Sugito menduga ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha underground (di bawah tanah) dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini.
Wartapilihan.com, Jakarta — Pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa FPI dapat saja dibubarkan jika memiliki ideologi yang berbeda menuai polemik. Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung petahana.
Pengacara FPI, Sugito Atmo Prawiro menuturkan, situasi ini tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habib Rizieq Sihab (HRS) yang kini berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Ini memperkuat keyakinan bahwa desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019.
“HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan. Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya,” kata Sugito, Kamis (1/8).
Sugito menduga ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha underground (di bawah tanah) dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini. Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) terhadap FPI.
“Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI yang dianggap mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu,” kata Sugito.
Ironisnya, kata Sugito, kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut. FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI.
“Situasi ini yang kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyeruhkan pembubaran FPI dengan alasan bahwa di dalam Anggaran Dasar FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa,” ujar dia.
Sugito menganggap, FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problema kemanusiaan dengan pendekatan keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini.
Dimana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief). Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir.
“Jadi, sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam,” ucapnya.
Hal ini menjadi keniscayan karena jika dilakukan hanya atas dasar ketidaksukaan, maka akan berdampak pada pemasungan hak sipil Konstitusional warga negara. Juga menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.
Adi Prawiranegara