Wartapilihan.com, Jakarta –Perseteruan antara ormas HTI dan GP Ansor terjadi sebelum Pemerintah menerbitkan peraturan pengganti perundang-undangan (Perppu). Tidak hanya di tataran diskursus, tetapi sampai kepada tuntutan GP Ansor kepada pihak Kepolisian untuk membubarkan pengajian-pengajian yang digelar oleh anggota HTI karena dinilai tendensius dan provokatif.
Menelusuri hal tersebut, wartawan Warta Pilihan, Ahmad Zuhdi, menggali akar persoalan dari Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat GP Ansor, Adung Abdul Rochman usai diskusi ‘Melawan Intoleransi dengan Perda, Perlukah?’ di Gedung GP Anshor Pusat, Jakarta, Jumat (4/8). Berikut kutipannya:
Bagaimana pandangan GP Ansor atas Perppu dan pencabutan status Badan Hukum HTI?
Secara substansi, kami mendukung Perppu. Dikeluarkannya Perppu itu memang karena instrumen hukum yang sah, konstitusional dan bisa membubarkan organisasi masyarakat yang dianggap anti atau bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
Sebab kita tahu bahwa HTI itu tujuannya mendirikan Khilafah Islamiyah. Hal itu otomatis akan mengancam Pancasila, NKRI dan kemajemukan bangsa Indonesia yang sangat plural. Bagi kita, walaupun itu utopis tetapi sangat berbahaya karena mereka bukan hanya pada tataran wacana saja tetapi sudah pada gerakan-gerakan sistematis yang tujuannya mengarah kepada pendirian negara Khilafah.
Apa gerakan sistematis yang dilakukan oleh HTI?
Pertama, mereka mengajak, mempengaruhi dan merekrut kelompok-kelompok strategis. Yang merekrut anak-anak muda dari kampus dan itu menjadi sumber daya untuk masuk ke kalangan birokrasi, perusahaan dan sektor-sektor strategis lainnya.
Kedua, termasuk mempengaruhi TNI, Polri dan pegawai negeri kita.
Ketiga, mereka juga mempengaruhi, merekrut tokoh-tokoh agama dan juga tokoh-tokoh yang ada di dalam organisasi masyarakat seperti NU dan lain-lain juga tokoh-tokoh di level bawah yang dekat dengan masyarakat. Jadi ini saya kira gerakan mereka yang dilakukan step by step secara sistematis tersebut.
Siapa tokoh NU yang mereka pengaruhi termasuk TNI Polri?
Saya kira belum sampai kepada tokoh-tokoh dari TNI Polri yang masih aktif, termasuk tokoh-tokoh masyarakat. Tetapi mereka berusaha untuk mempengaruhi kelompok-kelompok strategis di semua level.
Dimana saja itu?
Oooh banyak. Mereka memengaruhi BUMN, maksudnya pegawai-pegawai lewat dakwahnya ya, juga lewat alumni-alumni perguruan tinggi yang sudah mereka didik dan mereka rekrut sejak awal. Mereka masuk kemana-mana.
HTI tidak pernah menggunakan kekerasan dan melanggar hukum. Mengapa dilarang?
Tidak ada persekusi, tidak ada pembubaran oleh masyarakat terhadap pengajian-pengajian. Yang ada adalah, misalkan Ansor, itu meminta kepada aparat atau memprotes kepada aparat dan meminta kepada pengurus Masjid agar tidak menghadirkan penceramah yang dapat menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Jadi tidak ada pembubaran pengajian, itu salah besar.
Yang Anda tahu, seperti apa gerakan dakwah mereka?
Jadi metode mereka itu tidak pernah menggunakan kekerasan seperti kelompok lain, tetapi mengapa ini perlu dibubarkan karena mumpung masih kecil. Mumpung masih belum kuat betul karena mereka itu menolak demokrasi, mereka menolak untuk ikut pemilu, mereka menolak menerima Pancasila dan NKRI, karena mereka tujuannya adalah Khilafah Islamiyah.
Jadi sekarang kita balik bertanya, metode apa yang mereka gunakan untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah ini kalau mereka tidak menggunakan jalur konstitusional (pemilu). Itu sudah jelas dalam pidato ketua HTI di Istora Senayan meminta kepada Panglima TNI untuk merebut kekuasaan dan menyerahkan kepada HTI. Itu artinya apa? Kudeta! Jadi itulah yang akan ditempuh oleh mereka.
People power?
Bukan people power. Ini adalah permintaan kepada TNI untuk menggunakan power-nya, memegang senjata untuk mengambil alih negara dan diserahkan kepada HTI. Jadi ini metode mereka. Aneh kan. Makanya sebelum mereka besar ya dibubarkan. Sebelum menggerogoti sendi-sendi masyarakat kita, menggerogoti demokrasi kita, menggerogoti aparatur negara kita.
Apakah Konten dakwah HTI provokatif?
Iya mereka mengatakan kepada masyarakat situasi negara ini sedang bahaya, rusak, krisis di mana-mana dan solusinya itu hanya satu yaitu Khilafah Islamiyah. Masyarakat didorong untuk mendukung gagasan ini dan mereka menciptakan kondisi dimana masyarakat menyatakan bahwa ini satu-satunya solusi. Mereka tidak mengakui demokrasi, yang jelas pidato Ketua-nya (Rohmat Labib) meminta TNI untuk menggunakan kekuasaannya.
Sudah pernah tabayyun (klarifikasi) dan dialog terbuka dengan HTI?
Saya kira sudah banyak sekali di tahun-tahun sebelumnya diskusi tentang hal itu. Yang terbaru ini debat antara aktivis HTI dengan aktivis NU. Termasuk menghadirkan pembicara secara tertutup tetapi mereka tetap pada pendiriannya dan mencoba untuk mempengaruhi. Jadi levelnya bukan pada penguatan kepada internal anggotanya tetapi sudah sosialisasi secara meluas.
Kapan terakhir GP Ansor bertemu HTI?
Saya tidak tahu kalau pertemuannya, tetapi kita terbuka. Kita terbuka dan berdiskusi dengan Kyai-Kyai muda kita terkait keagamaan.
Apa pesan dari Ketua Umum GP Ansor?
Jadi yang kita tolak dari mereka itu adalah pandangan mereka soal aspirasi Khilafah Islamiyah. Jangan tanya aspek. Kita tidak pernah mempersoalkan mereka dalam masalah ibadah, persoalan pandangan-pandangan keagamaan, tetapi yang kita tolak adalah pandangan mereka soal Khilafah Islamiyah dan menyandarkan semua masalah pada Khilafah Islamiyah. Itu sangat berbahaya dalam konsensus kehidupan berbangsa dan masyarakat yang plural ini. Tetapi kepada ekses-ekses anggota HTI, kita mengajak mereka kepada pangkuan Ibu Pertiwi dan konsensus kita dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam pandangan kita, Pancasila, NKRI dan konstitusi kita ini adalah kesepakatan bersama yang para ulama menyandarkan hal-hal itu kepada dalil-dalil syar’i. Jadi Pancasila dan NKRI ini basis-basisnya dengan syariah. Ulama-ulama yang besar dan hebat pada masanya itu dari aspek keilmuan, sanad dan keagamaannya itu sangat terjaga seperti KH. Hasyim Ashari dan ulama-ulama lain.
Saya tidak percaya mereka (ulama) itu setuju dengan Pancasila dan NKRI tanpa dilandasi dengan dalil-dalil syar’i. Buktinya ada fatwa jihad yang jatuh pada tanggal 22 Oktober dan kita peringati sebagai Hari Santri. Itu kan fatwa Jihad, bukan main-main. Memerintahkan para santri dan masyarakat untuk berperang menjaga NKRI yang baru saja kita dirikan. Yang meninggal itu dihukumi dengan syahid dan itu tidak mungkin tanpa didasari dalil-dalil syar’i.