SANTRI AT-TAQWA BELAJAR PENDIDIKAN PANCASILA

by

Oleh: Dr. Suidat, M.Pd.I (Sekjen Pesantren At-Taqwa Depok)

Pendidikan Pancasila adalah salah satu kurikulum pokok dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Setiap pelajar atau mahasiswa diharuskan mengikuti atau mempelajari kurikulum Pancasila ini. Demikian juga di Pesantren At-Taqwa Depok para santri diajarkan materi Pancasila. Namun bukan sekadar mengenal Pancasila tetapi bagaimana memahaminya dengan benar.

Dalam menjelaskan Pancasila perlu dipahami terlebih dahulu bahwa Pancasila sebagai dasar negara tidak hadir secara tiba-tiba. Akan tetapi melalui proses sejarah yang berliku dan penuh dinamika. Oleh karena itu sisi kesejarahannya ini sangat penting untuk ditelusuri, agar tidak terjadi misinformasi dan ahistoris. Dengan cara ini maka akan diperoleh pemahaman yang komprehensif dan objektif tentang Pancasila.

Bagi seorang muslim menelisik dan memahami Pancasila harus dengan pendekatan dan perspektif Islam (Islamic worldview). Sebagaimana melihat dan menilai sesuatu yang lain mesti berpijak pada cara pandang yang didasari keimanannya. Cara pandang seperti inilah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam Indonesia. Apalagi sebagian mereka adalah para pelaku sejarah yang turut membidani lahirnya dasar negara.

Berdasar pada aspek kesejarahan, para santri At-Taqwa diajak memahami Pancasila bagaimana bisa menjadi dasar negara Indonesia. Melalui aspek sejarah ini maka akan diperoleh satu garis lurus pemahaman yang konsisten. Mampu menjawab penafsiran lain yang keliru tentang Pancasila.

Dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK, 29 Juni sampai 1 Juni 1945) beberapa tokoh telah menyampaikan rumusan mengenai dasar negara. Di antaranya Muhammad Yamin, Ki Bagus Hadikusumo, Soepomo, dan Sukarno. Akan tetapi tidak satupun dari rumusan dasar negara yang mereka usulkan disepakati oleh sidang BPUPK. Sampai akhirnya dibentuklah Panitia Sembilan yang diprakarsai dan rapatnya dipimpin oleh Sukarno.

Panitia sembilan yang terdiri dari sembilan orang itu (yaitu Haji Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, A.A. Maramis) bersidang pada 22 Juni 1945. Dari sidang ini dicapai satu rumusan dasar negara dan dikenal sebagai Jakarta Charter (Piagam Jakarta) atau sebagai Gentlements Agreement.

Pada sidang kedua BPUPK (10 – 17 Juli 1945) Sukarno menyampaikan hasil kerja Panitia Sembilan tersebut. Setelah mengalami perdebatan yang cukup alot, akhirnya Piagam Jakarta disepakati sebagai dasar negara. Sejak itulah Indonesia yang akan merdeka telah siap memiliki dasar negara yang pasti. Di atas dasar inilah kelak Indonesia akan berpijak dan merdeka.

Piagam Jakarta merupakan hasil kompromis dua golongan yaitu Nasionalis kebangsaan dan nasionalis Islam (nasionalis sekular dan Islam). Hal ini dinyatakan sendiri oleh Sukarno ketika Latuharhary (golongan Kristen) merasa keberatan dengan Piagam Jakarta khususnya pada kalimat : . . . dengan kewajiban menjalankan syari;at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sukarno mengatakan:

Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat; dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, sudah diterima oleh panitia ini. Kemudian pokok yang lain saya kira tidak ada yang menolaknya. Dengan demikian semua pokok-pokok pikiran yang termasuk dalam preambule dibenarkan oleh panitia sekarang ini”.[1]

 

Sampai diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta masih sebagai dasar negara Indonesia. Namun esok harinya (18 Agustus 1945) terjadi peristiwa dan perubahan yang mendasar, wabilkhusus pada tujuh kata yang utama itu.

Kalangan masyarakat Indonesia Timur (Kristen) yang diwakili beberapa tokohnya merasa keberatan dengan tujuh kata itu. Sebelumnya mereka telah sampaikan kepada Mohammad Hatta pada sore hari 17 Agustus 1945. Mereka “mengancam” akan berada di luar Indonesia jika tujuh kata itu tidak dihapus.

Esok harinya 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI dimulai, Mohammad Hatta meminta Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hasan untuk membahas apa yang disampaikan oleh kelompok Kristen. Pada kesempatan itu Ki Bagus tetap pada prinsipnya yaitu menolak keinginan kalangan Kristen untuk menghapus tujuh kata. Sebab baginya Piagam Jakarta merupakan sesuatu yang sudah disepakati bulat oleh semua golongan. Mengapa dipersoalkan lagi bahkan harus dihapuskan.

Perlu diketahui Ki Bagus Hadikusumo adalah seorang ulama, tokoh Islam yang sangat dihormati. Pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dari tahun 1942 – 1953, menggantikan KH. Mas Mansur)

Kasman yang hadir dalam pertemuan itu berusaha “membujuk” Ki Bagus untuk menerima rasa keberatan dari kalangan Kristen. Berikut sebagian dari kalimat Kasman kepada Ki Bagus: “Kyahi, Tidakkah bijaksana, jikalau kita sekarang sebagai ummat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tenteram, diredloi Allah”. Kasman juga menyampaikan bahwa kelak masih ada kesempatan untuk membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan bisa diterima semua pihak.

Alhasil dengan pendekatan yang dilakukan Kasman, akhirnya Ki Bagus bisa menerima penghapusan tujuh kata. Tetapi Ki Bagus mengganti dengan tiga kata “Yang Maha Esa” sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi Ki Bagus Yang Maha Esa ini bermakna Tauhid, yaitu sebagai konsep dan prinsip Ketuhanan dalam Islam. Tentunya konsep Tauhid ini tidak ada pada agama atau keyakinan lain.

Dari uraian ini para santri At-Taqwa kembali dipahamkan tentang substansi Pancasila. Dalam konteks perjuangan dasar negara, sila pertama ini sebagai kemenangan umat Islam. Sebagaimana dikatakan Kasman bahwa umat Islam jangan berkecil hati karena tujuh kata dihapus. Para tokoh Islam lainnya pun kemudian fokus dalam menafsirkan sila pertama ini. Masih menurut Kasman bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Sokoguru bagi sila-sila lainnya. Sementara menurut Buya Hamka sebagai urat tunggang Pancasila.

Inilah bentuk toleransi terbesar umat Islam dalam berbangsa dan bernegara. Salah besar jika umat Islam dituduh sebagai pihak yang tidak toleran. Bagaimana tidak, perkara sepenting dasar negara, umat Islam  masih memperhatikan dan menghormati kepentingan pihak lain (Kristen). Apalagi hal tersebut merupakan masalah yang sudah disepakati bersama.

Selepas Badan Konstituante dianggap tidak berhasil merumuskan dasar negara dan konstitusi yang baru (1956 – 1959), Sukarno akhirnya mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959. Dalam dekrit itu dinyatakan: pembubaran badan konstituante, berlaku kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUDS, serta pembentukan MPRS dan DPAS.

Pernyataan di dalam dekrit yang dipandang sangat penting bagi bangsa, khususnya bagi umat Islam adalah “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 adalah menjiwai UUD 1945, dan adalah merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Pernyataan ini menegaskan bahwa Piagam Jakarta tidak mati bahkan menjadi jiwa bagi UUD 1945. Di dalamnya terdapat “ruh” Piagam Jakarta. Menurut Kasman Singodimedjo tidak dapat dipisahkan, ia sehidup semati dengan UUD 1945.

Dengan demikian perjuangan umat Islam akan syariat agamanya dijamin dan konstitusional. Oleh karena itu umat Islam jangan berkecil hati. Pancasila merupakan kemenangan umat Islam.

Para santri At-Taqwa juga diajarkan bahwa di dalam Pancasila terdapat kata-kata kunci (pokok) dalam Islam. Kata-kata kunci itu adalah rahmat, berkah, adil, adab, hikmah, musyawarah, dan wakil (perwakilan). Istilah-istilah tersebut hanya dapat dijelaskan maknanya menurut perspektif Islam. Apalagi penduduk Indonesia mayoritas muslim, jadi sangat erat hubungannya.

Dalam pengelolaan negara sejatinya harus memperhatikan kata-kata yang pokok itu. Menjadi dasar dan tujuan dalam membangun bangsa, yaitu bangsa yang dirahmati, berkeadilan, penuh berkah, hikmah/bijaksana, dan seterusnya. Tentunya hal demikian menjadi harapan rakyat Indonesia. Semua itu harus didasari oleh keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah berfirman:

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.(al-A’raf:96)

 

Selain itu dijelaskan juga kepada santri At-Taqwa tentang kedudukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bahwa dekrit ini menjadi dasar yuridis bagi Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945. Kasman sendiri menilai Piagam Jakarta menjadi sehidup semati dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan menjadi rangkaian kesatuan Konstitusi tersebut. Artinya Piagam Jakarta adalah jiwa dan tidak bisa dipisahkan dari UUD 1945.

Mohammad Natsir menilai “Dengan diterimanya Dekrit Presiden oleh semua golongan, maka Pancasila sebagai dasar negara tidak dipermasalahkan lagi.” Sementara Mohammad Roem menyatakan “Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengingatkan umat Islam akan syari’at agamanya; dan syari’at itu adalah jalan menuju kesempurnaan, baik bagi hidup di dunia maupun di akhirat.”

Empat belas tahun Piagam Jakarta “terkubur” di bawah bangunan ideologi sekular dan resistensi kalangan Kristen. Sukarno masih punya kehendak yang kuat untuk menyebut Piagam Jakarta, bukan teori perasan dasar negara (Trisila dan Ekasila) yang pernah dia usulkan. Hal ini patut diapresiasi dan umat Islam patut berbangga hati. Sebab dengan demikian perjuangan syari’at Islam mempunyai dasar yuridis yang kuat.

Demikian ulasan singkat materi Pancasila yang diajarkan kepada santri Pesantren At-Taqwa. Semoga mereka dapat memahaminya dengan baik. Tidak lagi dipertentangkan antara Pancasila dengan Islam. Pancasila akan semakin kuat karena disokong oleh Islam. Pancasila adalah dasar negara Indonesia (Philosofische grondslag). Sementara yang menjadi pedoman hidup umat Islam adalah ajaran Islam itu sendiri. Seorang muslim yang menjalankan ajaran Islam dengan baik pastilah dia Pancasilais. Wallahu a’lam bishawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *