Wartapilihan.com, Jakarta – Seorang jurnalis berkewarganegaraan Amerika Serikat, Allan Nairn(60 tahun), dalam The Intercept(19/4), menulis hasil “investigasinya” dengan judul “Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President” (Sekutu Trump di Indonesia seranjang dengan ISIS yang didukung militer berupaya menggulingkan presiden pilihan rakyat). Situs Tirto.Id(19/4) menurunkan terjemahannya dengan titel “Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar”.
Artikel yang katanya berasal dari wawancara dengan para tokoh itu, juga berdasarkan sejumlah dokumen dari TNI, kepolisian, Intelijen, serta dari Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) yang bocorannya diperoleh dari Edward Snowden.
Disebutkan bahwa kasus penistaan agama yang menimpa Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) hanyalah jembatan untuk menuju tujuan yang lebih besar, yakni, menumbangkan Presiden Jokowi dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Sejumlah tokoh disebut-sebut, seperti Prabowo, Al-Khaththath, Fadli Zon, Usamah Hisyam, Munarman, serta Hary Tanoe.
Selama ini, Allan Nairn dikenal sebagai wartawan dengan reputasi jurnalisme investigasinya. Tapi, jika melihat hasil terakhir tulisannya tersebut, terasa benar jauh dari aroma jurnalistik. Untuk memenuhi asas dasar jurnalistik saja belum memenuhi syarat.
Misalnya, tokoh-tokoh yang katanya diwawancara tersebut ternyata hanya daiajak ngobrol, bukan wawancara. Ini terjadi pada mantan Kabais TNI Laksamana (purn) Soleman B Ponto. Dalam jurnalistik, seorang jurnalis mesti jujur, hasil obrolan itu bisa dikutip atau tidak atau hanya sebagai sumber? Ini yang tidak jelas.
Hary Tanoe, Fadli Zon, Munarman, misalnya, sama sekali tidak diwawancara. Padahal ketiga orang ini bukanlah sosok yang susah untuk dihubungi.
Jadi, jangan berharap hasil investigasi Allan Nairn mendekati karya Carl Bernstein dan Bob Woodward dari harian The Washington Post, yang berhasil menguak Skandal Watergate 17 Juni 1972 dan berujung pada pengunduran diri presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, pada 8 Agustus 1974.
Dalam kerja kerasnya kedua wartawan muda itu mendapat sumber-sumber A-1 yang berhasil menguak keterlibatan Gedung Putih dalam pembobolan kantor Partai Demokrat, 17 Juni 1972, itu. Dalam buku “All the President’s Men”, kita bisa mengetahui betapa rinci, detil, dan hati-hatinya kedua wartawan tersebut dalam memilih dan memilah sumber-sumber informasi yang hendak disuguhkan ke tengah-tengah masyarakat. Atas kerja kerasnya itu, Carl Bernstein dan Bob Woodward mendapatkan hadiah Pulitzer, sebuah penghargaan jurnalistik paling bergengsi di dunia.
Di titik inilah yang tidak terlihat dalam kerja jurnalistik Allan Nairn. Ia tak bisa membedakan antara karya jurnalistik atau karya intelijen; sumber yang mestinya “off” di “on”-kan; nara sumber yang mestinya dikonfirmasi malah dihindari; dan seterusnya.
Wal-hasil, melihat karya Allan Nairn ini kita tidak bisa membedakan, apakah analisa sebuah peristiwa atau analisa intelijen (yang keliru) yang sengaja disebarluaskan. Jika standar jurnalistik yang jadi acuan, karya Allan Nairn tersebut tidak memenuhi syarat. Kalau toh dipaksakan, inilah contoh dari karya “jurnalisme semu” yang lebih tepat disebut sebagai “propaganda” dengan agenda tertentu.
Itu sebabnya, adalah wajar jika seorang budayawan sekelas Jaya Suprana menjadi gundah atas artikel Allan Nairn tersebut. Kegundahan Jaya Suprana dituangkan dalam bentuk kolom yang diunggah oleh Kabar24(25/4) dengan judul “Jangan Pecah Belah Bangsaku”. Bagi Jaya, tulisan Allan Nairn tak lebih dari upaya memecah-belah anak bangsa, Bangsa Indonesia.
Penulis: Herry M.Joesoef