Sedikit Repot untuk Menghadapi Freeport

by
Diskusi bertajuk "Membedah Skema Perundingan Antara Pemerintah dan PT Freeport" di Menteng, Jakarta Pusat, Jum'at (10/3) siang. Foto: Ismail Al-'Alam/Warta Pilihan

Wartapilihan.com, Jakarta – Hubungan Pemerintah RI dan perusahaan tambang terbesar di Papua, PT Freeport Indonesia, memasuki babak baru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2017, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan menteri-menterinya menuntut 3 hal penting terhadap Freeport. Ketiganya adalah perubahan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), pembangunan smelter atau pabrik pengolahan bahan mentah hasil tambang, dan divestasi saham Freeport hingga 51%. Menurut wakil Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD), Rudi Hartono, ada 2 hal besar yang perlu diperhatikan dari tindakan tersebut.

“Yang pertama, Freeport bukan korporasi yg masuk lewat negosiasi bisnis murni. Ada proses politik pasca ’65, dan itu mempengaruhi kontrak karya,” terang Rudi dalam diskusi bertajuk “Membedah Skema Perundingan Antara Pemerintah dan PT Freeport” di Menteng, Jakarta Pusat, Jum’at (10/3) siang.

Kontrak karya adalah kontrak yang dilakukan antara Freeport McMoran Inc., perusahaan asal Amerika Serikat (AS) dan Pemerintah RI saat itu. Dalam sejarah Indonesia, Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menaruh sahamnya di bumi pertiwi. Hal tersebut terjadi tidak jauh setelah kelahiran Orde Baru (Orba). Di bawah pimpinan Soeharto, rezim Orba membuka pintu kapitalisme sedemikian lebar. “Kontrak karya inilah yang diperlakukan seperti undang-undang oleh mereka (Freeport-red), padahal tidak suci-suci amat,” tegas dia.

Saat itu, sambung Rudi, proses negosiasi berlangsung dengan koneksi politik yang kuat. Indonesia di bawah rezim Orde Baru mendapat sokongan AS untuk membasmi PKI dan mengalihkan dukungan politik dari Uni Soviet ke AS. “Freeport bahkan mendiktekan sendiri syarat-syarat dalam kontrak itu, seperti bebas pajak selama 3 tahun, dari tahun 1969 sampai 1971,” terangnya.

Dampak dari dikte tersebut adalah negara tidak punya saham dan pemasukan selama 3 tahun. “Selain itu, tidak ada kewajiban ganti rugi lahan ke suku-suku asli di sana, apalagi perlindungan ekologi,” kata dia.

Kontrak kerja idealnya berlangsung setara. Tanpa kesetaraan, Indonesia akan terus dipandang sebagai pelayan. “Model bisnis Orba yang memandang investor sebagai tuan dan kita pelayan, masih dipertahankan sampai sekarang. Ini menunjukkan betapa arogannya Freeport,” tutur Rudi.

Hal kedua yang harus diperhatikan adalah cara Freeport memposisikan Indonesia sebagai pemasok bahan baku. “Dalam perdagangan internasional, pandangan ini menempatkan negara kita sebagai negara pinggiran. Jika tidak ada desakan UU Minerba, Freeport mungkin tidak berniat membangun smelter,” kata Rudi.

Tuntutan UU itu pun tak diindahkan Freeport, sebab mereka sudah harus membangun smelter di tahun 2014, namun hingga tahun ini belum terlaksana. “Kita akan dibuat sebagai penjual bahan mentah terus. Kalau kita baca literatur Bung Karno atau Bung Hatta, ini identik dengan struktur ekonomi kolonial. Di zaman Hindia Belanda, kita hanya penghasil barang mentah untuk pasar dunia,” kata pengelola situs berita “kiri”, Berdikari Online, itu.

Ruang Sosial

Jika pemerintah bisa memenangi tuntutannya, ini akan menjadi momentum untuk nasionalisasi aset-aset lain. “Berdasarkan Pasal 33 UUD, negara harus berdaulat atas kekayaan nasionalnya. Semua bentuk perjanjian harus memposisikan negara sebagai pemilik daulat,” ucap Rudi.

Dampak dari sikap itu adalah semua investasi harus menguntungkan negara, baik melalui pajak, royalti, pemberdayaan masyarakat lokal, dan dialog sosial untuk mengatasi persoalan antara pendatang dan masyarakat. “Hal lain yang harus diperhatikan adalah alih pengetahuan dan teknologi, agar kita perlahan-lahan bisa belajar dan bertindak mandiri,” tegasnya.

Setiap tahun, Freeport menganggarkan 180 milyar hanya untuk keamanan. Hal tersebut akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk membangun ruang sosial.

Aktivis Pemuda Papua, Arkilaus Baho, menjelaskan bahwa dampak dari kapitalisasi Freeport adalah kerusakan lingkungan. “Tidak ada lagi tempat hidup yang bersih. Sungai semakin tercemar dan dangkal,” kata dia. Hal ini, bagi masyarakat Papua, sama saja dengan perampasan hak hidup dan budaya mereka. “Karena itu, selain menuntut divestasi 51%, pemerintah juga harus lebih memperhatikan keadaan budaya dan lingkungan di sana,” tambahnya.

Reporter: Ismail Al-‘Alam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *