Negara dan agama dalam implementasinya perlu dihubungkan dalam kehidupan bernegara. Bagaimana semestinya tingkat hubungan tersebut?
Wartapilihan.com, Depok — Prof Jimly Asshiddiqie menjelaskan, agama dan negara merupakan dua pihak yang harus saling membantu. Pasalnya, negara memiliki kepentingan untuk menjadikan warganya taat kepada agama.
“Dengan sengaja, kita membuat Pancasila dengan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan sengaja, kita membuat kementerian agama. Kenapa itu perlu? Karena praktis. Kalau naik haji enggak diurus negara, kacau, jadi korban penipuan semua nanti. Israel juga punya menteri Agama, jadi bukan cuma Indonesia,” ujar Prof Jimly, dalam acara bertajuk ‘Islamic Conference on MUI Studies’ di Hotel Margonda, Depok, Kamis (27/7/2017).
“Maka dari itu, (hubungan keduanya) harus brotherly, bukan sekedar friendly. Kalau di negara lain kan bilangnya friendly, tapi kalau kita bukan sekedar itu. Harus brotherly,” lanjutnya.
Menurutnya, negara dalam memberlakukan suatu hukuman, semestinya sifat ya bukan hanya menghukum tetapi juga mendidik. “Etika lebih mudah menyerap substansi dari kebudayaan, agama, untuk menyumbang akhlak mulia dalam praktek,” jelas lelaki kelahiran Palembang ini.
Dalam menerapkan hukum keagamaan di negara, ia menegaskan tetap perlu untuk membedakan, tidak mencampuradukkan. Pasalnya, tidak semua agama punya sistem hukum. “Yang punya sistem hukum adalah Islam, Hindu dan Yahudi. Kristen tidak punya. Maka Otomatis ketika bicara hukum selalu gak bisa ketemu, karena dia tidak punya wawasan tentang hukum agama. Tapi kalau kita bicara sistem etika, ketemu, ada kepentingan yang sama,”
“Kalau kita bicara halal-haram, susah. Kalau masalah etika bisa, tidak hitam putih. Kita mesti pandai memilah. Jangan sekularisme terus itu teori sudah lama. Sebenarnya itu juga terjadi di khaulafu Rasyidin. Umar bukan pengganti rasul dalam menerima Wahyu, hanya menjadi meneruskan kepemimpinan bernegara. Begitu juga jaman Utsman dan Ali,” katanya.
Ia menambahkan, tetap perlu ada pembedaan karena pada dasarnya, fatwa merupakan otoritas ulama, bukan otoritas negara. “Tapi (dalam mengurus proses) administrasinya negara boleh. Misalnya, membuat Direktori Pangan Halal,” tandasnya.
Eveline Ramadhini