Oleh: Ahmad Zuhdi
Jurnalis Wartapilihan.com
Kendati Pasal 3 ayat (1) UU TNI, hubungan Kemenhan dan TNI sudah jelas. Kemenhan hanya sebagai koordinator dari kebijakan, termasuk soal kebijakan anggaran. Antisipasi strategis harus dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia, termasuk didalamnya jajaran TNI sebagai garda terdepan dalam menjaga kedaulatan NKRI.
Wartapilihan.com, Jakarta –– Tentara Nasional Indonesia atau biasa disingkat TNI adalah nama sebuah angkatan perang dari negara Indonesia. Pada awal dibentuk bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) kemudian berganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan kemudian diubah lagi namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) hingga saat ini.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI di Pasal 3 Ayat 1 menyebutkan, “Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden.” Sedangkan Ayat 2 dijelaskan, “Dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan (Kementerian Pertahanan).”
Syahdan, regulasi tersebut menjadikan TNI tidak dapat mengambil keputusan secara taktis. Ditambah terbitnya Permenhan Nomor 28 Tahun 2015, kewajiban TNI hanya membuat perencanaan jangka panjang, menengah, pendek.
Keberadaan TNI di bawah Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dituding sebagai penyebab terjadinya pelanggaran batas wilayah atau pencurian hasil bumi di daerah perbatasan. Karena itu, desakan agar TNI dikembalikan posisinya di bawah Presiden, bukan lagi Kemenhan, harus menjadi perhatian serius pemerintah guna menjaga kedaulatan NKRI.
Kendati Pasal 3 ayat (1) UU TNI, hubungan Kemenhan dan TNI sudah jelas. Kemenhan hanya sebagai koordinator dari kebijakan, termasuk soal kebijakan anggaran. Antisipasi strategis harus dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia, termasuk didalamnya jajaran TNI sebagai garda terdepan dalam menjaga kedaulatan NKRI.
Sebab, sifat dan karakteristik perang telah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi. Kemungkinan terjadinya perang konvensional antar dua semakin kecil. Namun, adanya tuntutan kepentingan kelompok telah menciptakan perang-perang jenis baru, diantaranya perang asimetris, perang hibrida dan perang proxy.
Perang Asimetris adalah perang antara belligerent atau pihakpihak berperang yang kekuatan militemya sangat berbeda.27 Akibat adanya perbedaan besar dalam kekuatan militer itu, pihak yang lemah tentu tidak akan secara konvensional dan terang-terangan melakukan perlawanan kepada pihak Iawannya, namun akan menggunakan teknik-teknik baru yang diluar kebiasaan dan aturan yang berlaku untuk melemahkan kekuatan lawan. Salah satu cara yang dilakukan melalui teknik gerilya.
Perang hibrida atau kombinasi merupakan perang yang menggabungkan teknik perang konvensional, perang asimetris dan perang informasi untuk mendapatkan kemenangan atas pihak lawan. Pada saat kondisi kuat, maka perang konvensional dilakukan untuk mengalahkan pihak lawan, namun pada saat situasi kurang menguntungkan, maka berbagi cara lain dilakukan untuk melemahkan pihak musuh.
Cara tersebut dapat berupa penyebaran infomasi yang menjatuhkan citra dan kewibawaan musuh. menyelenggarakan black campaign terhadap musuh, atau penyusupan ke dalam pihak Iawan yang kesemuanya bertujuan akhir untuk menghancurkan kekuatan musuh.
Sedangkan Perang Proksi atau Proxy War adalah sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara Iangsung dengan alasan mengurangi resiko konflik Iangsung berupa kehancuran fatal.
Biasanya pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti adalah negara, namun kadang juga bisa berupa aktor non negara (non state actor) yang dapat bemujud LSM, Ormas, kelompok masyarakat atau perorangan. Singkatnya, proxy war merupakan kepanjangan tangan dari suatu negaa yang berupaya mendapatkan kepentingan strategisnya namun menghindari keterlibatan langsung suatu perang yang mahal dan berdarah.
Semakin kompleks dan dinamisnya perkembangan lingkungan strategis yang berpengaruh pada pelaksanaan Pembinaan Teritorial (Binter), peran aktif Komando Kewilayahan melalui fungsi Binter harus lebih responsif dalam membantu pemerintah daerah, institusi terkait dan masyarakat untuk mengatasi berbagai persoalan.
Aparat Komando kewilayahan (Kowil) mulai dari Pangdam, Danrem, Dandim, Danramil hingga Babinsa dapat membantu mengoptimalkan pelaksanaan tugas pemerintahan di daerah, khususnya pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan, penanggulangan kebakaran lahan dan hutan, serta perkembangan ekonomi dan perkembangan lingkungan strategis lainnya untuk menyinergikan tugas-tugas satuan Kowil dan Pemerintah daerah.
TNI manunggal bersama rakyat merupakan jargon yang sering kali didengungkan kelompok militer. Kalimat ini sejatinya mengandung makna sosiologis dan politis. Sosiologis karena hendak menunjukkan bahwa TNI lekat dengan rakyat dan selalu berada di tengah-tengah rakyat. Setidaknya ini dilakukan ketika era Orde Baru muncul istilah ‘tentara masuk desa’, yang berarti melibatkan anggota TNI dalam pelaksanaan program pembangunan di desa.
Kalimat manunggal bersama rakyat juga dapat dilihat dari makna politis yang menunjukkan TNI mendapat kekuatan dan kekuasaan dari rakyat meski hal ini sesungguhnya sempat disalahgunakan pemerintahan Orba karena memanfaatkan konsep kemanunggalan untuk memperkukuh kekuasaan dengan basis kekuatan militer.
Konsep TNI manunggal bersama rakyat yang sebenarnya sudah muncul ketika sebelum reformasi, tetapi sesungguhnya pernah hampir luntur ketika terjadi peristiwa reformasi pada 1998. Dalam peristiwa politik yang terjadi di 1998, TNI sempat menjadi pesakitan sebab lembaga ini banyak dipersalahkan rakyat atas segala tragedi sosial, politik, ekonomi, bahkan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia.
Pemanfaatan militer untuk mempertahankan kekuasaan Orba dan penempatan militer dalam banyak lini sektor organisasi pemerintahan serta perusahaan negara telah membuat TNI tidak hanya menjadi ‘anak emas’, tetapi juga bagian dari kekusaaan itu sendiri.
Ketika pada masa Orba TNI digunakan sebagai alat mempertahankan kekuasaan, tidak jarang tindakan-tindakan represif diberikan anggota TNI kepada para aktivis. Padahal, urusan TNI adalah urusan pertahanan. Namun, pada saat itu kondisi ini mungkin sengaja tidak diatur secara jelas oleh pemerintah.
Akibatnya, di awal bergulirnya reformasi, kondisi TNI seperti berbalik 180 derajat, yaitu dari awalnya dikagumi dan dicintai kemudian seolah dianggap menjadi penghalang atau musuh. Ini terjadi karena adanya pemanfaatan militer oleh Orba untuk mempertahankan kekuasaan pemerintahan dan sikap aparat militer yang bersama-sama aparat kepolisian selalu bertindak represif ketika menyikapi aksi demonstran.
Lunturnya kepercayaan sebagian besar masyarakat atas institusi militer menjadikan TNI sebagai pesakitan, disalahkan atas berbagai peristiwa masa lalu, dan dianggap sebagai penghambat kemajuan demokrasi. Karena itu, hal yang perlu diingat TNI ialah proses mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya membutuhkan sebuah pengorbanan.
Kembali diserukannya TNI manunggal bersama rakyat sejatinya saat ini tidak diposisikan untuk kepentingan politik praktis tetapi untuk kepentingan politik kebangsaan, yaitu memperkuat kedaulatan negara dan bangsa di mata negara lain. Ketika kembali ke rakyat, sesungguhnya TNI benar-benar mengimplementasikan apa yang disebut manunggal dengan rakyat.
