Sedekah Naik Kelas

by
Sedekah Naik Kelas

Wartapilihan.com, Jakarta – ‘’Jangan samakan masjid seperti toilet umum, dimana kita bersedekah hanya seribu-duaribu perak.’’ Demikian tutur Ippho Santoso dalam sebuah seminar kewirausahaan di Surabaya, 4 Februari 2012.

Penulis buku berjudul 7 Keajaiban Rezeki itu tak berlebihan. Amalan sedekah, bagi sebagian orang, memang masih dianggap ‘’kacangan’’. Paling-paling seribu perak, yang dicemplungin ke kotak infak atau ke jaring ikan yang mencegat di jalanan.

‘’Ke masjid kok ‘membawa golok’, harusnya ‘memakai peci’ dong,’’ tamsil Ippho membandingkan sedekah Rp 1000 (dilambangkan uang kertas bergambar Pattimura membawa parang) dengan Rp 100.000  (uang kertas bergambar Soekarno-Hatta) .

Sentilan sang motivator bergelar ‘’Pakar Otak Kanan’’ itu, mengkonfirmasi kegalauan Erie Sudewo tentang sedekah yang masih under estimated di sebagian orang. Tokoh Zakat Nasional ini, dalam sebuah tulisannya bertajuk Keterhinaan Sedekah, dengan dramatis melukiskan posisi sedekah dibanding grants (hibah dari luar negeri):

 ‘’Grant hidup dalam suasana penuh prestise di tingkat-tingkat tinggi kenegaraan. Sedekah hidup di pinggir-pinggir jalan, di kampung dan di anak-anak yatim. Grant dihibahkan kepada negara miskin, terutama kepada negara yang terjerat utang. Sedang sedekah telah menghidupi rakyat bawah. Grant diajarkan di perguruan tinggi elit sebagai hadiah untuk negara-negara yang terjerat utang. Sedekah dilantunkan olah para ustadz di berbagai pengajian sebagai ajaran moral saja. Sosok grant dikemas sedemikian rupa seolah jadi penyelamat, sedang sedekah seolah cuma recehan tanpa makna. Maka grant menjadi demikian terhormat di kalangan petinggi negara, sementara entah, barangkali petinggi yang ber-grant-grant itu hanya menyalurkan sedekah melalui supir dan pembantunya. Sedekah yang demikian mulya dalam Islam, justru runtuh di tangan para petinggi yang muslim.’’

Menurut Syaikh Mahmud Yunus (1936) dan  Wahbah Az Zuhaili (1996), sedekah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima sedekah  tanpa disertai imbalan. Sedekah ini hukumnya sunnah. Untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah sedekah tathawwu’   atau ash sedekah an nafilah, sedang untuk zakat dipakai istilah ash sedekah al mafrudhah.

Seiring masuknya agama Islam ke Nusantara sejak abad VII, ajaran zakat, infak, sedekah (ZIS) menjadi bagian dari regulasi kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Misalnya Kerajaan Aceh, Banjar, Mataram Islam, dan lain-lain.

Pada masa Kolonialisme, Pemerintah Hindia Belanda melemahkan sumber keuangan dan dana perjuangan rakyat dengan melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi mengeluarkan zakat mal. Namun pada awal abad XX, diterbitkanlah peraturan dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda No 6200/28 Pebruari 1905, bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak akan lagi mencampuri urusan pelaksanaan ZIS.

Pada masa awal kemerdekaan, zakat kembali menjadi perhatian para ekonom dan ahli fiqih bersama pemerintah dalam menyusun ekonomi Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan kebebasan menjalankan syariat agama (pasal 29) dan pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara.

Pada masa Orde Baru, dengan restu Presiden Soeharto, dimulailah pembentukan Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang dipelopori Pemerintah Daerah DKI Jaya pada 1973.

Selanjutnya, di era Reformasi, pada tahun 1999 lahirlah Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dua tahun kemudian, pemerintah membentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001. Badan ini bertugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) pada tingkat nasional.

Sebelas tahun kemudian, UU No 38/1999 direvisi dengan UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No  14/2014 tentang Pengelolaan Zakat pada 14  Februari 2014 . PP yang memperkuat arsitektur baru perzakatan nasional ini terdiri  dari 11 bab dan 86  pasal.

Kelahiran ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 7 Desember 1990 yang dipimpin Wapres BJ Habibie, juga memberi jalan bagi lahirnya pengelolaan sedekah oleh swasta, yaitu Dompet Dhuafa (DD) Republika. Lembaga Amil Zakat (LAZ) ini lahir pada 2 Juli 1993.

Kesuksesan DD Republika dengan romantika jatuh-bangun dan trial & error-nya, merangsang kemunculan LAZ yang lain. Pada 1997, DD Republika mengarsiteki lahirnya Forum Zakat (FOZ) bersama 10 LAZ. Hingga 2013, sudah ada 18 LAZ Nasional, yaitu yang eksistensinya dikukuhkan oleh Departemen Agama. Sedangkan anggota aktif FOZ tercatat 30 lembaga dan yang pasif atau partisipan 200 lembaga.

