Wartapilihan.com, Jakarta – Bedjo Untung dan kawan-kawan, pada 1-3 Agustus 2017 sedianya akan menggelar lokakarya di Aula PGAK (Pengurus Gereja Amal Kasih) Samadi — Pusat Pastoral Keuskupan Agung Jakarta yang berada di Jakarta Timur.
Namun, pada Senin (1/8) pagi, Polsek Duren Sawit dan pengelola PGAK Samadi, membatalkan acara tersebut. Hal ini dilakukan setelah mereka berkoordinasi dengan Danramil Duren Sawit dan Lurah Klender.
Ternyata, peserta lokakarya dari sejumlah kota itu bukan orang-orang sembarangan. Menurut Asintel Kasdam Jaya Kolonel Inf Zainul Bahar, Bedjo Untung serta rekan-rekannya adalah tokoh-tokoh PKI generasi II dan III serta anak-anak muda berhaluan sama. Bedjo Untung (68) adalah ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65.
Persamuhan Samadi tersebut merupakan pemanasan atau Pra Kongres IPT (International People Tribunal) 65 yang akan digelar pertama kalinya di Indonesia.
Yayasan IPT 1965 didirikan pada 18 Maret 2014, dengan Koordinator Umum Nursyahbani Katjasungkana. Sedang Profesor Saskia Wierenga menjadi koordinator riset dan Lea Pamungkas koordinator tim media di Indonesia-Belanda.
Pada 11-13 November 2015, IPT 1965 menggelar sidang rakyat di Den Haag, Belanda. Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Zak Yacoob itu menetapkan Tragedi 1965 sebagai kejahatan atas kemanusiaan.
Ada sembilan unsur kejahatan di dalamnya, yaitu pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan perempuan, penculikan, kerja paksa, stigmatisasi, propoganda, dan penyertaan negara asing. Hakim IPT 1965 juga menambahkan genosida sebagai kejahatan yang terjadi pada periode 1965-1966 dan sesudahnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa warga negara Indonesia (WNI) yang ikut aktif dalam IPT 1965 bisa didakwa dengan pasal 154 KUHP.
“WNI yang ikut aktif gelar PERADILAN INTERNASIONAL di Belanda berlaku asas nasional aktif dan dapat dikenakan pasal 154 KUHP. Pasal 154 KUHP: menyatakan perasaan permusuhan, kebencian/penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia…,” tulis Romli di akun Twitter @romliatma. Ia mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas terhadap WNI yang ikut aktif di IPT 1965.
Namun, waktu itu pemerintah Indonesia hanya mendiamkan saja. IPT 1965 kemudian merencanakan kongres perdana di Indonesia untuk mensosialisasikan keputusan sidang rakyat Den Haag.
Asintel Kasdam Jaya dalam laporannya menyatakan, walaupun pra kongres IPT 1965 berhasil dibatalkan, ke depan panitia masih akan terus berupaya untuk melaksanakan di lain tempat dan waktu.
Kemungkinan, lanjut Asintel Kasdam Jaya, pada saat mereka akan melakukan kegiatan pra IPT 65, akan mengundang para media, pengacara dan aktivis utk meminta perlindungan agar kegiatan pra IPT 65 tetap dilaksanakan.
Mereka akan terus mem-blow up tentang tindakan aparat yang dituduh semena-mena membubarkan acara pra kongres IPT 65. Tujuannya agar di mata masyarakat mereka adalah kelompok tertindas sehingga mendapat simpati.
Asintel Kasdam Jaya juga memperingatkan adanya upaya cipta kondisi yang dilakukan panitia pra kongres IPT 65 untuk menjatuhkan kredibilitas aparat.
Laman tribunal1965.org (2/8), menulis, lokakarya yang digelar IPT 65 bersama para korban dan aktivis hak asasi manusia disatroni oleh aparat kepolisian dan TNI.
Aparat datang bersama 10 orang berpakaian ‘preman’ menekan dan memaksa pengelola tempat lokakarya di Klender Jakarta Timur untuk menghentikan kegiatan dengan alasan tidak ada izin.
Panitia menuding aparat juga mengintimidasi peserta yang datang dari Jakarta maupun luar kota. Panitia menilai aparat menginjak-injak hak kebebasan berkumpul/berpendapat yang dilindungi konstitusi. (bowo)