Pemerintah berencana akan mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Anggota Banggar (Badan Anggaran) DPR RI Sukamta, menyarankan pemerintah untuk mengkaji ulang terkait kebijakan impor beras. Berbagai spekulasi muncul akibat kebijakan sepihak itu.
“Padahal diperkirakan Februari 2018 para petani kita akan panen raya. Kenapa tiba-tiba pemerintah mau impor beras? Kajian dan datanya seperti apa? Pada siapakah pemerintah memihak? Pada petani dan rakyatkah, atau kepada importir?,” tanya Sukamta dalam keterangan persnya kepada Warta Pilihan (wartapiliha.com) di Jakarta, Rabu (16/1).
Sebab, lanjut Anggota Komisi 1 itu, persediaan beras di beberapa daerah surplus. Ia mencontohkan di daerah pemilihannya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan informasi dari Kepala Dinas Pertanian DIY, Sasongko, bahwa di Yogyakarta sendiri setiap tahun rata-rata surplus beras sekitar 200-250 ribu ton. Sementara produksi beras di DIY per tahun 920 ribu ton.
“Jika memang ada daerah-daerah yang nantinya kekurangan stok beras, setidaknya stok beras yang surplus di beberapa daerah bisa dialokasikan ke sana. Jadi saling melengkapi,” tuturnya.
“Jangan ujug-ujug mau impor beras. Kasihan juga para petani kita kalau beras hasil panennya nanti harganya anjlok karena masuknya beras impor. Sampai saat ini memang kita akui adanya kenaikan harga beras, yang diklaim sebagai pendorong pemerintah untuk melakukan impor,” imbuh Sukamta.
Tidak menutup kemungkinan, kata Sukamta, ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab meneguk keuntungan dari impor beras dengan mengorbankan petani kecil dan para tengkulak yang memainkan harga atau berdalih faktor musim hujan yang membutuhkan tenaga dan biaya lebih untuk pengolahan beras.
“Di sinilah pemerintah harus serius membenahi tata kelola niaga beras, supaya yang mendapatkan manfaat besar itu para petani dan rakyat kita,” ungkap Wakil Rakyat dari Dapil DIY itu.
“Saya dukung masyarakat DIY untuk surplus beras sehingga tidak perlu beras impor. Semoga daerah lain juga tidak kekurangan stok beras, lebih bagus lagi jika surplus, jadi bisa membantu memenuhi stok beras di daerah yang kekurangan,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) Andi Fajar menilai, respon Kementerian Pertanian Amtan Sulaiman menunjukkan ketidak seriusan menteri pertanian mengurus pertanian dan mengecewakan kemampuan petani Indonesia sebagai “produsen” terdepan.
“Karena faktanya, justru stok beras menurut petani masih sangat memadai. Ini dibuktikan dengan banyaknya daerah yang menolak Impor beras termasuk Sulawesi Selatan,” tutur dia.
Dengan demikian, imbuh Andi, Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan sebaiknya saling koordinasi dan berbicara dengan data yang jelas dalam mengeluarkan kebijakan. Jika tidak, miskinnya data dan ketidakakuratan data menteri akan merusak sistem pengelolaan negara ini.
“Menteri pertanian dan Menteri Perdagangan wajib saling koordinasi agar tidak kelihatan jalan sendiri-sendiri. Dan yang terpenting dalam pengambilan kebijakan adalah menteri boleh salah tapi tidak boleh bohong,” ujarnya.
Senada hal itu, DPN Pemuda Tani HKTI merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera melaksanakan singkronisasi dan integrasi data logistic nasional kepada kementerian dan lembaga terkait. Hal ini untuk mencegah keputusan yang keliru karena basis acuan data yang berbeda dari para pengambil keputusan.
“Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian harus menyelaraskan metode menghitung serta membangun system manajemen control stok beras nasional, yang dapat dipantau secara real time,” ujar Ketua Umum DPN Pemuda Tani HKTI Rina Saadah Adisurya.
Selain itu, dia juga meminta kepada seluruh stake holder pemerintah bahwa kebijakan impor beras dan komoditas lainnya, harus dipandang sebagai langkah akhir dan hanya dilakukan jika terjadi krisis pangan yang mengancam kelangsungan hidup rakyat Indonesia.
“Pemerintah harus segera memperbaiki manajemen logislik dan system informasi manajemen logistik pertanian secara keseluruhan, sehingga tercipta integrated chain yang efektif dan efisien sebagai basis pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan pangan,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi