Penyimpangan Faham Syiah Tentang al-Qur’an

by

Prolog

Pada Maret 1984, Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam di Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah, agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham atas ajaran Syiah. Peringatan ini didasarkan adanya perbedaan pokok antara Syiah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dalam fatwa tersebut dijelaskan perbedaan yang tajam antara keduanya. Pertama, bahwa Syiah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis. Kedua, Syiah memandang “Imam” itu ma‘sum, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan. Ketiga, Syiah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.[1] Keempat, Syi’ah memandang bahwa menegakkan pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan umat. Dan kelima, Syiah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin.[2] Dari lima hal diatas dapat disimpulkan, bahwa faham Syiah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam memiliki perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni yang dianut oleh Umat Islam Indonesia.

Selain itu, fatwa atau pandangan senada juga disampaikan oleh para ulama kita. Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari (Tokoh Nahdlatul Ulama dan Pahlawan Nasional) dalam kitabnya “Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah” dijelaskan, bahwa diantara Syiah ada golongan Rafidhah yang suka mencaci Sayidina Abu Bakr dan Umar RA., membenci para sahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayidina ‘Ali dan anggota keluarganya. Beliau menukil perkataan Sayyid Muhammad dalam Syarah Qamus, bahwa sebagian Syi’ah bahkan sampai pada tingkatan kafir dan zindiq. Juga menukil fatwa al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitab al-Syifa yang menjelaskan golongan orang-orang yang dipastikan kekafirannya dari pemeluk Islam.[3] Ada juga pandangan yang sama dari Prof. Dr. HAMKA (Pahlawan Nasional dan Tokoh Muhammadiyah). Dalam artikelnya di Harian Umum KOMPAS tahun 1980 yang berjudul “Majelis Ulama Indonesia Bicaralah!”, beliau berkata, “Kita di Indonesia adalah golongan Sunni. Jelasnya ialah bahwa dalam menegakkan ‘aqidah, kita menganut paham Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidiy. Dalam amalan syariat Islam kita pengikut mazhab Syafi’I terutama dan menghargai juga ajaran-ajaran dari ketiga imam yang lain (Hanafi, Maliki, dan Hambali).” Lalu, Dr. M. Natsir (Tokoh Dewan Dakwah Islamiah Indonesia dan Pahlawan Nasional) yang penjelasannya mengenai Syiah termaktub dalam “Syiah dan Sunnah” karya Ihsan Ilahi Zahir. Dengan adanya pernyataan para ulama ini, kita semakin diyakinkan dan dipahamkan terkait hakikat dan bahaya syiah yang tidak boleh disepelehkan.

 

Penyimpangan Syiah: Distorsi dan Interpolasi al-Qur’an

Terdapat beberapa penyimpangan ajaran Syiah, salah satunya adalah pemahaman mereka mengenai al-Qur’an. Sebagian kaum Rafidhah contohnya, mereka mengubah sendiri kata-kata al-Qur’an dari tempat dan makna yang sebenarnya, sebab tradisi mentakwil al-Qur’an yang mereka miliki berbeda dengan ulama salaf, sahabat, tabi’in maupun pemuka Islam lainnya. Hal ini bisa dibuktikan diantaranya demgan menilik “Fashi al-Khithab fi Itsbati Tahrifi Kitab al-Arbab” karya an-Nuri (Tokoh Syiah) yang dicetak pada pertama kali pada tahun 1298 H. Dalam kitabnya itu, an-Nuri menyatakan, bahwa al-Qur’an telah berubah dari aslinya atau tak lagi otentik, karena ulah Abu Bakar dan Umar. Menurut an-Nuri, al-Qur’an yang otentik adalah yang dikumpulkan dan dicatat oleh Fathimah dimana tebalnya tiga kali lebih dari yang saat ini.[4] Itulah salah satu bukti, bahwa mereka memang biasa menafsirkan al-Qur’an dengan sekehendak hati.

Bukti lainnya penyimpangan Syiah terkait al-Qur’an adalah Surat al-Wilayah. Mereka meyakini, bahwa ada surat dari al-Qur’an yang dihapus oleh para sahabat RA., yakni Surat al-Wilayah. Surat palsu yang dibuat oleh mereka ini berisi tentang ke-Imamahan ‘Ali RA. Mereka tetap ngotot, walaupun surat ini tidak ada dalam al-Qur’an, Mirza Habibullah al-Khui contohnya. Dalam kitabnya “Minhaj al-Bara’ah fi Syarhi Nahjil-Balaghah”, ia menyebut bahwa QS. ash-Shaffat: 24, QS. an-Nisa: 54, QS. az-Zukhruf: 41, QS. Thaha: 115, QS. an-Najm: 10, Ayat Kursi, dan QS. al-Ahzab: 25 telah mengalami perubahan.[5] Syubhat-syubhat yang dibentuk oleh mereka ini memang bertujuan, agar bisa membodohi dan menjerumuskan kalangan awam, sehingga menjadi Syiah.

Kemudian bagi mereka, al-Qur’an yang sebenarnya dihimpun dan berada pada para Imam, selain mereka adalah pendusta. Hal ini disampaikan oleh al-Kulaini dalam kitabnya “al-Kafi” yang memaparkan riwayat-riwayat dari Imam-Imam Makshum berkenaan Tahrif al-Qur’an.[6] Terdapat juga dalam “Kitabut Tahrif” karya Ahmad bin Muhammad bin Khalid al-Barqy, “Kitabut Tanzili wat Tagyir” karya Muhammad bin Khalid al-Barqy, “Kitabut Tanzili Minal Qur’ani wat Tahrif” karya Ali bin al-Hasan bin Fudhal, “Kitabut Tahrifi wat Tabdil” karya Muhammad bin al-Hasan ash-Shirafy, “Kitabul Qira’at” karya Muhammad bin Muhammad bin Sayyar, “at-Tanzilu wat Tahrif” karya Hasan bin Sulaiman al-Hilly, “Kitabu Qira’ati Amiril Mu’minin wa Qira’ati Ahlul Bait” karya Muhammad bin Ali bin Marwan al-Mahiyar, “Dharbatun Haydariyyah” karya Mujtahid al-Luknawy, “Tashhifu Katibin, wa Naqshi Ayati Kitabin Mubin” karya Mirza Sultan Ahmad ad-Dahlawy, “Qira’atu Amiril Mu’minin” karya Abu Thahir Abdul Wahid bin Umar al-Qummy,[7] Dan masih banyak lagi kitab mereka lainnya yang menuduhkan kesalahan al-Qur’an dan al-Qur’an diubah-ubah.

 

Diantara Kasus Tahrif al-Qur’an: QS. Ali Imran Ayat 110 dan QS. al-Furqan Ayat 55

Allah SWT. Berfirman, “Kalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110) Abu ‘Abdillah berkata kepada pembaca ayat ini, “Umat yang terbaik. Mereka yang membunuh Amirul Mukminin (yaitu Ali RA.), Hasan, dan Husain?” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lantas bagaimana ayat ini sebenarnya, wahai putera Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ayat itu diturunkan seperti ini, bahwa kalian adalah imam-imam terbaik yang dikeluarkan untuk manusia.” Tidakkah engkau lihat pujian Allah terhadap mereka di akhir ayat tersebut, ‘Kalian menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah?’[8] Dengan kata lain, Abu ‘Abdillah mengartikan umat terbaik sebagai para imam Syi’ah.

Berikutnya pada QS. al-Furqan: 55 yang berbunyi, “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak memberi manfaat kepada mereka dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka. Adalah orang-orang kafir itu penolong (syaitan untuk berbuat durhaka) terhadap Tuhannya.” Al-Qummi menafsirkan ayat ini, bahwa kata kafir yang dimaksud adalah si orang kedua (Khalifah Umar bin Khattab RA.) yang pernah menolong orang berbuat durhaka kepada Amirul Mukminin Ali. Sedangkan dalam al-Basair, al-Kashani menyatakan, bahwa al-Baqir pernah ditanya berkenaan ayat ini, maka ia menjawab, “Penafsirannya menurut batin (makna tersirat) al-Qur’an, bahwa Ali adalah Rabb (pemilik)-nya dalam kewalian”.[9] Bisa disimpulkan, bahwa dalam ayat ini Syiah mengganti makna Rabb menjadi makna Imam.

 

Epilog

Al-Qadhi ‘Iyadh menukil pernyataan Abu Utsman al-Haddad, bahwa semua ahli tauhid bersepakat atas kekafiran orang yang mengingkari satu huruf dari al-Qur’an. Imam Ibnu Hazm berkata, mengatakan diantara dua sampul al-Qur’an ada perobahan adalah kekufururan yang nyata dan mendustai Rasullah SAW. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits tentang penolakan Sayidina Ali RA. atas tuduhan orang-orang yang menyangka, bahwa beliau telah menerima wahyu selain al-Qur’an. Jika merujuk ke “Fathul Bari”, dijelaskan bahwa Ali telah menegaskan, bahwa Ahlul Bait tidak punya kitab suci selain al-Qur’an.[10] Dan fakta-fakta lainnya yang telah membantah keyakinan Syiah, bahwa al-Qur’an yang dijadikan pedoman umat Islam di seluruh penjuru dunia adalah palsu atau tidak sempurna, meski secara de facto tetap mereka gunakan. Sehingga, kaum Syiah pun telah menyalahi pelbagai ketentuan dan telah mengingkari hadits shahih serta bertentangan dengan keyakinan umat Islam. Padahal, para ulama menyatakan dengan tegas, bahwa al-Qur’an yang dipegang dan diamalkan oleh Umat Islam saat ini adalah asli, tidak ada pengurangan maupun penambahan. Allah SWT. langsung yang menjamin keaslian dan keterpeliharaannya dari tahrif (distorsi dan interpolasi).

 

Penulis: Taufik Hidayat

[1] Abu ‘Ali Jaser L. al-Atsariy. 2012. “Menyingkap Hakekat Syiah”. Hal. 80.

[2] Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. 1984. “Faham Syiah”. Kunjungi http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/06.-Faham-Syiah.pdf.

[3] Tim Penulis MUI Pusat. 2013. “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”. Depok: Gema Insani.

[4] Mahmud az-Zaby. 1989. “Sunni yang Sunni: Tinjauan Dialog Sunnah-Syiahnya al-Musawi”. Bandung: Penerbit Pustaka.

[5] Abu ‘Ali Jaser L. al-Atsariy. Op.Cit. hal. 354.

[6] Muhammad ‘Asri Yusoff. 2005. “Syi’ah Rafidhah: Diantara Kecuaian Ulama dan Kebingungan Ummah”. Kelantan: Darul Kautsar.

[7] Ikhsan Ilahi Zhahiri. 1984. Terjemah “Asy-Syi’ah was Sunnah”. Surabaya: Bina Ilmu.

[8] Tim Penulis Pustaka MIM. 2012. “Syi’ah Bukan Islam?”. Bogor: Marwah Indo Media.

[9] Hamid Fahmy Zarkasyi, Henri Shalahuddin. 2014. “Teologi dan Ajaran Shi’ah Menurut Referensi Induknya”. Jakarta: INSISTS.

[10] Tim Penulis MUI Pusat. Op. Cit. hal. 43.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *