Wartapilihan.com – Bulan Mei 2017 lalu, Jubir HTI Ismail Yusanto menyebut ada telegram Mendagri ke kepala-kepala daerah di Indonesia untuk melarang kegiatan HTI. Asisten Ismail sempat menunjukkan foto kopi dokumennya kepada wartawan. Namun ketika wartawan mengkonfirmasi ke Mendagri tentang hal ini, Mendagri membantahnya. Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa ia belum mengeluarkan telegram tentang pelarangan HTI. “Belum, belum, belum. Lagi dibahas di Polhukam,” ujar Tjahjo.
Entah Tjahjo berkata jujur atau tidak, yang jelas kegiatan HTI kini banyak dilarang di berbagai daerah. Di Depok, petinggi HTI (NI) kepada Warta Pilihan menyatakan bahwa ia dilarang Polres Depok ketika akan mengadakan pawai HTI di jalan-jalan utama Depok. Akibat larangan ini, HTI mengurungkan niatnya. Bahkan untuk mengadakan kegiatan yang sifatnya terbuka, pawai, seminar dan lain-lain HTI cabang Depok kini menahan diri.
Di Semarang, baru-baru ini Felix Siauw juga dilarang datang untuk ceramah di dua tempat di Semarang di masjid at Taufiq Banyumanik dan kampus Islam terkenal, Unissula Semarang. Alasan Polrestabes Semarang karena Felix diprotes oleh sejumlah ormas, yaitu Bantuan Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Semarang, Pengurus Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Semarang, Ganaspati, dan Patriot Garuda Nusantara.
Yang aneh, sikap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, yang mengapresiasi pembatalan Felix Siauw untuk kegiatan halalbihalal dengan alasan pemerintah pusat telah melarang HTI. .
“Melihat kondusivitas di Semarang kan sudah baik sekali. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kan jelas ormas yang sudah dilarang oleh pemerintah pusat,” kata Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi dari Fraksi PDIP. (lihat http://www.beritasatu.com/nasional/440476-sejumlah-ormas-islam-di-semarang-tolak-kehadiran-felix-siauw.html).
Di Yogyakarta bahkan di Masjid Salahuddin kampus Universitas Gajah Mada, Ismail Yusanto juga dicoret dari daftar ceramah di sana. Padahal selama ini Ismail sering ceramah di sana, karena ia adalah alumni dan aktivis dari Jamaah Salahuddin UGM. Pihak Rektorat kabarnya yang memerintahkan. Dari pusat, Menristek M Nasir memang sedang giat-giatnya menggalakkan penolakan radikalisme di kampus-kampus. Menristek bersama 29 Rektor anggota Konsorsium Perguruan Tinggi Negeri (KPTN) se-Kawasan Timur Indonesia (KTI), Juni lalu bersama-sama menyatakan menolak paham radikalisme. “Radikalisme di dalam kampus belum ada, tapi potensi itu ada, kerja sama dengan Polri untuk membantu jangan sampai muncul radikalisme, karena tempatnya anak muda, yang punya kemampuan intelektual tinggi dan sangat rentan terjadinya perubahan, oleh karena itu kami awasi, kendalikan bersama Polri, jangan sampai kampus menjadi pusat gerakan radikalisme,” ujar Nasir.
Siapa yang ingin melarang HTI?
Sejak Ahok kalah dari pilkada Jakarta dan dikenakan hukuman pidana, rupa-rupanya pemerintah Jokowi yang dibacup penuh oleh Megawati cs, Surya Paloh dan Luhut Panjaitan seperti gelap dalam hukum dan politik. Mereka melakukan hal-hal yang ‘menabrak hukum’ resmi di Indonesia.
Fadli Zon, adalah salah satu tokoh yang vokal mempermasalahkan hal ini. Fadli mempermasalahkan penahanan Sekjen FUI Mohammad al Khaththath dan penetapan tersangka Habib Rizieq. Pemerintah menggunakan kepolisian untuk menangkap tokoh-tokoh umat yang punya pandangan politik yang berseberangan dengan pemerintah tanpa hukum yang jelas.
Bayangkan A Khaththath dituduh pasal makar, tanpa alasan yang jelas dan sampai sekarang hampir empat bulan ditahan, hanya disidik satu kali. Begitu pula Habib Rizieq diincar polisi dengan berbagai tuduhan, mulai dari melecehkan Soekarno, ujaran kebencian dan terakhir kasus sexchat dengan Firza Hussein.
Dengan feeling politiknya, akhirnya Habib Rizieq memutuskan untuk hijrah sementara ke Arab Saudi. Entah kapan Habib akan kembali ke Indonesia –mungkin kalau aparat pemerintah Jokowi lewat lobi-lobi politik, berjanji tidak akan langsung menahan Habib atau menghentikan kasus Habib, begitu ia pulang ditanah air.
HTI pun kini kena imbas dari kebijakan politik pemerintah Jokowi. Presiden dari Solo ini, karena lemah pemahaman politik Jakarta, akhirnya banyak dikendalikan oleh orang-orang sekelilingnya. “Di istana ada dua kubu saat ini yang berpengaruh. Kubu Gorrys Mere dan Luhut Panjaitan serta di seberang kubu Tito Karnavian dan Wiryanto. Mereka kadang berseberangan dalam memberi masukan Jokowi dan Jokowi kadang bingung memutuskan,”kata seorang tokoh politik di tanah air kepada Warta Pilihan.
Kondisi pemerintah Jokowi saat ini, mirip dengan pemerintah Soeharto di awal Orde Baru. Saat itu Pak Harto yang tiba-tiba menggantikan Soekarno tidak mempunyai konsep membangun Indonesia, sehingga datanglah lembaga CSIS ‘menyetirnya’. Maka saat itu lahirlah kebijakan politik meminggirkan peranan politik umat Islam : melarang tokoh Masyumi berpolitik kembali, asas tunggal Pancasila, membenturkan Islam dengan Pancasila, melarang mahasiswa berpolitik, kebijakan Asal Bapak Senang dan sebagainya. .
Pemerintah nampaknya melakukan politik ‘makan bubur panas’ untuk HTI. Seorang yang makan bubur panas, tentu tidak bisa langsung dari tengah, tapi harus dari pinggirnya. Karena pemerintah tahu bahwa jalur hukum yang harus ditempuhnya berliku dan sulit untuk melarang HTI –apalagi menghadapi pakar hukum handal Yusril Ihza Mahendra- maka Jokowi menggunakan jalur birokrasi.
Jokowi memerintahkan para menteri dan bawahannya–terutama Menristek, Mendagri, Menag dan Kapolri- untuk mencegah perkembangan HTI. Maka tidak heran di berbagai tempat di Indonesia, kepolisian bekerjasama dengan orpol dan ormas melarang kegiatan yang melibatkan HTI atau anggota-anggota HTI.
Di samping itu, pemerintah Jokowi juga menggunakan tokoh-tokoh Islam sendiri untuk mengecam keberadaan HTI. Dalam hal ini, Aqil Siroj Ketua Umum PBNU berperanan besar. Bahkan kadang-kadang Aqil Siradj mengatasnanamakan ormas-ormas Islam untuk melarang HTI di Indonesia. Sehingga, akhirnya beberapa Ormas Islam, seperti Ikadi, Persis, Mathlaul Anwar dan Al Irsyad membantah bahwa mereka ikut-ikutan Aqil Siradj melarang HTI di Indonesia dan menganggap HTI radikal.
Rais Syuriah NU sendiri (Ketua Umum MUI), KH Ma’ruf Amien tidak begitu frontal dalam menyikapi HTI. Bahkan menurut sumber Warta Pilihan, Kiyai Ma’ruf ‘berhubungan akrab’ dan sering melakukan nasihat kepada petinggi HTI. Cuma karena ia sering di pemerintahan, sehingga pendapatnya saat ini tidak jauh berbeda dengan pemerintah Jokowi.
Di jajaran ormas, Jokowi menggunakan Banser NU dan ormas-ormas pro PDIP untuk melarang kegiatan HTI dan sejenisnya (FPI). Hal itu nampak nyata terjadi di Semarang dan Surabaya.
Kalangan-kalangan liberal pun ‘mendapat suntikan’ dari pemerintah untuk melawan dan melecehkan HTI dan tokoh Islam yang berseberangan pemerintah. Maka tidak heran, di twitter, muncul tiap hari twit aktivis liberal yang nyinyir terhadap aktivis Islam dan para ulama. Ahmad Sahal, Guntur Romli, Nong Darol adalah diantaranya.
Media massa pun kini terbelah menjadi dua dalam menyikapi kebijakan pemerintah melarang HTI. Kompas, Metro TV, Berita Satu, Detik dan lain-lain, membuat berita-berita dan opini yang sering menyudutkan HTI. Sedangkan media-media Islam, banyak yang membela HTI.
Meskipun di antara media Islam itu ada yang mengoreksi juga langkah-langkah HTI dalam perpolitikan di Indonesia.
“HTI ini adalah gerakan kaum muda Islam di Indonesia. Pengikutnya banyak orang-orang cerdas dari berbagai kampus ternama di Indonesia. Petingginya di Indonesia belum berumur 60 tahun. Mereka belum pernah mengalami tsunami politik sebagaimana tokoh-tokoh Islam Masyumi dulu di zaman Soekarno. Harusnya HTI belajar dari tokoh-tokoh Islam Masyumi dalam berpolitik. Jangan menyatakan bahwa nasionalisme dan demokrasi bertentangan dengan Islam. Nasionalisme Islam itu ada, sebagaimana demokrasi Islam. Sebagaimana juga bank Islam, universitas Islam dan lain-lain. Zaman baru membutuhkan ijtihad baru. Dan HTI harus berani meninggalkan sebagian pemikiran pendirinya Taqiyuddin an Nabhani dalam masalah ini. Tidak sedikit ulama Islam yang menyatakan ada demokrasi Islam dan nasionalisme Islam,” kata seorang aktivis Islam kepada Warta Pilihan.
Wallahu alimun hakim. II
Izzadina