Investasi dan kebijakan ketenagakerjaan pemerintah, belum signifikan mengurangi tingkat pengangguran nyata. Industri padat karya perlu dikuatkan, maraknya serbuan tenaga asing harus menjadi perhatian.
Wartapilihan.com, Jakarta —Pemerintah mengklaim di tengah tidak pastinya ekonomi global, telah berhasil menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Tercatat dalam APBN 2016, tingkat pengangguran mencapai 5,6%, menurun dibandingkan tahun 2015 sebesar 6,2%. Sedangkan tingkat kemiskinan mencapai 10,7%, menurun dibandingkan tahun 2015 sebesar 11,2%.
Pernyataan ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat memberikan tanggapan pemerintah atas pertanyaan fraksi-fraksi DPR terkait rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun anggaran 2016 di Ruang Rapat Paripurna DPR, Jakarta, Selasa (18/7).
Secara keseluruhan, masih kata Sri, penurunan pengangguran ini, merupakan hasil dari kerja pemerintah meningkatkan kinerja ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02%, lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 4,8%. Sementara, pendapatan per kapita mencapai sebesar Rp 47,96 juta/tahun, lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang sebesar Rp 45,14 juta/tahun.
Tingkat ketimpangan pengeluaran atau rasio gini juga membaik dari tahun 2015 sebesar 0,402 menjadi sebesar 0,397. Sedangkan tingkat inflasi mencapai 3,02%, menurun dibandingkan tingkat inflasi tahun 2015 sebesar 3,35%
Penurunan pengangguran juga sempat disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat, tingkat pengangguran terbuka (PTP) mengalami penurunan. Pada Februari 2017 lalu, data pengangguran tercatat 5,33 persen atau 7,01 juta orang dari jumlah penduduk.
Menurunnya jumlah pengangguran, bisa menjadi kabar positif. Perekonomian masyarakat diharapkan lebih baik, selain juga bisa menekan angka kriminalitas. Namun, fakta ini tentunya belum bisa dianggap sebagai klaim, bahwa kebijakan ketenagakerjaan sudah di jalur yang benar.
Karena, ada yang terlupakan dari balik kabar positif ini. Yaitu mengenai masih besarnya pengangguran terselubung. Pengangguran terselubung artinya orang yang sebenarnya tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan periodik yang tetap.
Jumlah pengangguran terselubung ini tidak pernah terpantau. Selama ini, BPS hanya mencatat pengangguran terbuka. Karenanya, ada yang menyebut jumlah pengangguran terselubung bisa mencapai 30 persen hingga 40 persen dari total jumlah penduduk. Bahkan ada yang menyebut angka dari 7 juta hingga 20 juta pengangguran terselubung.
Berapa pun jumlahnya, yang jelas masalah pengangguran pada jangka menengah dan jangka panjang akan membebani keuangan negara, karena jumlahnya bisa semakin meningkat.
Indikasi peningkatan jumlah pengangguran secara riil ini bisa dilihat dari kurang bergairahnya sektor industri padat karya.
Industri tekstil, yang bisa menyerap banyak tenaga kerja misalnya, beberapa tahun ini mengalami penurunan kinerja, akibat gempuran tekstil Cina yang lebih murah. Permintaan industri tekstil Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mengalami penurunan. Tercatat permintaan industri tekstil turun dari US$13 miliar turun menjadi US$11,8 miliar.
Sektor ini juga melemah akibat aturan perpajakan yang malah tidak memihak pada iklim bisnisnya. Direktorat Jenderal Pajak sebelumnya menetapkan pengusaha tekstil sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang dampaknya malah membuat birokrasi perijinan semakin rumit demikian juga dengan sistem bisnisnya.
Persoalan ketenagakerjaan juga tambah pelik, ketika investasi dari luar negeri yang diharapkan bisa menunjang penyerapan tenaga kerja, malah memakai tenaga kerja sendiri, alias tenaga kerja asing. Tentu saja pengangguran di daerah tetap terjadi.
Tengok saja yang terjadi di Banten. Propinsi ini memiliki sekitar 14.327 perusahaan, namun data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten mencatat, pengangguran di Banten mencapai 8 persen dari total 11 juta penduduknya, sehingga menjadikannya wilayah nomor empat terbayak tingkat penganggurannya di Indonesia
Selain, tingkat keterampilan dan pendidikan yang belum standar, Banten juga diserbu oleh tenaga kerja asing. Diperkirakan ada 25 ribu tenaga kerja asing legal yang masuk ke Banten.
Jumlah itu sejalan dengan bertambahnya 12 perusahaan internasional yang masuk ke Banten. Dan jika dihitung, masuknya 1 tenaga kerja asing, sama saja dengan merebut lima kesempatan tenaga kerja lokal.
Jadi, pekerjaan rumah pemerintah untuk bisa mengurai masalah ketenagakerjaan ini masih banyak. Angka-angka penurunan pengangguran yang bisa diukur dari permukaan seharusnya tidak menjadi dasar kesimpulan, bahwa tingkat pengangguran bisa ditekan.
Pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya, hingga pembuatan kebijakan ketenagakerjaan yang adil, diharapkan mampu membuat masyarakat di seluruh wilayah, khususnya yang terdampak investasi, bisa tambah sejahtera.
Rizky Serati