Wartapilihan.com – Buku Ilusi Negara Islam kini diterbitkan kembali. Dalam Diskusi Buku ini di Gedung Fakultas Ilmu Budaya UI sore ini (18/5), buku ini dibedah oleh empat pembicara. Yaitu : Anis Hamim (Wahid Institute), Nuruzzaman (GP Anshor), Erwien Kusuma (Pemerhati Sejarah Islam) dan Ahmad Imam Mujadid Rais (Maarif Institute).
Dalam diskusi itu, empat pembicara kompak: Mengecam Negara Islam khususnya ISIS, mengecam HTI dan Ikhwanul Muslimin (PKS), mengkhawatirkan pertumbuhan gerakan militan di Indonesia, mendukung pemikiran Gus Dur dan seterusnya.
Di sini penulis mengkritisi jalannya diskusi buku itu (sebenarnya penulis mau sampaikan dalam diskusi itu, tapi moderator tidak menunjuk) :
- Judul buku itu saja sudah salah. Ilusi Negara Islam, Negara Islam adalah fakta di dunia Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara Islam –negara yang penduduknya mayoritas Islam—anggota OKI (Organisasi Konferensi Negara-Negara Islam).
- Indonesia adalah negara Islam yang berdasar Pancasila. Pancasila banyak kosa kata Islam di sana, seperti : adil, beradab, kerakyatan, hikmat, permusyawaratan dan perwakilan.
- Pembicara hanya mengecam ISIS, tidak mengecam Amerika yang menyebabkan lahirnya ISIS. Padahal Amerika lebih barbar daripada ISIS. Bagaimana sebuah negara demokrasi modern menghancurkan sebuah negara yang tidak jelas kesalahannya dan menyebabkan korban lebih dari satu juta orang. Dan tujuan Amerika, kesana, menurut para ahli politik adalah untuk mengeruk minyak Irak yang kekayaan minyaknya merupakan nomer 4 di dunia. Amerika butuh cadangan minyak yang besar untuk mengisi industri militernya di dunia. Mengisi BBM untuk puuhan kapal induknya di berbagai negara, mengisi BBM ratusan pesawat terbang militernya, mengisi BBM industri senjata dan industri-industri besar lainnya.
- Mengapa mengecam HTI dan Ikhwanul Muslimin/PKS? Mereka adalah gerakan Islam yang damai dan tidak melanggar hokum. Harusnya kalau NU/Muhammadiyah/GP Anshor kalah pengaruhnya di kampus atau masyarakat, mereka mengoreksi diri. Mengapa hal itu terjadi? Bukan malah menghadang atau mengajak berantem gerakan-gerakan Islam itu. Harakah-harakah itu adalah gerakan pemikiran Islam. Harusnya dilawan dengan gerakan pemikiran Islam yang lebih canggih. Bukan dengan main otot atau melarang-larang seperti yang dilakukan GP Anshor. Yang berhak melarang bila harakah itu melanggar UU adalah polisi bukan gerakan Islam lainnya.
- Tumbuhnya gerakan militan Islam di Indonesia tidak perlu dikhawatirkan. Asal mereka gerakan damai dan tidak melanggar UU maka siapapun tidak berhak melarang. UU adalah perjanjian bersama bahwa semua harus taat pada kesepakatan yang ada. Bila melanggar, maka akan berurusan dengan hukum/pengadilan.
- Para pembicara jangan hanya terkesima dengan Gus Dur. Mereka seharusnya mengkaji dengan serius pemikiran politik Islam bapaknya Gus Dur yaitu KH Wahid Hasyim, atau kakeknya Gus Dur KH Hasyim Asyari. Bila dikaji dengan serius maka pemikiran mereka berdua, berbeda dengan Gus Dur. Bila Gus Dur setuju dengan pluralisme agama, maka mereka berdua tidak setuju. Mereka berdua dalam perjuangan hidupnya menginginkan Islamisasi di Indonesia. (Baca http://www.wartapilihan.com/wahid-hasyim-dan-perjuangan-konstitusi-islam/)
- Adanya gerakan yang menginginkan Indonesia lebih Islami, tidak perlu dikhawatirkan. Dalam sebuah negara mesti terjadi pertarungan antara kelompok-kelompok yang menginginkan negara lebih sekuler dan negara lebih Islami. Asal sepakat dalam ‘koridor demokrasi dan hukum’ maka hal itu adalah hal yang wajar. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia Islam, maka wajar ada tuntutan agar kehidupan masyarakat dan kenegaraan di Indonesia lebih Islami.
- Wajar bagi seorang Muslim yang telah merasakan nikmatnya hidup dalam Islam, maka ia kemudian menginginkan keluarga lebih Islami, masyarakat lebih Islami, negara lebih Islami dan selanjutnya dunia lebih Islami.
- Walhasil, buku Ilusi Negara Islam perlu dicurigai. Buku yang mengecam gerakan-gerakan Islam ini sebenarnya dipersembahkan untuk siapa? Wallahu alimun hakim. ||
Penulis : Dachli Hasyim