Yang paling penting adalah, beras produksi petani di daerah ini dijual melalui satu pintu. Soalnya, kalau tidak, maka harga akan dipermainkan tengkulak mas.
Wartapilihan.com, Solo– Dulu kelompok tani sempat jalan bagus, tetapi kemudian harga rusak setelah para tengkulak kemudian mendatangi petani dari rumah ke rumah, memberi harga yang lebih tinggi, akibatnya petani tidak lagi mau menjual gabahnya lewat kelompok tani. Nah, setelah kelompok taninya bubar, akhirnya harga dimainkan sama tengkulak. Itu awalnya saya terjun serius menekuni perberasan ini. Demikian wejangan pak Wid di sore hari kala itu.
Beras Sawangan memang istimewa, itu sebabnya ia menjadi rebutan banyak juragan selep. Variabel yang membentuk cita rasa beras berkualitas ada semua di wilayah ini. Area sawah yang terletak di lereng Merapi dan Merbabu, jenis tanah vulkanik yang tentu saja kaya akan unsur hara. Irigasi yang berasal dari mata air, sehingga air yang diserap padi sama dengan yang diminum manusia. Sistem budidaya semi organik, dimana lahan juga diberi asupan pupuk organik, meski tidak sepenuhnya meninggalkan pupuk kimia. Juga pemakaian biopestisida.
Cukup lama pak Wid meyakinkan para petani supaya kembali menjual beras melalui satu pintu, kelompok tani. Sebab, dari pengalaman, kelompok tani biasanya rentan dengan kepentingan pengurusnya, terutama kalau sudah berhubungan dengan politik elektoral lima tahun. Biasanya pengurus akan dijadikan vote getter oleh caleg yang bertanding, sehingga agenda kelompok tidak berjalan dan petaninya jadi rebutan partai politik. Ancene su .. nan kok .. keumuman politisi kita itu.
Oleh karena itu, ketika pak Wid mendapat rejeki berlebih dari hobi tanaman hiasnya, ia gunakan uang itu untuk mewujudkan gagasannya. Saya masih ingat, ada indukan jemani milik Pak Wid yang dibeli seharga 5 juta bahkan ada yang 25 juta. Dari titik itulah akhirnya konsep fair trade yang sudah didapat lama dari para pegiat pertanian organik diterapkan. Penerapan fair trade itu secara sederhana adalah penetapan harga yang transparan dalam pembelian panenan petani dan juga menjual ke konsumen dalam wujud barang jadi, beras yang sudah di packing. Pak Wid turun langsung mencari pihak-pihak yang mau memasarkan beras asal Sawangan yang diberi predikat beras sehat Sawangan.
Demikianlah singkat cerita, akhirnya pak Wid dengan para petani menjadi semacam semi kelompok tani. Bukan kelompok tani sungguhan, karena memang di desa, petani itu butuh juragan yang dipatuhi, tidak bisa membangun bisnis dengan cara musyawarah mufakat. Yang menjadikan kemudian bisnis beras sehat Sawangan pak Wid menjadi milik bersama anggota komunitas adalah ideologi Marhaen yang dipegang erat pak Wid, yakni menjadikan kegiatan bertani sebagi kegiatan komunal dengan jiwa gotong royong.
Bahwa pak Wid ini marhaenis sejati itu bukan penilaian saya, tapi memang saya tahu betul bagaimana pak Wied sebagai seorang PNI tua, fasih menguraikan gagasan-gagasan ekonomi Bung Karno. Kalau sudah menyimak uraian pak Wid soal itu, waktu dua jam berasa sangat singkat.
Dan sepertinya pak Wid berhasil menanamkan jiwa gotong royong itu kepada keluarganya. Terbukti, meskipun beliau sudah meninggal, prinsip-prinsip fair trade itu masih terus dilaksanakan, Para petani yang tergabung dalam kelompoknya juga tambah makmur. Bangunan yang awalnya dari gudang berdinding batako sederhana, berukuran 3 x 5 meter dan tempat prosesing dari bekas “rumah kaca” jemani, kini sudah menjadi bangunan megah dengan alat prosesing yang komplit. Pemasarannya pun merambah ke berbagai kota besar, seperti Surabaya, Semarang, Yogya dan Jakarta.
Untuk alm. Pak Wid, al fatehah ….
Arif Wibowo