Kontestasi ideologi antara ideologi konvensional dan ideologi liberal ialah peperangan yang kian nyata saat ini, khususnya pada kasus LGBT. Kaum pelangi yang menuntut haknya sebagai manusia sejatinya dapat merusak tatanan masyarakat.
Wartapilihan.com, Jakarta –Salah satu pihak yang sangat getol untuk mempertahankan ideologi konvensional atau ketimuran ialah Aliansi Cinta Keluarga (AILA). Sejak tahun 2013, AILA fokus pada upaya pengokohan keluarga, dengan harapan bisa memberikan kontribusi dalam perbaikan dekadensi moral yang terjadi
AILA melakukan kajian terkait isu anak, perempuan dan keluarga termasuk di dalamnya wacana problem pemikiran seperti konsep feminisme, gender, perilaku homoseksual, meliputi gay, lesbi dan biseksual serta transeksual.
“Dimana kami melihat bahwa kerusakan yang terjadi banyak berakar dari kekeliruan cara pandang. Kajian Filosofis dan epistemologis banyak mewarnai berbagai kajian yang dibuat,” tutur Rita Soebagio, dalam acara INSISTS Saturday Forum bertemakan ‘Kejahatan Seksual, Ketahanan Keluarga dan Kebijakan Publik’, pada Sabtu, (13/1/2018), di Kalibata, Jakarta Selatan.
Berbagai fakta kesusilaan terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016, sebanyak 58% remaja hamil di luar nikah dan melakukan aborsi. “Di sisi lain, jumlah Laki Suka Laki (LSL) di Indonesia diprediksi ada 3% dari seluruh penduduk Indonesia, dimana jumlah terbanyak ada di Provinsi Jawa Barat,” lanjutnya.
Rita menerangkan, AILA Indonesia pernah melakukan survei terkait LGBT untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap fenomena homoseksual dan transeksual yang lebih dikenal masyarakat sebagai LGBT. Survei dilakukan dalam dua bentuk yaitu online dan lapangan di 33 provinsi Indonesia. Survei online dilakukan dari tanggal 4-14 Maret 2016 yang diikuti 2.030 responden masyarakat Indonesia dalam dan luar negeri.
Dari hasil survei online yang dilakukan diperoleh gambaran umum: 92.7% masyarakat Indonesia tidak setuju dengan perilaku LGBT dan 92.9% mengatakan sebagai perilaku menyimpang.
“Karena LGBT adalah perilaku yang abnormal, 91.7% responden berharap pelaku LGBT dapat menjalankan proses rehabilitasi. Dalam yang dilakukan juga tergambarkan 89.7% harapan masyarakat kepada pemerintah untuk membuat aturan agar tidak terjadi upaya propaganda perilaku LGBT.
Sedangkan hasil survei lapangan juga menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda dari survei online tersebut,” papar Rita.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat memiliki persepsi yang buruk terhadap LGBT, serta mengancam ketahanan keluarga. Maka, LGBT jelas sesuatu yang harus dibenahi dan diperangi.
Di sisi lain, para pihak terkait yang berseberangan lebih menonjolkan pentingnya perlindungan hak privat dimana negara tidak boleh mengintervensinya karena bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM 1948. Namun, Rita sebagai salah satu pemohon Judicial Review pasal kesusilaan ke Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu mengatakan, negara sangat perlu untuk memastikan, bahwa HAM dilaksanakan dengan tujuan memanusiakan manusia.
“Para Pemohon berpandangan bahwa menjadi kewajiban negara (State Obligation) untuk memastikan bahwa HAM dilaksanakan untuk tujuan memanusiakan manusia, dan hendaknya Indonesia menganut HAM partikular yang menghargai dan menyerap nilai dan kearifan lokal, karena HAM di Indonesia dibatasi oleh norma, agama, dan budaya yang berlaku,”
“Oleh karena itu, kami sangat sepakat dengan pandangan ahli bahwa pada dasarnya judicial review KUHP pasal kesusilaan ini merupakan ekspresi kemerdekaan yang tertunda,” tukas Rita.
Ia menekankan, berbagai aktivitas kejahatan seksual dapat mengganggu upaya melindungi ketahanan keluarga sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai moral berdasarkan agama dan “living law” harus diatur melalui kebijakan perundangan yang komprehensif.
“Negara (justru) harus menjadi penjamin hadirnya jati diri bangsa yang sesuai dengan UUD 45 dimana “Freedom of Religion”dijamin negara dan bukan menyuburkan hadirnya “Freedom from Religion”,” tutupnya.
Eveline Ramadhini