“Padahal angkatan perang! Tidak boleh ikut-ikut politik tidak boleh diombang- ambingkan oleh sesuatu politik angkatan perang harus berjiwa, ya berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa tetapi ia tidak boleh ikut-ikut politik.”
Pesan itu disampaikan Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno dalam pidato peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-8 pada 17 Agustus 1953. Sukarno tahu betul, tentara atau angkatan perang yang berpolitik praktis akan menciptakan kekacauan negara. Sebab, tentara atau angkatan perang memiliki senjata yang bisa digunakan untuk menundukan lawan-lawannya secara paksa.
Meski pidato itu sudah berusia lebih dari 65 tahun lamanya, namun konteks pesannya masih relevan dan terus diulang sampai sekarang. Netralitas TNI merupakan amanah dalam pelaksanaan reformasi internal TNI, sesuai Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. UU tersebut mengatakan “TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”.
Konsekuensi logisnya, TNI dituntut untuk tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Salah satu implementasinya TNI harus bersikap netral dalam setiap kegiatan pesta demokrasi (Pemilu). Bersikap netral dalam kehidupan politik, diartikan berdiri sama jarak dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh tarikan partai politik untuk ikut memperjuangkan kepentingannya.
Jika TNI ingin mengabdi melalui partai politik, maka syarat mutlak yang harus dipatuhi personel aktif harus segera mengundurkan diri sebagai anggota TNI. Hal itu dijelaskan dalam Pasal 2 huruf d ihwal jati diri TNI menyebutkan, “Tentara profesional yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.”
Selain itu, guna menguatkan peran TNI dalam menjaga kedaulatan NKRI dan mengurangi ketegangan dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), pemerintah harus melakukan reposisi agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kapolri era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid Jenderal Polisi (Purn) Chairuddin Ismail pernah mengingatkan bahwa, fungsi kepolisian sangat berbeda dengan tentara. Pertama, memerangi kejahatan. Kedua, memelihara ketertiban umum. Ketiga, melindungi warga dari beragam ancaman.
“Saya menulis buku tentang ilmu Kepolisian di Indonesia. Banyak sekali yang tidak dipahami tentang Kepolisian. Kepolisian bukan sekadar institusi, yang kemudian diberi senjata disuruh melakukan sesuatu,” katanya seperti dikutip NusantaraNews edisi cetak Nusantara Vol 3.
Lebih rinci lagi, tugas pokok Polri di antaranya memelihara Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sejatinya, tugas Polri sangat berbeda dengan TNI. Polri adalah operator (pelaksana kebijakan negara). Bukan regulator (pembuat kebijakan negara). Posisi Polri harus di bawah departemen terkait dan bukan di bawah langsung presiden sehingga dijadikan alat politik oleh partai ruling class (penguasa). Sampai di sini, sudah banyak pihak mengingatkan bahwa tugas Kapolri memang tidak gampang. Ia harus paham benar tupoksinya agar tak offside.
Menempatkan posisi Polri di bawah komando presiden adalah inkonstitusional (pelanggaran UUD 1945). Seharusnya, Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementerian Hukum, dan tidak boleh dipersenjatai senpi seperti tentara. Polri adalah sipil atau non-kombatan (non-tempur). Sementara tentara adalah kombatan (tempur) yang harus dipersenjatai senpi kaliber apapun.
Bagi Polri, pilihan sekarang hanya ada dua. Pertama, kembali kepada Dephan (sekarang Kemhan). Kedua, di bawah Kemendagri (dulu Depdagri). Dan jelas, opsi pertama tidak populer. Artinya, opsi kedua adalah pilihan satu-satunya. Sehingga, Polri dapat fokus pada fungsi pokoknya yakni menjaga Kamtibmas dan mengayomi masyarakat, bukan menghadapi masyarakat dengan senjata api.
Fungsi tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30 ayat empat (4), yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.