Tahun Gelap Bagi DPR

by
Para peneliti Formappi sedang memaparkan catatan dan sorotan terkait kinerja DPR tahun 2017. Foto: Zuhdi

Evaluasi kinerja DPR bukan tanpa alasan jika didasarkan pada penilaian kuantitatif. Kualitas sudah seharusnya menjadi perisai utama kerja DPR, karena untuk itulah berbagai fasilitas mulai dari anggaran hingga dukungan keahlian disiapkan oleh negara.

Wartapilihan.com, Jakarta –Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasuki sidang paripurna terakhir pada 10 Desember 2017. Sidang paripurna tersebut sekaligus menjadi penutup kinerja kelembagaan DPR tahun 2017.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) merelease tiga hal yang menjadi sorotan kelembagaan DPR selama tahun 2017. Yaitu terkait kepemimpinan DPR, kode etik DPR, kehadiran anggota DPR pada sidang paripurna, dan masalah anggaran DPR.

Formappi menilai, tahun 2017 menjadi tahun terburuk dalam sejarah DPR. Selain karena tidak profesional dan gonta-ganti pimpinan, beberapa pimpinan justru tersangkut masalah pribadi termasuk kasus hukum. Bahkan beberapa kali diadukan ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) Karena melakukan pelanggaran etik.

“Fahri dan Fadli dilaporkan dua kali ke MKD karena kompak dan saling melindungi kepentingan pribadi pimpinan DPR. Setya Novanto satu kali (dilaporkan). Namun dari keseluruhan laporan itu tidak ada yang di proses. MKD ini selain mandul, juga masih meninggalkan banyak persoalan. Seharusnya, Ketua MKD adalah dari PKS tetapi dari Gerindra. Hal itu yang terus dituntut oleh PKS,” ujar peneliti Formappi I Made Leo Wiratma dalam diskusi ‘Catatan Evaluasi Akhir Tahun DPR’ di bilangan Matraman, Jakarta, Kamis (21/12).

Lebih lanjut, Made menilai pimpinan DPR tidak konsisten sebagai juru bicara DPR. Seperti sikap Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang antusias menerima delegasi demonstrasi dan penyampaian aspirasi yang dilakukan Forum Umat Islam (FUI). Di satu pihak, Setnov berpendapat aksi tersebut tidak perlu dilakukan karena pembahasan angket pencopotan Ahok sedang dalam proses.

“Mengelola permasalahan di intern pimpinan saja mereka tidak mampu, apalagi memanage DPR keseluruhan. DPR adalah lembaga negara, bukan milik keluarga yang dapat dilakukan semuanya,” tuturnya.

Selain itu, dia mengatakan, anggota DPR banyak absen dalam mengikuti sidang-sidang paripurna. Karenanya, tidak heran kinerja DPR tahun 2017 tidak juga membaik dari tahun sebelumnya.

“Rata-rata kehadiran anggota adalah 41 persen. Seharusnya, sidang menjadi tidak sah karena tidak memenuhi kuorum. Namun pimpinan menyerahkan hal itu dengan kebijakan pimpinan (sidang), meskipun melalui penundaan,” tukas dia.

Abdul Sahid dari peneliti Formappi menambahkan, kinerja anggota DPR tidak sebanding lurus dengan hak yang diterima setiap bulannya. Satu anggota DPR, kata dia, diperkirakan mendapat Rp 50 juta sebagai hak nya menjadi anggota DPR. Dana tersebut belum termasuk kunjungan kerja dan reses di Dapil masing-masing.

“Satu kali reses sekitar Rp 150 juta, satu tahun bisa empat atau lima kali reses. Namun yang paling mencuat dan mendapat sorotan publik adalah anggaran pembangunan atau penataan Kompleks gedung DPR,” ungkapnya.

Dalam proses pembahasan anggaran, awalnya BURT DPR merencanakan mengajukan sekitar Rp 7,2 triliun. Namun akhirnya dikurangi menjadi Rp 5,7 triliun dalam RAPBN 2017, dan tidak mengalami perubahan dalam APBN 2018. Angka ini mengalami peningkatan Rp 1 triliun dibanding APBNP 2017 sebesar Rp 4,7 triliun.

“Ironisnya, hingga saat ini, belum ada inisiatif dan terobosan untuk membenahi sistem dan mekanisme pembahasan anggaran di internal DPR. Jika ke depan ini tidak dibenahi, maka setiap saat kita selalu dipertontonkan dengan terjadinya OTT OTT, penangkapan tersangka, terdakwa, atau vonis bersalah terhadap anggota DPR karena terlibat kasus korupsi,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *