Memanggil Kembali Memori
Bagi yang pernah tinggal di kampung, biasanya kita akan mendengar syair yang dilantunkan antara adzan dan iqomah. Tradisi ini bukan tanpa sebab, melainkan terdapat beberapa maslahat yang terkandung didalamnya.
Wartapilihan.com, Jakarta– Sembari menunggu pelaksanaan sholat, para jama’ah bisa memanfaatkan waktunya dengan melantunkan syair puji-pujian. Dari aspek psikologis, lantunan syair juga dapat membentuk semangat suasana atau waktu persiapan sebelum sholat berjama’ah. Syair juga dapat menjadi medium syiar (penyebaran ajaran Islam pada masyarakat) dan penguatan akidah umat, sebab didalam syair puji-pujian pasti mengandung dzikir dan nasihat. Beberapa alasan ini turut menguatkan, bahwa lantunan syair (sholawat, dzikir, nasihat, dan puji-pujian) yang dilakukan secara bersama sebelum pelaksanaan sholat berjama’ah bisa termasuk dalam amaliah yang baik dan dianjurkan disesuaikan dengan sikon masjid atau mushala masing-masing.
Beberapa tokoh memiliki pandangan yang selaras berkenaan lantunan syair puji-pujian ini, diantaranya adalah Tamsyah dan Rusyana. Berdasarkan isinya, Tamsyah membagi syair puji-pujian dalam lima kategori, yaitu memuji Allah, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, do’a dan taubat kepada Tuhan, peringatan, dan ajaran agama Islam. Kemudian, Rusyana juga menyampaikan hal yang senada, bahwa isi syair puji-pujian ada enam, yaitu memuji Allah SWT, shalawat kepada Rasulullah, do’a dan taubat kepada Allah, meminta syafaat kepada Rasulullah, menasihati umat agar menjalankan ibadah dan amal sholeh serta menjauhi kemaksiatan, pelajaran mengenai agama tentang keimanan, rukun Islam, fikih, akhlak, tarikh, tafsir Al-Qur’an, shorof, dan lain-lain.[1] (Rosidi dkk, 2000: 527) Kandungan-kandungan inilah yang menyokong syair puji-pujian berfungsi sebagai pendidikan dan penanaman nilai-nilai pada masyarakat atau jama’ah khususnya.
Mengarungi Pesan-Pesan
Ilzamul Wafiq dalam karyanya “Bait-Bait Syair Wali Tanah Jawa” menyebut, bahwa tidak semua syair puji-pujian bebas untuk dilantunkan sebelum sholat, tetapi terdapat kriteria pilihan waktunya, walaupun bukan standar. Pada waktu maghrib, syair yang dikumandangkan bersifat informative, seperti mengandung ajaran rukun iman dan rukun Islam. Kemudian waktu isya’, syair yang dilantunkan bersifat reminder, misalnya mengandung nasihat kematian dan persaudaraan. Waktu subuh, syair yang dibacakan berlirik perasaan mendalam, contohnya berisi tentang rukun iman dan permohonan ampun. Lalu dzuhur dan ashar, sebaiknya syair yang kalem, seperti shalawat-shalawat yang pendek.[2] Walaupun kriteria ini bukan standar, tapi tetap ada pentingnya para jama’ah dan pengurus masjid atau mushala mengetahui ihwal hal ini.
Dalam rentang waktunya, lantunan syair puji-pujian ini telah berhasil mengajak masyarakat khususnya anak-anak menjadi tertarik, sehingga berbondong-bondong menuju masjid atau mushala bersama handaitaulannya. Tradisi ini juga berhasil memantik bakat dan minat dalam seni suara seperti pelatihan tilawatil Qur’an dan lainnya. Kajian mengenai hal ini pernah dilakukan oleh M. Mukhsin Jamil, dkk. yang dibukukan dalam “Syi’iran dan Transmisi Ajaran Islam di Jawa”, walaupun tidak secara khusus membahas tradisi ini. Jazim Hamidi dan Asyhadri Abta juga melakukan riset dalam bidang yang sama, yakni mengumpulkan syi’iran karya para ulama yang kemudian dibubuhkan dalam “Syi’iran Kiai-Kiai”. Ada juga Muhammad Yunus Bakhtiar Rifai yang meneliti hal ini sebagai tesisnya dengan judul “Makna Tradisi Pujian Bagi Masyarakat Dusun Kajangan Kelurahan Sonorejo Kabupaten Blora (Suatu Pendekatan Antropo-Sufistik)”.[3] Tradisi ini memang menarik untuk diulas, karena sudah menjadi hal yang seperti menyatu dalam aktivitas masyarakat. Tetapi, sayangnya syair puji-pujian ini di zaman kiwari mengalami pemudaran. Banyak sebab yang melatar-belakangi terjadinya hal tersebut, termasuk hilangnya ketertarikan dan kesadaran masyarakat terhadap kandungan syair sering dikumandangkan.
