Wartapilihan.com – “Ya Allah, jadikanlah baginya sebuah tanda bukti kekuasaan-Mu, yang membantunya dalam menunaikan kebaikan yang dia niatkan.” (Doa Rasulullah untuk Thufail bin Amr ad-Dausi)
Thufail bin Amr ad-Dausi bin ad-Dausi merupakan tokoh utama suku Daus di masa jahiliyah, pribadi terhormat dari bangsawan Arab dan satu-satunya orang yang terjaga kehormatan dan wibawanya.
Tidak pernah periuk diturunkan dari tungku api sebagaiman pintu pun tak pernah ditutup di hadapan pengetuk pintu kecuali hanya diperuntukkan untuk pengetuk pintu…
Ia selalu memberi makan orang-orang yang kelaparan, memberikan jaminan keamanan bagi mereka yang ketakutan bahkan jaminan keamanan bagi yang suka meminta suaka politik.
Di samping itu, ia pun seorang penyair yang cerdas, penyair yang mampu menyentuh nurani, berperasaan lembut, sangat cermat terhadap keindahan kata dan pahitnya…
Ia mampu mempengaruhi dengan kata-katanya sebagaimana seorang penyihir mampu mempengaruhi orang yang mendengarnya.
Thufail meninggalkan kampung halamannya di Tihamah menuju Makkah, ketika pertentangan yang sengit antara Rasul yang mulia sengan kafir Quraisy, yang masing-masing berupaya dengan sekuat tenaga dan pikiran untuk mendapatkan pendukung dan simpati bagi golongannya. Rasulullah saw berdakwah kepada Allah, sedang senjatanya adalah keimanan dan kebenaran, adapun kaum kafir Quraisy menentang dakwahnya dengan menggunakan berbagai macam senjata bahkan menghalang-halangi umat Islam dengan berbagai macam sarana dan pra sarana.
Thufail mendapati dirinya masuk dalam peperangan ini tanpa adanya persiapan bahkan dalam ketidaksengajaan. Sebab kedatangannya ke Makkah bukan dalam rangka ikut dalam peperangan, terlebih tidak pernah terlintas dalam benaknya tentang apa yang terjadi antara Muhammad saw dengan kafir Quraisy.
Dari sini lah Thufail bin Amr mendapat hikayat yang tidak mungkin terlupakan, hikayat yang hendaknya kita dengarkan dengan seksama, karena keajaiban kisahnya.
Thufail menuturkan: “ Setibanya aku di Makkah, tidaklah pembesar-pembesar Quraisy melihatku hingga mereka menerima kedatanganku lalu mereka menyambutku dengan sambutan yang terbaik dan luar biasa, dan menempatkanku di tengah-tengah mereka dengan posisi yang terhormat.
Kemudian para pembesar dan tokoh-tokoh sentral mereka berkumpul untuk menghadapku, seraya berkata: “Wahai Thufail, sesungguhnya engkau telah tiba di negeri kami. Ada orang yang telah mengaku dirinya Nabi telah merusak urusan kami bahkan telah mencerai-beraikan dan memecah belah keutuhan dan kesatuan kami. Kami sungguh khawatir hal ini menimpamu dan merusak citramu di hadapan bangsamu sebagaimana yang telah terjadi pada kami. Oleh karenanya, janganlah engkau berbicara dengan orang tersebut serta jangan pula mendengarkan sedikitpun dari kata-katnya, karena ucapannya dapat menyihir laksana sihir para tukang sihir, yang mampu memisahkan seorang anak dari orang tuanya, seorang saudara dengan saudaranya bahkan antara suami dan istrinya.”
Thufail menjawab: “Demi Allah, mereka selalu menceritakan padaku berbagai kisah anehnya dan menakut-nakutiku dengan bahaya yang akan merusak diri dan bangsaku dengan berbagai perbuatannya yang aneh, hingga pada akhirnya kuputuskan untuk tidak mendekat kepadanya bahkan aku tidak akan berbicara atau mendengarkan perkataannnya sedikitpun.
Maka ketika aku berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan tawaf di Ka’bah dan meminta berkah (tabarruk) dengan patung-patungnya yang biasa kami menunaikan haji dan mengagungkan berhala-berhala itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak akan mendengar sedikitpun ucapannya dengan menutup kedua telingaku dengan kapas.
Akan tetapi, tidaklah aku memasuki Masjidil Haram hingga aku menjumpai seseorang berdiri menunaikan shalat di depan Ka’bah dengan gerakan shalat yang tidak sama dengan gerakan shalat kami selama ini, dan beribadah dengan pendekatan ibadah yang tidak sama dengan bentuk ibadah kami. Sungguh pandangan ini begitu mempesona bagiku bahkan menggoyahkan ibadahku. Sedikit demi sedikit tanpa sengaja kurasakan diriku berusaha mendekat kepadanya hingga pada akhirnya menjadi sangat dekat dengan orang tersebut.
