Sesuai amanat konstitusi Pemerintah berkewajiban menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, tentu agar akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak terganggu.
Wartapilihan.com, Jakarta – Menanggapi polemik beras saat ini, INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) mengurai persoalan tersebut dari sisi fundamentalnya, yaitu efektifitas kebijakan dalam mencapai tujuan. Diantaranya efektifkah subsidi input, siapa yang menikmati HPP (harga pembelian pemerintah), inenefisiensi penggilingan padi, tumpulnya instrumen pengendali harga, disinsentif pasar akibat harga tunggal, hilangnya insentif usaha karena single price, efektifitas subsidi (output) beras, dan urgensi intervensi Pemerintah.
“Pemerintah harus menciptakan harmonisasi dalam sistem produksi dan distribusi yang sehat dari hulu ke hilir. Target menciptakan disparitas beras yang rendah, tidak mungkin efektif dicapai kalau hanya mengatur margin perdagangan. Tetapi yang membuat spekulan atau mafia pangan adalah Pemerintah sendiri dengan kebijakannya,” tutur Direktur INDEF Enny Sri Hartati di kantor INDEF, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (27/7).
Sebab, lanjut Enny, jika Pemerintah tidak hati-hati dan tidak prudent (bijaksana) menerapkan kebijakan, maka justru Pemerintah berpotensi melakukan goverment failure (kegagalan Pemerintah) yang justru akan berakibat menciptakan kegagalan pasar (market failure). Pemerintah harus melakukan klarifikasi secara transparan apa sebenarnya implikasi regulasi Pemerintah terutama Permendag Nomor 47. Dalam Permendag, harga Pemerintah tidak hanya menjadi referensi tetapi menjadi harga eceran tertinggi (HET).
“Akibatnya, saat harga beras berada di atas HPP, Bulog tidak mampu membeli atau menyerap beras. Konsekuensinya, kebutuhan cadangan minimum Bulog sering tidak terpenuhi, dengan demikian, Bulog akan kesulitan melakukan intervensi pasar (operasi pasar) pada saat harga di tingkat konsumen melonjak,” ungkap Enny.
Menurutnya, tumpulnya instrumen HPP akan berimplikasi membuka ruang para spekulan beras bermain mendominasi penguasaan pasokan beras. Kepemilikan cadangan yang terbatas akan berujung pada rendahnya efektivitas penerapan HET. Disamping itu, tumpulnya instrumen HPP dapat mengindikasikan produksi beras yang terbatas dan pedagang akan berebut beras untuk menguasai pasokan.
“Kompleksitas ini harus benar-benar di urai. Secara garis besar, semestinya Pemerintah bisa mengatur subsidi sehingga tidak dikuasai oleh spekulan. Untuk itu perlu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengkontrol struktur pasar kembali bersaing sehat,” saran dia.
Diketahui, Pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi input di sektor pertanian (benih dan pupuk) meningkat drastis selama 2 tahun terakhir, bahkan pada APBN 2017 subsidi pupuk mencapai lebih dari Rp 30 T. Total anggaran kedaulatan pangan melonjak hingga mencapai 53,2 persen dari Rp 67,3 triliun di 2014 mencapai Rp 103,1 triliun di 2017.
“Artinya masih ada persoalan dalam efektivitas dari subsidi input yang dinikmati petani. Salah satunya, hasil studi dari Word Bank menyebutkan bahwa subsidi pupuk yang efektif dinikmati petani hanya sekitar 40 persen,” tandasnya.
Kondisi penggilingan padi di Indonesia, simpul Enny, saat ini sudah terlalu banyak jumlahnya dan tidak sebanding dengan produksi gabah. Hal ini menimbulkan inefisensi penggilingan padi terutama sekali kecil dan menyebabkan penurunan jumlah pengusaha penggilingan padi skala kecil.
“Penurunan jumlah penggilingan padi bukan hanya karena kalah persaingan dalam memperoleh bahan baku tetapi juga faktor perubahan pola konsumsi beras masyarakat yang semakin menyukai untuk mengkonsumsi beras premium. Beras premium hanya dapat diproduksi oleh penggilingan padi skala besar yang relatif lebih baik dalam kapasitas peralatan dan permodalan,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi