Salah satu solusi mengatasi defisit BPJS adalah struktur keuangan BPJS harus diperkuat dengan suntikan modal dari pemerintah sebesar Rp20 triliun.
Wartapilihan.com, Jakarta — Mantan Menteri Kemaritiman Republik Indonesia Rizal Ramli mengatakan, BPJS Kesehatan mengalami masalah keuangan. Sementara, pemerintah hanya memberikan solusi temporal, tidak komprehensif dan berjangka panjang. BPJS baik umum maupun kesehatan adalah bagian dari sistem jaminan sosial. Sistem ini merupakan komponen penting untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Sayangnya, ide bagus ini selalu ditolak untuk dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Karena itu, pemerintah dari tahun 2009-2014 mengatakan Indonesia belum perlu BPJS karena tidak ada anggaran,” ujar Rizal dalam konferensi pers di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (14/11).
Menurut Rizal, pernyataan tersebut sangat tidak masuk akal. Sedangkan Rusia dan Jerman pada tahun 1860 sudah membuat sistem jaminan sosial. Mereka percaya dengan sistem tersebut kesejahteraan rakyat dan pemasukan negara dapat meningkat.
“Buat kami, kalangan intekletual progressif, perwakilan pekerja dan buruh mengatakan pemerintah Indonesia sudah terlalu ribet,” katanya.
Pasalnya, Undang-Undang BPJS merupakan turunan dari UUD 1945. Penolakan pemerintah terhadap ide BPJS, kata Rizal, merupakan cara berpikir yang terlalu liberal. “Karena setengah hati, sejak disahkan tahun 2011, BPJS baru dilaksanakan pada awal Januari 2014,” katanya.
Selain itu, Kementerian Keuangan saat itu di bawah Agus Martowadojo hanya memberikan dana sebesar Rp5 triliun untuk BPJS. “Jadi, jika dilihat sejak awal. Program (BPJS) ini sengaja dibuat gagal. Padahal, jika dikelola dengan benar, BPJS akan meningkatkan perekonomian nasional,” ujar pria sapaan akrab RR tersebut.
Rizal menuturkan, solusi mengatasi defisit BPJS adalah struktur keuangan BPJS harus diperkuat dengan suntikan modal dari pemerintah sebesar Rp20 triliun.
“Entah darimana dananya, jika pemerintah serius mengatasi defisit BPJS. Kami juga minta, Undang-Undang BPJS direvisi. Agar iuran BPJS lebih kuat. Pekerja menyumbang dua persen. Besaran iuran pekerja bisa disesuaikan dengan tingkat pendapatan. Misalnya, di bawah UMR gratis. Sedangkan perusahaan iuran sebesar enam persen,” saran dia.
Menurutnya, jika hal tersebut dilakukan struktur keuangan BPJS akan lebih sehat. Sedangkan untuk penyakit kronis, iuran BPJS harus disesuaikan dengan keuangan pasien.
“Penyakit paling besar sejak Januari adalah jantung dan gagal ginjal. Jadi, untuk penyakit golongan atas harus ada top of charge. Yang mampu, bayar lebih mahal. Saya minta agar dilakukan analisa dan perubahan di dalam penyakit-penyakit kronis,” katanya.
Masalah lain, kata Rizal, pasien dengan kartu BPJS antri lebih lama. Ia mengusulkan agar dibuatkan sistem online pendaftaran dengan memprioritaskan pasien yang mengidap penyakit akut.
“Yang sekarang, sistem komputer ada tapi dibuat lebih sulit. Harusnya, komputerisasi dibikin untuk mempermudah,” tandasnya.
Dalam kesempatan sama, Presiden KSPI Said Iqbal menuturkan, lahirnya BPJS karena paksaan dari berbagai elemen masyarakat dan beberapa personal di Parlemen. Saat itu, kata dia, ada tiga prinsip yang disepakati dengan DPR. Pertama, tidak ada batas biaya. Kedua, tidak ada perbedaan pasien. Dan ketiga, BPJS Kesehatan menanggung sejak seorang lahir hingga meninggal.
“Banyak rumah sakit menolak pasien karena tidak dibayar. Menurut saya ini tidak salah juga, karena BPJS terlalu lama mencairkan dananya. Persoalannya adalah soal defisit. Karena itu, Rumah Sakit mencari berbagai cara salah satunya dengan menurunkan pelayanan,” katanya.
Ahmad Zuhdi