Harga BBM dan TDL 2018 tidak ada kenaikan, bagaimana nasib Pertamina dan PLN?
Wartapilihan.com, Jakarta –-Keputusan pemerintah terkait dengan tidak adanya kenaikan harga BBM penugasan subsidi baik premium, bio solar, dan minyak tanah sampai akhir triwulan pertama 2018 menjadi kabar baik dan memenuhi rasa keadilan bagi rakyat ditengah daya beli sedang melemah.
Namun demikian, meski pemerintah sepertinya tabu menyebut penambahan subsidi, sebaiknya keputusan ini disertai dengan penyesuaian formula penugasan terhadap Pertamina dan PLN. Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Herman Khaeron di Jakarta, Sabtu (30/12).
“Keputusan tidak naiknya BBM bersubsidi dan TDL sepertinya tidak ada masalah dengan keuangan negara, tetapi jika jujur hal ini sangat berpengatuh terhadap keuangan pertamina dan PLN,” ujar Herman.
Semisal, lanjut Herman, harga BBM penugasan kepada Pertamina tidak pernah dilakukan penyesuaian sejak ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM No.39 Tahun 2015, perihal Perubahan Kedua atas Permen ESDM No.39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM, dimana pada bulan Juli 2016 ditetapkan harga jual premium Rp. 6.450 dan Bio Solar Rp. 5.150 dengan posisi ICP 37 USD/Barel.
“Naiknya harga minyak internasional saat ini yang sudah mencapai 66 USD/Barel, bahkan lebih tinggi dari asumsi makro APBN 2018 sebesar 48 USD/Barel, hal ini berimbas pada harga BBM, dan pada akhirnya jika tidak ada kebijakan fiskal pemerintah akan menjadi beban finansial Pertamina, dan dipastikan keuntungan Pertamina akan tergerus,” tuturnya.
Selama 2017, kata Herman, Pertamina kehilangan peluang keuntungan sekitar Rp. 19 Triliun, angka yang sangat besar yang semestinya dapat mendongkrak kemampuan Pertamina berinvestasi. Demikian pula dengan PLN, perusahaan negara ini keuntungannya terus tergerus karena melaksanakan penugasan pemerintah dimana penetapan harga jual perKWHnya ditetapkan oleh pemerintah tanpa dukungan kebijakan fiskal disaat harga energy primernya terus naik, bahkan kenaikan harga Batu Bara menjadi penyebab utama beban finansial PLN.
“Semua Ini menjadi pilihan pemerintah, akankah mempertahankan harga dengan membiarkan Pertamina dan PLN kehilangan kemampuan finansialnya sehingga tertinggal dalam melakukan investasi dan kehilangan sumber pendapatan keuangan negara, atau menyediakan tambahan APBN untuk melakukan reformulasi atas besaran subsidi terhadap harga penugasan, yang tentu semua ini menjadi domain pemerintah,” ungkapnya.
Penugasan barang bersubsidi pemerintah kepada BUMN sangat bermanfaat bagi rakyat, namun demikian janganlah membebani keuangan BUMN, harus profesional karena menurut UU BUMN no. 19 tahun 2003 pasal 66 Ayat 1 bahwa Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN. Adapun maksud dan tujuan BUMN adalah menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan berdaya sang kuat, dan mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai badan usaha.
“Semestinya Pertamina dan PLN diperkuat kemampuan finansialnya ditengah persaingan global, agar mampu melakukan akselerasi investasi, dan meningkatkan sumber pendapatan negara,” tandasnya.
Sementara itu, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menuturkan, skema penyederhanaan tarif merupakan cara yang sangat halus, licin, untuk menaikkan tarif listrik yang dijual Perusahaan Listrik Negara (PLN) kepada masyarakat. Rakyat menjadi sapi perahan pemerintah melalui PLN.
“Apa yang dimaksud penyederhanaan tarif oleh pemerintah? Menurut PLN, penyederhanaan hanya berlaku bagi pelanggan dengan golongan 900 VA tanpa subsidi, 1.300 VA, 2.200 VA, dan 3.300 VA. Semua golongan tersebut akan dinaikkan dan ditambah dayanya menjadi 4.400 VA. Sementara golongan 4.400 VA hingga 12.600 VA dinaikkan dan ditambahkan dayanya menjadi 13.000 VA, dan golongan 13.000 VA ke atas dayanya akan di-loss stroom,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah membagi golongan tarif pelanggan PLN golongan 900 VA menjadi dua yakni glongan tarif 900 VA yang bersubsidi dan glongan tarif 900 VA yang tidak bersubsidi. Inilah yang menyebabkan banyak masyarakat yang menggunakan 900 VA kaget dengan tarif baru yang naik berkali kali lipat.
“Penyederhaan tarif merupakan bagian dari strategi penyesuaian tarif. Secara agresif, penyesuaian tarif PLN telah dilakukan sejak pemerintahan Jokowi berkuasa. Penyesuaian tarif dilakukan pada kelompok non subsidi yakni 900 VA ke atas,” terang Salamuddin.
Penyesuaian tarif adalah kenaikan tarif secara terus menerus berdasarkan tiga indikator yakni (1) nilai tukar, (2) harga minyak dan (3) tingkat inflasi. Dengan demikian maka tarif listrik non subsidi terus mengalami kenaikan berkejar kejaran dengan kenaikan indikator di atas. Bagaimana tidak? Penyebab inflasi adalah kenaikan tarif PLN, sementara tarif PLN menyebabkan inflasi membengkak.
“Ya jeruk makan jeruk. Selanjutnya, semakin tinggi level klasifikasi konsumen listrik maka semakin tinggi tarifnya. Sehingga untuk mengejar penerimaan hasil penjualan listrik yang besar, pemerintah berusaha menghapus pelanggan 900 VA ke bawah. Sebagai langkah awal pemerintah menghapus sebagian pelanggan 900 VA untuk diubah menjadi lebih dari 1300 VA,” ungkap dia.
Salamuddin menilai, penyesuaian tarif merupakan cara untuk melancarkan agenda pencabutan subsidi listrik hingga tidak ada lagi subsidi. Sebagaimana diketahui bahwa pencabutan subsidi listrik secara agresif telah dilakukan pemerintahan Jokowi sejak tahun 2014. Nilai subsidi listrik tahun 2014 sebesar USD 7,94 miliar, turun menjadi hanya sekitar 3,88 miliar dolar, atau menurun 51 persen.
“Dari total listrik yang dijual kepada masyarakat saat ini, hanya tinggal 22 persen saja masyarakat yang mendapat subsidi. Sisanya 78 persen masyarakat membayar listrik pada tingkat harga komersial lebih tinggi dibandingkan tarif listrik yang dijual di China, India dan Amerika Serikat,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, penyesuaian tarif merupakan strategi untuk menambah keuantungan PLN yang saat ini terjerat utang yang besar. PLN tersandera dengan bunga utang antara 4-8 persen yang harus dibayarkan setiap tahun. PLN mengambil utang dalam rangka mengejar ambisi pemerintah merealisasikan mega proyek listrik 35 ribu megawatt.
Diketahui, utang PLN saat ini berkisar antara Rp 400-500 triliun, tergantung pergerakan kurs rupiah terhadap USD. Utang yang setara dengan asset PLN sebelum revaluasi asset. Utang yang tidak akan pernah terbayarkan.
“Jadi jangan anggap remeh utang PLN karena rakyat yang harus bayar dengan tarif listrik mahal,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi