Mengapa Main Hakim Sendiri?

by

Perbuatan main hakim sendiri terus berlangsung. Dari memukul hingga babak belur sampai yang terekstrem: membakar hidup-hidup. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?

Wartapilihan.com, Jakarta –Januari 2017 lalu, dua orang pelaku begal motor dibakar massa. Pekan lalu, di Bekasi, Jawa Barat, seorang yang diduga pencuri dibakar hidup-hidup oleh massa. Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala mencoba menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Menurutnya, main hakim sendiri merupakan perilaku kelompok. Ketika kerumunan massa telah menjadi mob, maka perilaku kelompok menjadi tak terkendali, bahkan melakukan hal-hal di luar akal sehat.

“Yang bersangkutan adalah korban dari perilaku kelompok. Saat kerumunan orang menjadi mob, maka orang menjadi seperti tak punya akal sehat dan hati sehingga mampu melakukan hal-hal yg diluar nalar,” ucap Adrianus kepada Warta Pilihan, Jum’at malam, (4/8/2017).

Kajian atau opini terdahulu menjelaskan, hal ini terjadi karena polisi yang lambat turun tangan ke masyarakat. Tetapi, Adrianus mengatakan, tidak hanya hal itu. Pihak lain, seperti tokoh masyarakat, bisa memecah kerumunan tersebut.

“Sebenarnya tidak hanya polisi, tetapi siapapun bisa memecah kerumunan yang telah berubah menjadi mob. Seorang ustadz, misalnya, bisa menjadi orang yang berwibawa dan berpengaruh untuk menghentikan proses menjadi mob tersebut. Masalahnya, kemungkinan tokoh tersebut tidak ada di tempat,” paparnya.

“Untungnya, crowd turns to mob tidak menjadi fenomena umum. Ada banyak hal yang mencegah fenomena itu terjadi. Entah karena kehadiran polisi sejak dini, kehadiran tokoh-tokoh berpengaruh atau karena sebab-sebab lain. Misalnya, bubar karena hujan atau pengalih perhatian lainnya,” ia melanjutkan.

Sayangnya, perilaku yang tak mengedepankan hati nurani ini tidak termasuk kriminalitas. Adrianus menyatakan, bahkan secara hukum sulit untuk diperkarakan di pengadilan. Pasalnya, di dalam kerumunan tidak jelas siapa pelaku. “Hukum (hanya) berbicara tentang ‘Barang siapa yang melakukan’, sementara kerumunan itu tidak jelas siapa berbuat apa.” tutur Adrianus.

Meski secara hukum dan secara kriminologi tidak dianggap, Negara dapat melakukan dukungan moril terhadap keluarga yang ditinggalkan. “Sejauh ini tidak ada mekanismenya. Walaupun demikian, negara melalui jajaran Kemenkes kemungkinan bisa memberikan dukungan melalui semacam dana kontijensi,”

“Secara informal, saya juga menduga para pelaku (walau tidak mau mengaku) secara diam-diam dan tidak langsung akan membantu, mengingat mereka akan sulit melawan kata hati mereka sendiri,” pungkasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *