Jejak Indonesia dalam Karya Ali Ahmad Bakatsir

by
Suasana seminar internasional yang membahas buku Ali Ahmad Bakatsir, dihibur dengan tarian Saman di sela-sela acara, Senin, (24/9/2018), di Teater Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ali Ahmad Bakatsir (1910-1969) merupakan sastrawan besar Mesir kelahiran Surabaya. Ia merupakan sastrawan yang turut berperan besar dalam kemerdekaan Indonesia.

Wartapilihan.com, Jakarta — Dalam bukunya ‘Audatul Firdaus’ yang bermakna Kembalinya Syurga, Ali Ahmad Bakatsir menuangkan karya-karyanya, baik syair maupun naskah drama.

Hal tersebut dibahas dalam Seminar Internasional bertajuk ‘Ali Ahmad Bakatsir: Sastrawan dalam Jejak Sejarah Indonesia’ dan Launching Buku ‘Audatul Firdaus’, di Teater Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin, (24/9/2018).

Salah satu pembicara yang datang langsung dari Uni Emirat Arab, Dr. Abdul Hakim Abdullah Zubaidi mengatakan, Ali Ahmad Bakatsir merupakan pengajar bahasa Inggris di Mesir selama 15 tahun paska kepindahannya dari Surabaya ke Mesir pada tahun 1934.

“Buku ini mengisahkan perjuangan bangsa Indonesia yang sangat detail seolah hidup di Indonesia padahal dia ada di Kairo Mesir, tapi beliau mampu mengisahkan dengan sangat detail,” terang dia.

Buku Audatul Firdaus, tutur Abdul, menulis tentang kemerdekaan Indonesia dalam bentuk karya sastra. Ali Ahmad Bakatsir berhasil mengisahkan tentang perjuangan Indonesia melawan penjajah, baik Belanda maupun Jepang.

“Buku ini dipersembahkan untuk rakyat Indonesia yang mengalami penderitaan akibat penjajahan,” tutur pakar Ali Ahmad Bakatsir ini.

Tak hanya soal keberanian bangsa Indonesia dalam melawan penjajah, ia menambahkan, buku ini juga berisi syair-syair dan naskah drama tentang kecantikan Indonesia, romantika percintaan dan ajakan dirinya untuk persatuan bangsa Arab di Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepada pemimpin nasionalis di Indonesia.

“Digambarkan dalam syair-syairnya, bahwa Indonesia merupakan surga yang ada di dunia yang dilukiskan dalam syair-syair,” cerita dia.

Ia menjelaskan, ada beberapa syair yang menggunakan bahasa Indonesia seperti kata ‘Merdeka’, ‘Madura’, ‘Jember’, ‘Banyuwangi’, dan ‘Surabaya’.

“Ada sebuah karya yang ditulis di Jember tentang seorang gadis Madura yang menurutnya sangat cantik, disebutkan di lehernya tidak ada perhiasan apapun. Deretan giginya adalah mutiara, dia melihatnya di Surabaya,” tutur Abdul.

Secara garis besar, buku ini menceritakan tentang kehidupan sosial di masyarakat Indonesia, juga termasuk bagaimana peran wanita dalam perjuangan bangsa. Ia hendak menunjukkan, perempuan memiliki peran dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Peran wanita dalam perjuangan bangsa, wanita yg meledakkan diri pada tank Jepang untuk membela bangsa. Perempuan pun memiliki peran dalam perjuangan bangsa. “Di akhir buku diterjemahkan lirik lagu Indonesia raya,” pungkasnya.

Sementara itu, Nabiel A. Karim Hayaze selaku penerjemah buku ‘Audatul Firdaus’ ini mengatakan, ada sesuatu yang istimewa dari buku ini sehingga dirinya tergerak untuk menerjemahkan karya Ali Ahmad Bakatsir ini.

Ketika buku ini ditulis, ia mengatakan, sebenarnya sejak awal Soekarno-Hatta dan Sutan Syahrir telah bersepakat untuk berbeda pendapat. Soekarno-Hatta yang berjuang bekerjasama dengan Jepang, sementara Syahrir yang bergerak di bawah tanah.

“Saya coba cocokkan (dengan buku sejarah asli), ternyata detail itu ada, mereka sebenarnya bersepakat untuk beda pendapat agar ketika ada Anggotanya Syahrir ditangkap, bisa diselamatkan oleh Soekarno Hatta.

Rakyat Indonesia saat itu tidak ada yang tahu. Disangkanya perang, padahal bersandiwara. Istimewanya, Ali Ahmad Bakatsir bisa tahu. Saya baru tahu, saya cek ternyata bisa sama (dengan buku sejarah). Padahal waktu jaman Jepang, radio enggak ada, media enggak ada. Saya, bisa ditulis oleh Ali Bakatsir,” ia berdecak kagum.

Tak hanya kepiawaiannya dalam mengarang secara detail dan kompatibel, menurut Nabiel, Ali Ahmad Bakatsir aktif menulis di media massa lokal Mesir sehingga masyarakat Mesir tergerak secara emosional untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada saat itu.

Demikian juga dengan para elit politik, Ali Ahmad Bakatsir melalui karyanya berhasil untuk menggerakkan Mesir untuk segera mengakui kemerdekaan Indonesia.

“Ali Ahmad Bakatsir berhasil membentuk opini publik terhadap pemimpin Mesir sehingga mengakui kemerdekaan Indonesia,” ia menjelaskan.

Dalam sebuah karyanya, nama Soekarno ditambahkan Ahmad meski sebenarnya tidak ada nama Ahmad. Ia melakukan hal tersebut bukan tanpa tujuan.

“Di Mesir dijadikan bahkan nama Ahmad Soekarno dijadikan sebuah nama jalan. Kenapa ditambahkan Ahmad? Untuk menarik minat bangsa Mesir bahwa ketiga pemimpinnya muslim (Soekarno, Hatta dan Syahrir). Hal kecil tetapi signifikan; dengan menambahkan satu nama ikut mengubah pandangan pemimpin Arab,” jelas Nabiel.

Akhirnya, pada tahun 1946-1947, Mesir mengundang pemerintah Indonesia untuk mengirimkan wakilnya untuk menandatangani persahabatan antara negara Mesir dan Indonesia, salah satu perwakilan yang turut datang yaitu AR Baswedan yang merupakan kakek dari Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.

“Dengan pengakuan ini, Indonesia setara dengan Belanda, yakni bisa berdialog, berdiplomasi, dan lain sebagainya,” pungkasnya.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *