Masih ingatkah Anda dengan permainan engklek, petak umpet, kelereng, benteng atau engrang? Dewasa ini, anak-anak lebih familiar dengan Game Online dan Media Sosial yang melibatkan teknologi dan membuat anak ‘teralienasi’.
Wartapilihan.com, Jakarta — Generasi tahun 2000 ke bawah bisa dibilang merupakan generasi yang beruntung karena merasakan hidup tanpa Handphone disertai internet. Pasalnya, kemampuan sosial jauh lebih terasah karena banyak berinteraksi dengan teman-teman di dunia nyata.
Permainan tradisional yang dulu sangat beragam, kini telah diwakili semuanya oleh permainan di gawai pintar yang mencakup media sosial di dalamnya.
Idham Khalid selaku aktivis Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) bersama timnya hendak menghidupkan kembali permainan ini kepada generasi Milenial.
“Kami melakukan hal itu untuk sedikit mengingatkan kembali agan-agan yang pernah hidup di era tahun 2000 ke bawah agar sedikit mengingat kembali permainan permainan jaman dulu yang hampir tiap hari kita mainkan sehabis pulang sekolah,”
Kata Idham, kepada Warta Pilihan, Kamis, (12/7/2018).
Petak umpet, Idham menjelaskan, adalah sejenis permainan yang bisa dimainkan oleh minimal 2 orang, namun jika semakin banyak akan semakin seru.
“Benteng adalah permainan yang dimainkan oleh dua grup, masing-masing terdiri dari 4 sampai dengan 8 orang. Masing-masing grup memilih suatu tempat sebagai markas, biasanya sebuah tiang, batu atau pilar sebagai ‘benteng’,” kata dia.
Kemudian permainan Egrang atau jangkungan adalah galah atau tongkat yang digunakan seseorang agar bisa berdiri dalam jarak tertentu di atas tanah.
Egrang berjalan adalah egrang yang diperlengkapi dengan tangga sebagai tempat berdiri, atau tali pengikat untuk diikatkan ke kaki, untuk tujuan berjalan selama naik di atas ketinggian normal.
“Di dataran banjir maupun pantai atau tanah labil, bangunan sering dibuat di atas jangkungan untuk melindungi agar tidak rusak oleh air, gelombang, atau tanah yang bergeser. Jangkungan telah dibuat selama ratusan tahun.
Egrang di Indonesia biasa dimainkan ataupun dilombakan saat peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Egrang dengan versi lain juga dimainkan pada saat upacara sunatan,” terang Idham.
Sedangkan kelereng dengan berbagai sinonim gundu, keneker, kelici, guli adalah bola kecil dibuat dari tanah liat, marmer atau kaca untuk permainan anak-anak. Ukuran kelereng sangat bermacam-macam. Umumnya ½ inci (1.25 cm) dari ujung ke ujung.
Kelereng kadang-kadang dikoleksi, untuk tujuan nostalgia dan warnanya yang estetik.
Gatrik atau Tak Kadal pada masanya pernah menjadi permainan yang populer di Indonesia. Merupakan permainan kelompok, terdiri dari bebetapa orang
“Permainan ini sudah tidak asing lagi tentunya, karena permainan lompat tali ini bisa di temukan hampir di seluh indonesia meskipun dengn nama yang berbeda-beda. permainan lompat tali ini biasanya identik dengan kaum perempuan, tetapi juga tidak sedikit anak laki-laki yang ikut bermain,” imbuh dia.
Sementara Ular Naga adalah satu permainan berkelompok yang biasa dimainkan di luar rumah di waktu sore dan malam hari. Tempat bermainnya di tanah lapang atau halaman rumah yang agak luas. Lebih menarik apabila dimainkan di bawah cahaya rembulan. Pemainnya biasanya sekitar 5-10 orang, bisa juga lebih, anak-anak umur 5-12 tahun (TK – SD).
“Permainan engklek merupakan permainan tradisional lompat–lompatan pada bidang–bidang datar yang digambar diatas tanah, dengan membuat gambar kotak-kotak kemudian melompat dengan satu kaki dari kotak satu kekotak berikutnya,”
Permainan engklek biasa dimainkan oleh 2 sampai 5 anak perempuan dan dilakukan di halaman. Namun, sebelum memulai permainan ini, kita harus mengambar kotak-kotak di pelataran semen, aspal atau tanah, menggambar 5 segi empat dempet vertikal kemudian di sebelah kanan dan kiri diberi lagi sebuah segi empat.
Sebelum bermain permainan tradisional ini, LPA Jakarta Timur juga mendampingi kegiatan anak-anak di SMA 8 Jakarta dalam rangka projek sosial kebersihan, yang bertempat di Jalan Madrasah, Cibubur, Jakarta Timur di bawah pimpinan Kasiatun Asiah, Sumijah Nyaman dan Ardiansyah di bawah komando Idham.
“Karena dengan hidup bersih, hidup menjadi sehat. Pembiasaan tersebut juga dapat melatih anak untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Membuat mereka lebih peka atau peduli pada lingkungan mereka berada,” tuturnya.
Ada berbagai caranya untuk membiasakan anak-anak, terutama yang masih di bawah usia lima tahun atau sekolah dasar agar mereka peduli pada kebersihan lingkungan, khususnya di lingkungan rumah atau di sekolah.
“Biasakan anak tidak membuang sampah sembarangan. Pihak kepala lingkungan misalnya RT/RW, masyarakat dan sekolah bisa membuat rambu-rambu untuk tidak membuang sampah sembarangan dengan media gambar, sehingga mudah dipahami maksudnya oleh anak-anak,” tegas Idham.
Selain itu, melalui persuasi atau nasihat langsung yang sifatnya lisan. Sekolah juga harus menyediakan tempat sampah dengan jumlah yang memadai atau sesuasai kebutuhan, serta telah dipisah antara tempat sampah organik atau basah dan tempat sampah non organik atau kering.
“Anak-anak diminta untuk membiasakan diri saling mengingatkan teman, jika ada di antara teman mereka yang lupa membuang sampah sembarangan dll sebagainya,” pungkas Idham.
Eveline Ramadhini