Putusan MK Rusak Tatanan Kenegaraan

by
Ketua Bidang Hukum MUI Basri Bermanda kritisi keputusan media di Gedung MUI, Jakarta, Rabu (16/1). Foto: Zuhdi

Saat ini, ada dua masalah hukum dan kebangsaan yang harus mendapat respon tepat dan arif dari negara, terutama MUI. Pertama, pencantuman kolom kepercayaan dalam e-KTP dan kedua, pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP.

Wartapilihan.com, Jakarta –-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Perkara 97/PPU-XIV/2016 yang menyatakan pencantuman kolom penghayat kepercayaan ke dalam KTP elektronik (e-KTP) menjadi sorotan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rakernas di Bogor beberapa waktu lalu.

Ketua Bidang Hukum MUI Basri Bermanda sangat menyesalkan putusan MK tersebut. Menurutnya, putusan MK kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama khususnya umat Islam Indonesia. Sebab, kata Basri, putusan itu berarti telah menjajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan.

“Kami berpandangan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan, serta merusak tatanan kenegaraan dan politik yang selama ini sudah berjalan dengan baik,” ujar Basri kepada Warta Pilihan (wartapilihan.com) di Gedung MUI, Jakarta, Rabu (16/1).

Seharusnya, lanjut Basri, dalam mengambil putusannya, MK mempertimbangkan dampak strategis sensitif dan menyangkut hajat hidup orang banyak, membangun komunikasi dan menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan. Sehingga dapat mengambil keputusan secara objektif, arif, bijaksana, dan aspiratif.

Kendati demikian, MUI sebagai payung Ormas-Ormas Islam, terang Basri, menghormati perbedaan agama, keyakinan, dan kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Kami sepakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi, sepanjang hal itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas dia.

Sebab itu, kata Basri, karena putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), maka MUI mengusulkan kepada pemerintah agar penghayat kepercayaan diberikan KTP elektronik yang mencantumkan kolom kepercayaan tanpa ada kolom agama. Adapun untuk warga negara yang memeluk agama dan telah mempunyai e-KTP, maka tidak dilakukan perubahan atau penggantian.

“Untuk pembinaan warga penghayat kepercayaan, tetap berada di bawah koordinasi Kemendikbud,” sambungnya.

Basri menilai, perbedaan isi e-KTP untuk umat beragama dengan penghayat kepercayaan bukanlah pembedaan yang bersifat diskriminatif atau pengistimewaan, namun merupakan bentuk perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda.

“Saya tidak tahu (siapa dalang intelektualnya dan apa motifnya), tidak sampai kesana. Kita hanya menerima putusan MK dan kita ajukan pihak terkait dari MUI,” tandasnya.

Pasal Kesusilaan dalam KUHP

14 Desember 2017, MK memutuskan menolak permohonan perluasan dalam pasal perzinahan. Yaitu Pasal 284, 285 dan 292. putusan itu tercantum dalam Putusan Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang diajukan Guru Besar IPB Euis Sunarti dan Aliansi Cinta Keluarga (AILA).

Sekjen MUI Anwar Abbas menyesalkan putusan MK tersebut. Dia menilai, putusan MK berdampak semakin rentannya masyarakat terhadap kejahatan kesusilaan seperti seks bebas tanpa ikatan perkawinan yang sah, perkosaan, pencabulan, hubungan seks yang tidak di atur dalam KUHP, dan berkembangnya perilaku lesbian, gay biseksual, dan transgender (LGBT).

“Hal ini tentu tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia yang berdasarkan hidupnya pada Pancasila, dimana sila pertama dan kedua adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab,” ujar Anwar Abbas.

Selain itu, kata dia, putusan MK mendorong berkembangnya pemikiran dan budaya hidup manusia Indonesia yang sekuler, liberal, dan jauh dari nilai-nilai agama serta kesusilaan. Berangkat dari hal di atas, MUI mendorong DPR dan Presiden memasukkan unsur pelaku kejahatan tidak dibatasi kepada kategori orang-orang tertentu saja dalam merumuskan pasal-pasal kesusilaan pada pembahasan RUU KUHP.

“MUI mendukung sepenuhnya dan siap berpartisipasi memberikan masukan serta saran dalam membentuk UU KUHP baru mengacu pada nilai-nilai Pancasila, dan menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda yang sudah berusia ratusan tahun, yang tidak sesuai dengan falsafah dan ideologi bangsa,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *