Pilkada DKI 2017 dan Sekularisasi Politik

by
Anies Sandi berangkulan erat mensyukuri kemenangan Pilkada DKI Jakarta (19/4). Foto : Istimewa

Oleh : Mohamad Latief (Dosen di Universitas Darussalam Ponorogo)

Wartapilihan.com – Dalam perhelatan akbar pemilihan Kepala Daerah tahun ini, khususnya di Jakarta, ummat Islam dihadapkan pada pelbagai perkara penting. Fenomena sekularisasi politik adalah di antara perkara penting tersebut. Tentu hal ini menjadi menarik untuk dianalisa mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, namun ummat Islam terkadang mengalami kebuntuan untuk memadukan antara nilai-nilai kebangsaan dan Islam. Pada gilirannya, sekularisasi sering dipaksanakan untuk memecah kebuntuan tersebut. Urusan politik mesti dibedakan dan dipisahkan dari campur tangan Islam.

Sebagai bagian dari proses pembangunan, sekularisasi telah terjadi sejak sekian lama bahkan sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Ketika itu, sekularisasi dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda guna melemahkan gerakan kemerdekaan yang dimotori oleh ummat Islam. Sebagai kelompok masyarakat yang belum memiliki pengalaman tentang persatuan nasional, bangsa Indonesia memilih untuk menjadikan Islam sebagai faktor pemersatu untuk mengusir penjajah dan meraih kemerdekaan Indonesia. Namun, perjuangan ini diredam oleh penjajah Belanda dengan serangkaian kebijakan yang bersifat kultural laiknya segregasi masyarakat kepada elit keagamaan dan elit politik Bumi Putera (Sidney Jones; 1984), dan tindakan represif yaitu melalui peperangan.

Pada lembaran berikutnya, ummat Islam dihadapkan pada serangkaian perdebatan mengenai sekularisasi. Perdebatan paling awal mengenai sekularisasi melibatkan Ir. Soekarno dan Mohammad Natsir. Melalui artikel berjudul “Memudahkan Pengertian Islam” dan “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dan Negara”, Ir. Soekarno mewacanakan sekularisasi sebagai pondasi untuk mendirikan negara Indonesia. Ide ini ditolak mentah-mentah oleh ummat Islam. M. Natsir, misalnya, menyatakan bahwa sekularisme bertentangan dengan Islam karena menafikan keterkaitan antara urusan-urusan duniawi dan ukhrawi (Natsir; 1957).

Perdebatan berikutnya terjadi pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tahun 1945. Dalam serangkaian sidang tersebut, persoalan hubungan antara negara dan agama, menjadi topik terhangat yang diperdebatkaan oleh kalangan Nasionalis-Muslim dan Nasionalis-Sekuler. Kalangan pertama mengajukan Islam sebagai dasar negara dan diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo, A. Wachid Hasyim, Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso. Sementara itu, kalangan kedua yang diwakili oleh Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Soepomo, A.A Maramis, Ahmad Sobardjo menginginkan negara yang bersikap netral terhadap agama (Endang Saifuddin Anshari; 1976 & B.J Boland; 1985).

Masih dalam tataran wacana, perdebatan mengenai sekularisasi ini kembali mengemuka ketika Orde Baru berkuasa. Di tengah melemahnya psychological striking force ummat Islam, Nurcholish Madjid mengemukakan gagasannya mengenai sekularisasi atau desakralisasi. Madjid mengandaikan ditumbuhsuburkannya kebebasan berfikir, keberanian untuk berijtihad dan kepercayaan dalam diri ummat Islam untuk terlibat dengan nilai-nilai dan ide baru yang diusung oleh modernisasi. Gagasan tentang sekularisasi ini bermakna temporalisasi nilai-nilai yang sejatinya bersifat duniawi dan desakralisasi yang berarti pembebasan ummat Islam dari kecenderungan untuk memberikan legitimasi sakral pada nilai-nilai duniawi tersebut (Madjid; 1970 & M. Kamal Hasan; 1982).

Gagasan Madjid mendapatkan kecaman dari ummat Islam. H.M. Rasyidi dan Endang Saifuddin Anshari adalah di antara para tokoh Muslim yang mengecam ide sekularisasi dan desakralisasi itu. Menurut H.M Rasyidi filsafat politik yang dikemukakan Madjid merupakan sebuah pemikiran atau pemahaman yang menganggap kemutlakan akal sebagai sumber kebenaran tertinggi. Ide sekularisasi dan desakralisasi a la Nurcholish Madjid ini meniscayakan diletakkannya kuasa akal di atas kuasa agama (H.M Rasyidi; 1972). Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Perdebatan antara dua kalangan tersebut, terus berlanjut dan terjadi antara tahun 1997 sehingga 1999. Dalam episode ini, perbantahan antara kalangan Nasionalis-Muslim dan Nasionalis-Sekuler kembali memanas. Melalui sebuah artikel yang bertajuk “Pelajaran dari Turki; Mengendalikan Politisasi Agama”, Denny JA mengemukakan gagasannya tentang sekularisasi yang berimplikasi netralitas negara terhadap kepelbagaian agama. Menurutnya pula, sekularisasi diperlukan untuk menangkal upaya segelintir ummat Islam yang berusaha melakukan politisasi agama dan agamanisasi politik.

Sekali lagi, gagasan ini mendapat penentangan dari ummat Islam. Seorang tokoh Muslim Ahmad Soemargono, misalnya, menyanggah ide Denny JA tersebut. Menurutnya, ide sekularisasi tidak sesuai untuk diaplikasikan di sebuah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam seperti Indonesia. Apakah negara tidak boleh turut campur dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah, mengatur pendirian tempat ibadah, mengatur masalah halal/ haram, mengumpulkan zakat, membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama atau keyakinan apapun dan urusan-urusan yang terkait dengan pernikahan adalah sebagian kecil dari permasalahan-permasalahan yang tidak mampu dijawab secara tuntas oleh konsep negara sekuler tersebut. Terkait politisasi agama, Sumargono menjelaskan bahwa isu tersebut sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memberikan kesan negatif terhadap ummat Islam (Islamophobia) seakan-akan mereka adalah kelompok mayoritas yang egois dan tidak memiliki wawasan kebangsaan (Denny JA et al; 2000).

Dalam konteks terkini, perdebatan mengenai sekularisasi politik masih saja berlangsung. Isu-isu tentang sekularisasi selalu saja berjalan beriringan dengan dinamika perkembangan politik di tanah air. Tidak hanya berkutat pada masalah dasar dan atau bentuk negara, perdebatan mengenai sekularisasi mulai menyentuh pada permasalahan-permasalahan yang lebih luas seumpama pemilihan Kepala Daerah, Menteri, Mahkamah Agung dan beberapa jabatan birokrasi lainnya. Isu paling hangat yang dibicarakan saat ini adalah terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah dari golongan non-Muslim. Hasrat Basuki Tjahaja Purnama atau biasa dikenal dengan Ahok untuk kembali memegang kendali pemerintahan kepala daerah di Ibu kota Jakarta, telah memantik respon yang sangat negatif dari ummat Islam di seluruh Indonesia. Telah mafhum bahwa dalam Islam, masyarakat Muslim atau daerah yang didominasi oleh komunitas Muslim mesti dipimpin oleh seorang pemimpin Muslim. Dengan begitu, kepemimpinan menjadi hak eksklusif ummat Islam (al-Mawardi; 1973, al-Ghazali; 2003, al-Qardhawi; 1996).

Meskipun demikian, tidak semua sepakat dengan pemahaman seperti ini. Ada sebagian kecil tokoh dan pemikir yang memiliki pendapat yang berlawanan dengan ajaran yang sudah mapan (established) tersebut. Mereka meyakini bahwa kepemimpinan politik bukanlah hak eksklusif ummat Islam. Kepemimpinan adalah ruang publik dimana setiap warga negara berhak untuk memperebutkannya. Dengan begitu, Islam tidak menjadi kriteria utama dalam menentukan seorang kepala negara, kepala daerah dan lain sebagainya.

Nampaknya, gema pemikiran liberal ini, telah sampai ditelinga ummat Islam di seluruh Indonesia. Ragam alat komunikasi dan informasi memiliki jasa yang besar terhadap penyebaran pemikiran ini ke seluruh wilayah di tanah air. Tidak berlebihan, bagi sebagian kalangan, pemahaman ini dianggap sebagai sebuah terobosan baru terhadap kejumudah berfikir yang menyelubungi ummat Islam Indonesia. Pemahaman tersebut juga dilihat mampu meletakkan hubungan yang lebih jelas antara Islam dan negara. Dengan menafikan Islam dalam kriteria pemilihan pemimpin, maka ruang keterpisahan antara Islam dan negara telah tercipta. Disinilah sekularisasi politik terjadi. Yang pasti, pemikiran ini tidak lagi bersifat elitis dalam artian menjadi milik kaum pemikir saja, namun telah menjadi konsumsi dan rujukan bagi sebagian ummat Islam lainnya.

Hal ini dapat diamati dari hasil Pemilihan Kepala Daerah di Jakarta. Meskipun bukan satu-satunya faktor utama yang mempengaruhi preferensi publik dalam memilih pemimpin mereka, namun pemikiran liberal diatas mampu memberikan “hembusan nafas kelegaan” bagi sebagian ummat Islam yang cenderung berpikiran sekuler. Seakan-akan mereka mendapatkan justifikasi atas kecenderungan untuk berpikir liberal dan semakin liberal. Adapun bagi masyarakat Muslim yang awam, sepertinya pemikiran liberal ini tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Terdapat faktor-faktor lain yang lebih mereka utamakan seperti faktor ketokohan atau karisma calon pemimpin, program kerja, materi dan sebagainya. Namun yang pasti, sedikit banyak pemikiran liberal seperti ini, semakin mengaburkan ajaran Islam dari kesadaran mereka.

Menurut hasil Quick Count yang dirilis oleh beberapa lembaga survey seperti Litbang Kompas, Cyrus Network, Polmark Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia dan Saiful Mujani Research and Consulting, pasangan Ahok-Djarot memimpin perolehan suara sementara. Adapun pasangan Anis-Sandiaga menempati posisi kedua dan pasangan Agus-Silvy pada posisi ketiga. Meskipun proses rekapitulasi suara ini masih berlangsung sehingga tanggal 27 Februari 2017, namun hasil Quick Count diatas dapat memberikan gambaran tentatif terkait preferensi umum masyarakat Jakarta tentang pemimpin mereka. Munculnya pasangan Ahok-Djarot sebagai peraup suara tertinggi, jelas menunjukkan terjadinya sekularisasi politik di kalangan ummat Islam ibukota.

Realitas ini diperparah lagi dengan rendahnya perolehan suara pasangan Agus-Silvy yang nota-bene beragama Islam. Tentu ini adalah hal yang sangat mengejutkan. Padahal semestinya, perolehan suara terbanyak pertama dan kedua, jatuh ketangan pasangan Anis-Sandiaga dan Agus-Silvy. Apatah lagi, mayoritas pemilih di Jakarta adalah ummat Islam. Namun kenyataan berkata lain. Alih-alih memimpin perolehan suara terbanyak, kedua pasangan tersebut justru terjerembab dibawah perolehan suara pasangan Ahok-Djarot.

Dalam konteks Pilkada DKI 2017 ini, ummat Islam dipertontonkan dengan fenomena sekularisasi politik. Apabila dulu pada masa-masa Orde Lama dan Orde Baru, pemisahan agama dan negara hanyalah “urusan” kalangan pemikir dan petinggi negara, namun kini, ia telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat awam di Indonesia khususnya Jakarta. Tentu saja, realitas ini amat mengkhawatirkan. Masyarakat yang tersekularkan, mestinya diajak kembali untuk mengamalkan nilai-nilai Islam secara kaffah dan menjadikannya sebagai pedoman hidup yang abadi. Wallahu A’lam.

Referensi :

Al-Imam Muhammad Abu Hamid al Ghazali, al I’tiqaf fil Iqthishad (Damascus & Beirut: Daru Qutaibah, 2003), 170.
B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia (1945-1972) (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985), 10.
Denny JA, A. Sumargono, Kuntowijoyo, et al, Negara Sekuler; Sebuah Polemik (Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000), 3-7.
Endang Saifuddin Anshari, “The Jakarta Charter of June 1945; a History of the Gentlemen’s Agreement Between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia”(Tesis Master, Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, 1976), 6-7.
M. Rasyidi, Sekularisme Dalam Persoalan Lagi; Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta:Yayasan Bangkit, 1972), 24.
Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Bandung: Pimpinan Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957), 24-26.
Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajar Malaysia, 1982), 89.
Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat,” dalam Pembaharuan Pemikiran Islam, ed. Nurcholish Madjid et al., (Jakarta: Islamic Research Centre, 1970), 1-12.
Sidney Jones, “The Contradiction and Expansion of the “Umat” and The Role of the Nahdatul Ulama in Indonesia,” dalam Indonesia, Volume 38, 1984, 1-20.
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimina fi al-Mujtama’ al-Islamiy (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1996, Cetakan 5), 22-23.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *