum pengemudi yang sengaja menyembunyikan aturan tersebut.

Semoga kejadian ini menjadi ibrah (pembelajaran) untuk semua stake holder dan share holder terkait agar dapat melakukan evaluasi dan pengawasan secara berkala. Ingat, ketika habis masa jabatan, instansi terkait akan meminta pertanggungjawaban dengan trasnparansi dan akuntabel. Begitupun di akhirat kelak akan ditanya dua hal: Darimana harta yang kamu dapatkan dan kemana harta itu kamu belanjakan? (Muttafaq alaihi).

Akhirnya, kepada Allah jua kita memohon segala pertolongan dan kepada-Nya kita mengembalikan segala urusan. Fastabiqul khairat.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *