Belakangan ini kita merasakan ada pihak yang merasa paling Indonesia. Mereka pasang aksi seolah-olah paling bisa menjaga persatuan. Mereka mencitrakan diri sebagai yang “Paling NKRI”. Maka, tepat sikap berikut ini. Ponpes Sidogiri: “Jangan Ajari Orang Pesantren Soal NKRI” (www.republika.co.id 14/05/2017).
Nasihat Tepat
Pondok Pesantren Sidogiri -di Pasuruan Jawa Timur- berusia hampir 300 tahun. Mereka menggelar puncak milad ke-280 pada 14/05/2017 dan
dihadiri sekitar 15 ribu orang. Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Haji Muhammad Zainul Majd, serta para wali santri termasuk yang menghadirinya.
Hal menarik terjadi saat Bendahara Umum Pesantren Sidogiri Achmad Sa’dulloh memberikan sambutan di acara itu. “Santri Sidogiri terlibat aktif saat melawan penjajahan Jepang dan Belanda serta saat masa cengkeraman komunis. Jangan pernah mengajari orang-orang pesantren tentang bagaimana hidup bernegara dan menjaga NKRI,” kata Achmad Sa’dulloh. Sebagai ilustrasi, para santri Pesantren Sidogiri akan selalu ingat perjuangan para leluhur yang tidak gentar dalam menghadapi penjajah. Selepas kemerdekaan, para santri kembali ke dunia pesantren, tanpa mengharapkan jabatan apapun dari negeri ini.
Lebih jauh, Achmad Sa’dulloh menyebutkan bahwa hal ini penting disampaikan terutama jika melihat kehidupan bangsa akhir-akhir ini yang diliputi kegaduhan. Terkait penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama, “Kaum muslimin yang protes dianggap pemecah-belah bangsa, tidak cinta kebinekaan. Kaum santri mencintai negeri ini, tetapi tidak buta, selagi tidak bertentangan dengan prinsip agama. Ketika negara bertentangan dengan agama, kami akan meletakkan agama di atas negara,” tegas Achmad Sa’dulloh.
Sementara, Pesantren Sidogiri dalam Aksi Bela Islam menyatakan sikap mengharamkan pemimpin non-muslim dan mendukung pemimpin muslim di wilayah mayoritas muslim. Kata Achmad Sa’dulloh, hal ini bukan karena kepentingan politik, tapi sebagai dakwah dan tanggung-jawab Pesantren Sidogiri terhadap umat. “Kalau ada orang bergerak dengan agama dicap intoleran, teroris, anti-kebinekaan, ini harus kita lawan. Jika tidak, maka lambat-laun orang Islam akan malu dengan keislamannya. Yang benar dianggap salah, dan yang baik dianggap buruk,” kata Achmad Sa’dulloh.
“Siapa” Pesantren Sidogiri itu? Pesantren Sidogiri dibabat oleh Sayyid dari Cirebon Jawa Barat, Sayyid Sulaiman. Beliau keturunan Rasulullah Saw dari marga Basyaiban. Ayahnya, Sayyid Abdurrahman, adalah perantau dari Negeri Wali, Tarim Hadramaut Yaman. Sedangkan ibunya, Syarifah Khodijah, adalah putri Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Dengan demikian, dari garis ibu, Sayyid Sulaiman cucu Sunan Gunung Jati.
Terdapat dua versi tahun berdirinya Pesantren Sidogiri yaitu 1718 atau 1745. Dalam catatan Panca Warga pada 1963, bahwa Pesantren Sidogiri didirikan tahun 1718. Catatan itu ditandatangani Almaghfurlahum KH Noerhasan Nawawie, KH Cholil Nawawie, dan KA Sa’doellah Nawawie pada 29/10/1963. Sementara, di surat lain tahun 1971 yang ditandatangani KA Sa’doellah Nawawie, tertulis bahwa tahun 1971 merupakan hari ulang tahun Pesantren Sidogiri yang ke-226. Artinya, Pesantren Sidogiri berdiri pada 1745. Di kenyataannya, versi terakhir inilah yang dijadikan patokan hari ulang tahun Pesantren Sidogiri.
Sekali lagi, Pesantren Sidogiri telah berusia hampir tiga abad. Tentu, telah banyak kontribusi yang diberikannya kepada negeri ini. Pesantren ini telah melahirkan banyak ulama. Mereka, antara lain, Prof. Dr. Husein Aziz (Direktur Pascasarjana UIN Surabaya, Guru Besar Sastra Al-Qur’an), KH Miftahul Akhyar (Wakil Rais Am PBNU), KH Cholil Nafis (Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat), dan KH Abdurahman Navis (salah satu Ketua MUI Jatim). Artinya, memedulikan suara yang berasal dari Pesantren Sidogiri adalah sesuatu yang sangat positif.
Mencermati sikap orang-orang yang merasa “Paling NKRI” kita bersedih. Mereka seperti lupa kepada pihak-pihak yang turut melahirkan dan membesarkan NKRI. Untuk itu, ada baiknya kita baca ulang pendapat Bung Karno di soal peran ulama terhadap negeri ini.
Atas proklamasi kemerdekaan RI 17/08/1945, Bung Karno mengakui kontribusi yang sangat besar dari ulama, dengan mengatakan bahwa dirinya “Kalau tanpa dukungan ulama tidak akan berani.” Fragmen itu diterangkan sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suyanegara di www.eramuslim.com 16/09/2007. Tentu, hal ini mudah kita mengerti karena kekuatan militer dari umat Islam saat itu luar biasa besar dan juga semangat jihadnya yang tinggi.
Adakah informasi menarik lain soal peran ulama? Pada 18/08/1945, yang merumuskan Pancasila itu tiga orang, “Yakni, KH Wahid Hasyim dari NU, Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah, dan Kasman Singodimedjo juga dari Muhammadiyah. Mereka itulah yang membuat kesimpulan Pancasila itu sebagai ideologi, UUD 1945 sebagai konstitusi. Kalau tidak ada mereka, BPUPKI tidak akan mampu, walaupun diketuai oleh Bung Karno sendiri. Dari situ pula Bung Karno diangkat jadi presiden dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Jadi negara ini yang memberi kesempatan proklamasi seperti itu adalah ulama,” jelas Ahmad Mansur Suyanegara.
Memang, mengamati sikap orang-orang yang merasa “Paling NKRI” kita bersedih. “Sungguh lucu,” kata Asma Nadia (Tokoh Perubahan Republika 2010),
“Menemukan segelintir anak bangsa yang merasa dirinya lebih Indonesia dari yang lain, lebih nasionalis dari yang lain, padahal peran mereka dalam kehidupan belum ada apa-apanya dibanding jejak gegap gempita deret pahlawan (Islam)”. Lebih jauh, “Bukankah,” -gugat penulis produktif yang rata-rata karyanya best seller ini,- “Islam justru erat dengan perjuangan, nasionalisme, kebinekaan, dan juga Pancasila?”(www.republika.co.id 13/05/2017).
Jujur, Jujurlah!
Alhasil, mari menunduk. Ingat-ingatlah nasihat dari Pesantren Sidogiri! Jangan diterus-teruskan klaim sepihak yang tak berdasar sebagai yang “Paling NKRI”. Bersikaplah adil. Bersikaplah sebagai insan yang beradab, yang bercirikan bisa membedakan yang haq dengan yang bathil. (M. Anwar Djaelani)