Tata kelola industri garam perlu diperbaharui agar tidak tergantung impor. Perluasan tambak bisa menggandeng investor dan memanfaatkan kerja sama dengan petani melalui inti plasma
Wartapilihan.com, Jakarta –Keputusan Pemerintah mengimpor garam hingga 75 ribu ton di bulan Agustus ini, menjadi perhatian masyarakat. Rencana ini, bagaimana pun bisa berdampak pada jatuhnya harga dalam negeri yang kebanyakan dihasilkan petani garam.
Memang, ijin impor garam hanya diberikan kepada perusahaan milik negara PT Garam, dan untuk keperluan industri. Namun perlu jaminan kuat dari pemerintah bahwa garam hasil impor ini tidak akan merembes ke pasar dan mengendorkan harga yang bisa merugikan petani.
Produksi garam di dalam negeri sendiri, mengalami penurunan akibat perubahan cuaca. Sinar matahari sepanjang tahun ini tidak sebanyak biasanya, padahal industri garam dalam negeri mengandalkan matahari untuk menguapkan air laut.
Penurunan produksi garam sudah terlihat sejak awal tahun. Lalu, hasil produksi pada bulan Mei hingga Juli 2017 dari petani di 15 kabupaten ditambah dari PT Garam menukik hingga 6.200 ton.
Padahal tahun sebelumnya, dalam periode yang sama, produksi garam nasional bisa mencapai 498 ribu ton atau sekitar 166 ribu ton produksi per bulan. Dan jika di rata-rata, produksi nasional dalam kondisi normal bisa mencapai 2 – 2,5 juta ton per tahun.
Pemerintah memang terlambat melihat gejolak pasar. Padahal harga garam sudah berfluktuasi sejak lebaran. Di sini pembuat kebijakan seharusnya bisa belajar dari krisis garam konsumsi pada 2010. Akibat cuaca ketika itu, produksi garam nasional hanya 30 ribu ton, sehingga pemerintah mengimpor lebih dari 2,1 juta ton untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Banyak faktor yang mempengaruhi belum kuatnya tata kelola garam dalam negeri. Selama ini, kebutuhan garam industri memang tidak bisa dipenuhi oleh produksi sendiri. Produksi garam industri nasional sekitar 3 juta ton per tahun. Sementara kebutuhannya mencapai 4 juta ton.
Produksi nasional sendiri juga belum bisa memenuhi kebutuhan standar industri, seperti dari segi mutu, sehingga kebutuhan garam industri dan garam farmasi dipenuhi dari impor.
Karena itulah, meski kebutuhan impor hanya sekitar 1 juta ton, ternyata angka impor bisa terjadi hingga 2 juta ton. Hal ini yang kemudian membuat garam industri merembes ke pasar garam konsumsi. Dampaknya membuat harga garam anjlok, petambak garam merugi, dan tak merangsang perluasan ladang garam.
Sebagai negara dengan panjang pantai 81 ribu kilometer, seharusnya Indonesia bisa memenuhi kebutuhan garamnya sendiri. Namun produksi dalam negeri saat ini yang kebanyakan dipenuhi oleh petambak garam, memang belum bisa mengimbangi kebutuhan industri yang meminta spesifikasi produk tertentu.
Sementara produksi garam kita juga masih menggunakan teknologi sederhana. Sementara, lokasi produksi garam juga tak ideal, jauh dari pusat distribusi, berada di wilayah dengan curah hujan dan tingkat kelembapan yang tinggi.
Tingkat salinasi atau kadar garam lautnya juga rendah dan kotor, karena terletak dekat muara sungai. Semua itu menyebabkan produktivitas, kualitas, dan daya saingnya rendah.
Karena itulah, pemerintah perlu segera mendorong peningkatan produksi garam yang berkualitas. Ini bisa dimulai dengan membuka sentra-sentra produksi garam baru yang luas di daerah yang paling ideal.
Sentra garam yang baru harus memiliki curah hujan rendah, berpantai landai, tak ada muara sungai agar kadar garam laut tinggi, memiliki musim kemarau panjang, dengan tingkat kelembaban yang sangat rendah dan evaporasi yang tinggi. Seperti di Madura, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Juga di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Teluk Palu.
Produksi garam dalam negeri juga perlu memiliki daya saing tinggi, sementara produksinya juga harus efisien. Sehingga perlu penggunaan teknologi maju dan mekanisasi.
Pemerintah juga tak bisa menghindari kenyataan bahwa petani garam adalah salah satu komponen penting dalam mekanisme produksi garam dalam negeri. Karena itu, kerja sama pengembangan industri garam bisa melalui program inti plasma. Sehingga investor yang masuk bisa mendorong mekanisasi dan meningkatkan kesejahteraan petambak.
Rizky Serati