Allah Ta’ala berkehendak lain, sebagian doa-doa yang dilantunkan sampai di pendengaranku, hingga kudengar kata-kata yang indah, yang membuatku berkata pada diriku sendiri…
“Celaka engkau wahai Thufail…
Bukankah dirimu seorang penyair yang cerdas, bahkan bukan rahasia bahwa engkau mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, apa sesungguhnya yang menghalangimu untuk mendengar perkataan lelaki ini…?
Jika yang dibawa kebaikan maka terimalah dan jika yang dibawa kejelekan maka tinggalkanlah.”
Thufail melanjutkan kisahnya:
“Kemudian aku berdiam diri hingga Rasulullah saw beranjak kembali ke rumahnya, akupun mengikutinya hingga beliau memasuki rumahnya dan akupun memasuki rumahnya. Aku berkata: “ Wahai Muhammad, sesungguhnya bangsamu telah berkata kepadaku begini dan begitu perihal dirimu. Demi Allah, mereka selalu membuatku takut akan seruanmu hingga aku menutupi kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar perkataanmu, namun Allah Ta’ala berkehendak lain. Hingga tetap terdengar di telingaku meski sedikit dari perkataanmu ternyata aku dapati (yang engkau bawa) itu bagus. Karenanya sampaikanlah dengan jelas kepadaku apa yang sesungguhnya engkau bawa.”
Kemudian Rasulullah saw menyampaikan penjelasannya kepadaku dengan membaca surat al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Allah Ta’ala, aku tidak pernah mendengar perkataan yang lebih baik dari firman-Nya, Sebagaimana aku juga tak pernah melihat perkara yang lebih adil dari perkara ini.
Saat itulah aku bentangkan tanganku kepadanya dan akupun bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad sebagai utusan Allah, akupun masuk Islam.”
Thufail berkata: “Kemudian aku tinggal di Makkah beberapa waktu untuk mempelajari ajaran Islam dan menghafal beberapa ayat yang mudah kuhafalkan, dan ketika telah bulat tekadku untuk kembali ke kampung halamanku, aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang yang disegani dan ditaati di keluarga besarku, aku akan kembali menemui mereka untuk menyeru mereka agar memeluk agama Islam. Oleh karenanya mintakan kepada Allah Ta’ala agar Allah jadikan untukku bukti kebenaran sehingga dapat membantuku menyeru mereka ke Islam. Maka Rasulullah saw berdoa: “Ya Allah, jadikanlah untuknya tanda-tanda kebenaran untuk seruan dakwahnya.”
Maka keluarkanlah aku menemui kaumku hingga aku berada di tempat yang tinggi di atas tempat tinggal mereka, terdapat cahaya laksana lampu di antara kedua kelopak mataku, maka aku berdoa: “Ya Allah, jadikanlah cahaya ini selain di wajahku, karena aku khawatir mereka menduga bahwa ini adalah hukuman yang di tempatkan di wajahku dikarenakan aku meninggalkan agama nenek moyang mereka…
Maka berpindahlah cahaya itu ke ujung cambukku. Orang-orang mengarahkan pandangan mereka pada ujung cambukku laksana lampu yang digantung, akupun turun dari dataran tinggi menemui mereka. Ketika aku telah turun, ayahku yang sudah berusia lanjut menemuiku maka aku sampaikan padanya: “Janganlah engkau mendekatiku wahai ayahku! Aku bukan seagama denganmu dan engkau bukan seagama denganku.” Ia bertanya: “Mengapa wahai anakku?”
Aku menjawab: “Sungguh aku telak masuk Islam mengikuti Muhammad saw.”
Ayahku berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya agama yang kau anut juga menjadi agama bagiku.”
Maka aku sampaikan kepadanya: “Bergegaslah dan mandilah serta bersihkan pakaianmu wahai ayah. Kemudian kemarilah hingga kuajarkan kepada ayah apa yang telah diajarkan kepadaku.”
Maka ia bergegas membersihkan diri dan pakaiannya kemudian menghampiriku. Akupun tawarkan Islam kepadanya hingga akhirnyapun ia masuk Islam. Kemudian istriku menghampiriku, maka aku sampaikan kepadanya: “Menjauhlah dariku, karena aku tidak seagama denganmu dan engkaupun tidak seagama denganku!.”
Iapun bertanya: “Demi ayah dan ibuku menjadi jaminanmu, ada apakah gerangan?”
Akupun menjawab: “Islam telah memisahkan antara diriku dengan dirimu, sungguh aku masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad saw.”
Ia menjawab: “Agamaku adalah agama yang engkau anut.”
Maka kusampaikan kepadanya: “Pergi dan bersucilah dengan air yang bersumber dari Dzi asy Syara – Dzu asy Syara yang merupakan patung sembahan suku Daus. Di sekitarnya terdapat mata air yang bersumber dari gunung.”
Istriku berkata: “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, apakah engkau tidak menghawatirkan akan terjadi sesuatu yang berasal dari Dzi asy-Syara yang menimpa anak-anakmu?”
Aku menjawab: “Celakalah engkau dan juga Dzi asy-Syara.” Aku sampaikan kepadamu: “Pergilah dan mandilah di sana agar jauh dari pandangan orang-orang, dan aku menjamin bahwa batu yang tuli nan dungu tidak akan membahayakanmu sedikitpun.”
Maka berangkatlah ia dan membersihkan diri di tempat tersebut, lalu tatkala ia datang menemuiku, aku paparkan Islam kepadanya hingga ia pun masuk Islam.
Aku menyeru kaum Daus, namun mereka sangat lambat dalam menerima seruanku kecuali Abu Hurairah. Ia adalah seorang yang sangat cepat responnya dalam menyambut seruan dakwah Islam.
Thufail berkata: “Aku datang ke Makkah untuk menemui Rasulullah saw ditemani Abu Hurairah, lalu Nabi saw berkata kepadaku: “ Kamu membawa berita apa, wahai Thufail?” Aku menjawab: “Hati yang tertutup serta kekufuran yang sangat… Sungguh kefasikan dan kemaksiatan telah menguasai suku Daus…”
Maka Rasulullah saw bangkit dan berwudhu dan menunaikan Shalat kemudian mengangkat kedua tangan beliau ke langit, Abu Hurairah berkata: “Saat aku melihat peristiwa itu, aku khawatir Rasulullah mendoakan kecelakaan kepada bangsakuyang mengakibatkan kebinasaan mereka, maka akupun bergumam: “ Wahai kaumku?!…”
Akan tetapi Rasulullah SAW mengucap dalam do’anya: “Ya Allah, berikanlah hidayah kepada suku Daus… Ya Allah, berikanlah hidayah kepada suku Daus… Ya Allah berilah hidayah kepada suku Daus…”
Kemudian beliau menoleh kepada Thufail seraya bersabda: “Kembalilah pada kaummu dan bersikap lembutlah kepada mereka lalu serulah mereka ke dalam Islam.”
Thufail berkata: “Aku tetap berada di suku Daus guna menyeru mereka ke dalam Islam hingga Rasulullah saw hijrah ke Madinah, sampai berlalulah perang Badar, Uhud dan Khandaq, lalu aku datang menemui Nabi saw dengan ditemani sebanyak delapan puluh keluarga dari suku Daus. Mereka telah memeluk Islam dan memperbagus keislamannya. Rasulullah saw berbahagia dengan kedatangan kami, sehingga beliau membagikan bagian harta dari rampasan perang Khaibar kepada kami sebagaimana yang telah dirasakan kaum muslimin lainnya. Maka kamipun berkata: “Wahai Rasulullah saw, jadikanlah kami berada di sebelah kanan baginda dalam setiap peperangan baginda dan tetapkanlah “Mabrur” (diberkati) sebagai semboyan dan lambang kami.”
Thufail berkata : “Kemudian aku senantiasa bersama Rasulullah saw hingga Allah Ta’ala mengembalikan kota Makkah kembali ke genggamannya.” Aku (Thufail) berkata: “Wahai Rasulullah, “Utuslah aku ke Dzil Kafain” (ia) merupakan patung Amr bin Hamamah hingga aku dapat membakarnya….? Rasulullah SAW mengizinkannya, maka ia pun berangkat bersama pasukan khusus yabf beraal dari kaumnya menuju ke patung tersebut.
Setibanya di tempat, ketika ia hendak membakarnya, berkumpullah kaum wanita, para lelaki anak-anak menanti-nanti akan terjadi musibah yang menimpa Thufail, atau menanti munculnya sambaran kilat yang akan menimpa Thufail ra, jika ia benar-benar merusak Dzul Kafain.
Akan tetapi Thufail tetap kokoh menghadap ke arah patung tersebut di hadapan para penyembahnya…
Lalu ia menyalakan api di dada patung tersebut dan kemudian melantunkan beberapa bait syi’ir:
Wahai Dzil Kafain.. aku bukanlah penyembahmu
Kelahiranku lebih dulu dari pada kelahiranmu
Sesungguhnya aku menyalakan api ini di dadamu..
Dan api terus membakar patung tersebut hingga membakar apa saja yang tersisa dari berbagai bentuk kesyirikan yang dilakukan oleh kabilah Daus. Lalu bangsa Dauspun secara keseluruhan masuk Islam dan memperbagus keislaman mereka.
Setelah itu Thufail bin Amr ad-Dausi selalu menjadi pendamping setia Rasulullah saw hingga beliau kembali ke pangkuan Tuhannya.
Setelah wafat Nabi saw, kepemimpinan umat berpindah kepada sahabatnya ash-Shidiq, dan Thufail menyerahkan jiwanya dan pedangnya serta anak-anaknya dalam ketaatan pada khalifah pengganti Rasulullah SAW.
Tatkala perang melawan gerakan pemurtadan sedang berkecamuk, Thufail dan anaknya bernama Amr turut keluar untuk bergabung dalam barisan tentara kaum muslimin demi menumpas gerakan Musailamah al-Kadzab.
Di tengah perjalanan menuju Yamamah, Thufail bermimpi, ia berkata kepsada sahabat-sahabatnya: “Sesungguhnya aku telah bermimpi, oleh karenanya ta’wilkan mimpi tersebut kepadaku!”
Mereka bertanya: “Mimpi apakah gerangan?”
Thufail menjawab: “Aku bermimpi kepalaku di gundul, kemudian seekor burung keluar dari mulutku, seorang wanita memasukkan diriku ke dalam perutnya dan anakku mulai menarikku dengan cepat, akan tetapi terdapat penghalang antara diriku dengannya. Para sahabatnya mengatakan: “Semoga takwilnya baik…”
Thufail akhirnya berkata sendiri: “Adapun aku demi Allah telah mentakwilkannya: “Adapun kepalaku digundul takwilnya adalah bahwa kepala itu dipenggal… sedang burung yang keluar dari mulutku takwilnya adalah keluarnya ruhku… sedang seseorang wanita memasukkanku ke dalam perutnya maka takwilnya adalah bumi iti digali untukku lalu aku dipendam di tengah-tengahnya…dan aku sangat berharap terbunuh sebagai syahid. Sedang tarikan anaku padaku maka takwilnya adalah bahwa anakku menuntut bisa meraih menjadi syuhada sebagaimana yang akan aku lalui atas izin dan perkenaan Allah akan tetapi ia mendapati syahadanya setelahku.
Dalam perang Yamamah, sahabat yang mulia Thufail bin Amr ad-Dausi mengalami ujian yang sangat berat hingga gugur sebagai syahid di bumi peperangan.
Sedang anaknya tetap berjuang dan berperang hingga luka-lukanya menjadi penyebab lemahnya badan dan kekuatannya, tangannya yang sebelah kanan terputus oleh sabetan pedang, lalu ia kembali ke Madinah dengan meninggalkan jasad orang tuanya dan telapak kanannya.
Di masa khalifah Umar bin Khatab, Amr bin Thufail memasuki rumah Umar. Ketika makanan telah dihidangkan untuk al-Faruq, sedang orang-orang duduk di sisinya, maka ia mengajak orang banyak menikmati makanannya. Lalu Amr bin Thufail menepi dan menjauh dari sisi khalifah. Maka al-Faruq bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi kepadamu? Apakah engkau menunda untuk menikmati makanan karena malu dengan hilangnya tangan kananmu?”
Amr berkata: “Benar wahai Amirul Mukminin.”
Umar menjawab: “Demi Allah, Aku tidak akan menikmati makanan ini hingga engkau ikut ambil bagian menikmatinya dengan tanganmu yang terputus…
“Demi Allah, tidak ada seorang pon di kaum ini yang telah mendapatkan bagiannya di surga kecuali engkau,” maksudnya adalah tangannya yang terputus di medan perang.
Cita-cita memperoleh derajat syahidnya terus menggelora pada diri Amr semenjak berpisah dari orang tuannya. Maka tatkala perang Yamuk berkecambuk, Amr segera bersama para pejuang lainnya dengan terus berperang hingga memperoleh syahid yang menjadi cita-cita ayahnya.
Kasih sayang Allah Ta’ala tertuju kepada Thufail bin Amr ad-Dausi, dialah sang syahid dan ayah bagi para syuhada. |RS
Penulis : Dr Abdurrahman Raf`at Basya (Sirah min Hayaatish Shahabat/Sirah Rasulullah, Pustaka as Sunnah, 2010) |