Menyelami Makna Syair-Syair
Dalam kebudayaan Sunda, terdapat salah satu syair yang diberi judul “Akur Jeung Papada Batur”, liriknya seperti ini:
Ari tolab kudu akur jeung batur
silih tanya ulah sok paluhur-luhur
Eling-eling ka sakabeh nu neangan
kana elmu poma ulah rek ngurangan[4]
Sederhananya, syair tersebut mengandung pesan, bahwa seorang penuntut ilmu harus mejalin hubungan yang baik dengan kawan-kawannya. Dalam pergaulan mereka, terdapat kebiasaan tanya-jawab keilmuan dan menghindari kesombongan. Para pembelajar mesti ingat dengan hal yang sejatinya dicari. Bahwa berbagi ilmu tidak akan mengurangi ilmu yang telah dipelajari masing-masing. Syair diatas adalah sebuah contoh dimana syair pujian memiliki kandung yang kuat berkenaan pentingnya ilmu dan hubungan sesama penuntut ilmu. Disini kita melihat adanya nilai dan fungsi pendidikan dari syair.
Kemudian syair dalam kebudayaan Jawa, pasti kita sudah mengenal syair yang berjudul “Lir-Ilir” ini. Liriknya kira-kira demikian:
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak iyo…
Nur Hayati dalam penelitiannya mengenai syair ini menyatakan, bahwa ada pesan ajakan agar kita segera bangun dari keterpurukan dan kesesatan serta memperkuat iman. Sikap manusia mempengaruhi sekaligus dipengaruhi kekuatan iman dalam dirinya. Godaan dan halangan selalu dihadapi manusia, sehingga senantiasa harus siap siaga dalam membersihkan dan menjaga keimanan.[5] Ketaqwaan, pembenahan diri, dan peningkatan iman adalah hal yang harus kita lakukan bukan hanya ketika mendekati sakaratul maut, melainkan dalam seluruh rentang waktu hidup kita. Dari syair ini pun kita menangkap adanya nilai dan fungsi pendidikan yang menyertainya.
Kali ini syair pujian yang biasa dilakukan di waktu maghrib, liriknya sebagai berikut:
Eling –eling wong urip bakale mati..
Ojo bungah maring dunyo mulyo mukti
Luru ngelmu wong ngibadah ingkang ngerti..
Murih ngamal wiwit urip tumeko mati
Wajib pasrah wong ngandel maring pengeran
Sarto nderek marang nabi kang pungkasan
Rukune islam iku limang perkoro.
(1) Ingkang dingin ngucapaken sahadat loro
(2) Kaping pindo manjing wektu kudu solat
(3) Kaping telu lamon sugih aweh zakat
(4) Kaping papat puoso wulan romadhon
(5) Kaping limo munggah haji lamon kuwoso[6]
Pada intinya, syair tersebut mengenalkan dan mengingatkan kembali kita terhadap rukun Islam, bahwa rukun Islam ini melingkupi lima perkara, yakni mengucapkan kalimat syahadat, melaksanakan sholat pada waktunya, mempergiat zakat, menjalankan puasa ramadhan, dan berhaji bila mampu. Sebagai manusia, pasti kita akan mati. Kebahagiaan kita jangan sampai terbatas pada hal-hal duniawi. Menimbah ilmu kepada para ahli, memperbanyak amal, bertawakal kepada Allah, mengikuti tuntunan Rasulullah SAW. adalah kunci untuk menemukan dan mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Lagi-lagi, kita mengetahui adanya nilai dan fungsi pendidikan dalam syair pujian.
Membaca Pesan yang Terlupakan
Pada dasarnya, setiap syair pujian tidak ada yang tidak memiliki kandungan nilai dan fungsi pendidikan. Tetapi, karena kita mengganggapnya sebagai hal yang biasa saja, maka kita pun mengganggapnya sesuatu yang tidak urgent untuk diambil dan dibaca pesannya. Syair pujian bukan hanya berdimensi hiburan, tetapi ia juga berdimensi pendidikan dan spiritual. Syair tidak hanya mengandung unsur keyakinan dan praktik agama, tetapi ada pula unsur pengalaman dimana kita bisa mengambil pelajaran darinya serta unsur pengetahuan agama untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap Islam. Bukan syairnya yang biasa saja, tetapi kitalah yang mengganggapnya tidak luar-biasa. Para ulama dan penyair menggunakan syair pujian salah satunya dalam menjalankan amanah mereka, agar umat muslim menjadi terdidik dan tidak melepaskan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Wallahu a’lam bis showab.
Penulis: Taufik Hidayat
[1] Wildan Taufiq. 2018. “Pupujian (Shalawatan) Sebelum Shalat Berjama’ah (Suatu Pendekatan Semiotik)”. Jurnal al-Tsaqafa Vol. 15 No. 1.
[2] Ilzamul Wafiq. 2009. “Bait-Bait Syair Wali Tanah Jawa”. Semarang: Universitas Diponegoro.
[3] Nur Fauzan Ahmad. 2017. “Sikap Jama’ah Masjid Terhadap Tradisi Puji-Pujian Sebelum Sholat: Studi Kasus Jama’ah Masjid di Desa Giling dan Kelurahan Sumurboto”. Jurnal Nusa Vol. 12 No. 3.
[4] Aam Masduki. 2009. “Puisi Pupujian dalam Bahasa Sunda”. Jurnal Patanjala Vol. 1 No. 1.
[5] Nur Hayati. 2018. “Pesan Kehidupan dalam Lirik Lagu Selawat Bahasa Jawa”. Jurnal Shahih Vol. 3 No. 1.
[6] Ilzamul Wafiq. Op. Cit. hal. 7.