Ketika LAZ lebih asyik dengan terma zakat, Ustadz Yusuf Mansur ‘’mengangkat derajat’’ sedekah. Sejak awal 2000-an, sedekah dijadikan tema sentral dakwahnya. Mulanya lewat buku, lalu ceramah, dan rekaman audio serta audiovisual. Maka, Republika pun tak ragu menyebut Ustadz Yusuf Mansur sebagai salah satu ‘’Tokoh Perubahan 2007’’ dengan predikat ‘’Sang Pelaku Sedekah’’.

Sejumlah penelitian menunjukkan peran Ustadz Yusuf Mansur dalam pembudayaan sedekah. Misalnya skripsi Rachmi Ardhilla,  mahasiswi Fakultas Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syahid Jakarta tahun 2011. Ia menyimpulkan bahwa dakwah Ustadz Yusuf Mansur melalui siaran ‘’Nikmatnya Sedekah’’ di MNC TV, sangat mempengaruhi jamaah pemirsanya.

Sofyan Hadi Rahman, rekan sekampus Rachmi, dalam risetnya pada tahun yang sama merinci dampak seruan sedekah Ustadz Yusuf Mansur. Dakwah Sang Ustadz menimbulkan pengaruh signifikan baik secara kognitif (pengetahuan), afektif (sikap penerimaan), maupun behaviour (tindakan).

Penelitian empat mahasiswa pada tahun 2012 yakni Sutikno (Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo Madura) beserta Umar Burhan, Moh Khusaini, dan Khusnul Ashar (Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya), mengungkapkan pola perilaku sedekah masyarakat.

Pertama, amalan sedekah dimotivasi oleh tiga kekuatan pendorong yaitu: (1) kekuatan emosional simpati dan empati; (2) kekuatan spritual; (3) kekuatan empirik, yaitu informan merasakan lebih dimotivasi oleh pengalaman-pengalaman orangtua dan keluarga yang mendapatkan kesuksesan dan kebahagian hidup karena mengamalkan sedekah.

Kedua, setelah mengamalkan sedekah secara istiqomah masyarakat merasakan reward berupa: (1) kesehatan dan terhindar dari musibah; (2) kesuksesan usaha dan tambahan penghasilan; (3) rejeki 10 kali lipat bahkan lebih dibanding yang disedekahkan.

Ketiga,  pelaku sedekah merasakan perubahan hidup ke arah yang lebih positif yaitu: (1) Sedekah meningkatkan ketaqwaan dan keimamanan kepada Allah. (2) Sedekah menghantarkan informan menuju pada perbaikan perilaku hidup seperti kejujuran, profesionalisme dan etos kerja tinggi.

 

Dari Brutal Sampai Membabi Buta

Setelah dipopulerkan Ustadz Yusuf Mansur, gerakan sedekah kini semakin mewabah. Ada yang spesifik berdasarkan bentuk atau ukuran sumbangan, seperti sedekah sepatu sekolah, sedekah makan siang, sedekah buku, dan lain-lain. Ada juga yang menurut frekuensinya, semisal sedekah seribu saja sehari, sedekah harian, sedekah Jumatan, dan sebagainya. Ada lagi yang namanya unik, sebagai contoh makelar sedekah, sedekah brutal, sedekah membabi buta, sedekah rombongan.

 

Gerakan Nasional

Kini, sedekah sudah ‘’naik kelas’’. Kalangan pengusaha, profesional, motivator, mengakrabkan diri dengan amalan sedekah. Bahkan tanggal 27 April ditetapkan menjadi Hari Sedekah Nasional (Harsena).

Harsena bermula dari kebiasaan amal Waroeng Group yang dikomandoi pengusaha Jody Broto Suseno. Setiap tahun, bertepatan pada 27 April, Waroeng Group yang meliputi outlet Waroeng Steak and Shake, Bebaqaran, Feskul, Bebek Goreng Haji Slamet Jogja dan Malang serta Soccer Futsal, menyedekahkan seluruh omset mereka hari itu. Pada 2010, sewaktu siaran di MNCTV, Ustadz Yusuf Mansur menggaungkan secara nasional kebiasaan sedekah Waroeng Group.

Seruan itu disambut para pengusaha yang tergabung dalam komunitas Spiritual Company. Misalnya pengusaha nasional Sandiaga Uno (Grup Saratoga), Mas Pramono bos jaringan resto Ayam Bakar Mas Mono, dan Bos RM Cibiuk Haji Iyus serta Bos Kebab Turki Baba Rafy Hendy Setiono.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun, dengan masukan dari Baznas, pada 2013 menetapkan 27 Ramadhan sebagai Hari Zakat Nasional. Hal ini dilakukan saat Presiden berkunjung ke Gedung Baznas, Jakarta, 5 Agustus 2013. (nurbowo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *