Sepanjang tahun, kasus kekerasan baik verbal maupun non-verbal terus terjadi di sekolah. KPAI pada tahun ini mencatat, 40 persen siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya. Sedangkan 75 persen siswa mengaku pernah melakukan kekerasan di sekolah. Selain itu, 50 persen anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah. Bagaimana solusinya?
Wartapilihan.com, Jakarta — Sekolah Ramah Anak (SRA) didefinisikan sebagai satuan pendidikan formal, nonformal dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainya serta mendukung partisipasi anak tertuma dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawaasan dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak di pendidikan.
Secara konseptual, konsep Sekolah Ramah Anak ini sudah baik. Namun, dalam implementasinya, menurut Retno Listyarti yang merupakan Komisioner KPAI, masih banyak yang perlu diperbaiki.
Salah satu contoh, menurut dia, sekolah ramah anak tidak hanya sekedar membuat anak aman dari kekerasan saja, melainkan juga sehat secara jasmani.
“Di kantin-kantin, misalnya, jajanan yang disediakan harus sehat, tidak hanya gorengan dan mie instan saja. Tapi juga buah dan sayur, jadi kondisi tubuh anak prima,” kata Retno, dalam acara ‘Dialog Indonesia Hari Ini’, di Gedung TVRI, Jakarta, Kamis, (19/8/2018).
Demikian pula dari segi bangunan atau gedung, menurut Retno juga ada evakuasi bencana. Tak hanya itu, anak juga harus bebas dari asap rokok, narkoba yang lingkupnya lengkap dan juga kompeherensif.
“Kemdikbud punya tapi hanya aman, tapi tidak aman dari sisi yang lain. Gerakan sekolah Ramah Anak, gerakan masyarakat ini gerakan yang akan makin kuat. Mulai dari penerimaan masa orientasi siswa mudah-mudahan menjadi awal menjadi proses 3 tahun (sekolah) yang lebih baik,” lanjut Retno.
Menurut dia, kasus kekerasan yang terjadi di sekolah cenderung langsung dilaporkan kepada pihak kepolisian maupun KPAI karena kurangnya harmonisasi antara orangtua dengan guru.
“Biasanya kalau ada kasus kekerasan, dicubit aja ngadu ke KPAI. Padahal, sekolah bisa bikin program unggulan sekolah, mengantar ke dalam kelas. Biar tau situasinya, anakku akan 8 jam di sini, mungkin ada masalah di jendela, kelas, kalau begitu bisa menyumbang apa. Cat maunya sebelah kanan merah, sebelah kiri biru. Di sekolah ramah anak, prinsip itu ada,” tegasnya.
Adapun soal gerakan mengantar anak ke sekolah, menurut Retno, hal itu adalah hal yang biasa. Karena bisa jadi orangtua memang melakukan hal tersebut setiap hari.
“Belakangan ada gerakan mengantar anak, kalo saya melihat kalau sekedar nganterin udah selesai, tiap hari dilakukan jangan-jangan (mengantar anak). Sinergi antara sekolah dan orangtua, penting.
Dimulai dari nenyiapkan diri, wali kelasnya sudah dibagi, menghias ‘Selamat Datang’ (untuk orangtua dan murid), kemudian orangtua masuk ke kelas; dengan begitu harmonisasi antara orangtua dan guru terbangun,” tukas Retno.
Sementara itu, Jimmy Paat selaku pengamat pendidikan mengamini apa yang dikatakan Retno, bahwa keamanan dan kenyamanan dimulai dari guru. Misal, guru tidak boleh merokok di sekolah agar hal tersebut membuat anak menjadi nyaman.
“Sederhananya, kenyamanan diawali dari guru tidak boleh merokok di sekolah. Kenyamanan terasa buat anak. Jadi harus mengarah ke kenyamanan itu,” tutur Jimmy.
Perihal orangtua yang hanya mengantar sekolah, menurut dia sangat artifisial. Maka, seharusnya orangtua melakukan lebih dari itu.
“Orangtua juga harus meminta kepada anak, kalau bisa, anak pulang ke rumah mendeskripsikan apa yang sudah dilakukan oleh anak di rumah. Mendengar kan anaknya di rumah. Itu nantinya harus disampaikan lagi ke pihak sekolah. Kualitas hubungan menjadi penting,” pungkas Jimmy.
Eveline Ramadhini