Undang-undang tersebut bukan hanya melindungi institusi peradilan, tapi juga melindungi keadilan.
Wartapilihan.com, Jakarta — Berbagai penghinaan, penyerangan dan merendahkan martabat hakim atau contempt of court sudah tak terhitung jumlahnya. Diperlukan Undang-Undang Contempt of Court agar peradilan dapat berjalan baik.
“Ini prioritas kami ke depan. Sudah tidak perlu lagi kita diskusikan undang-undang contempt of court, everybody ia agree,” kata Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Syamsul Maarif pada seminar nasional contempt of court di Jakarta, Kamis (1/8).
Syamsul mengatakan, saat ini, tahapannya adalah sosialisasi kepada stakeholder agar tahapan dan rancangan undang-undang tersebut ada konkrit dari pemerintah dan DPR. Komisi Yudisial telah memiliki konsep tersebut sejak lama dan akan di kembangkan kembali.
“Akan di submit lagi RUU yang sudah kita susun, hanya karena waktu kita tidak dapat menyusun peristiwa contempt of court ini,” jelasnya.
Menurut Syamsul, undang-undang tersebut bukan hanya melindungi institusi peradilan, tapi juga melindungi keadilan. Salah satu aspek dari keadilan adalah pihak yang menang kesulitan mendapatkan barangnya ketika pihak yang kalah leluasa menjalankan putusan pengadilan.
“Jadi ini bukan untuk lembaga dan aparatur, tapi kita bicara prinsip negara hukum. Menurut kami tidak ada pilihan lain kecuali undang-undang contempt of court tersebut disosialisasikan,” ujarnya.
Sementara, lembaga Peradilan merupakan lembaga penting yang dipercaya ‘Tuhan’ untuk menjalankan keadilan. Namun ada beberapa kelemahan lembaga Peradilan, menurut dia, salah satunya anggaran.
“Kita juga bukan pengusul undang-undang, jadi harus mendekati pemerintah dan DPR. Karena itu, dari aspek regulasi, lembaga yudisial itu lemah,” terangnya.
Syamsul merinci, pada tahun 2003, persisnya tanggal 15 November 2003, gedung PN Larantuka dibakar pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Peristiwa yang sama juga terjadi beberapa tahun kemudian yaitu tahun 2006 pada PN Maumere, tahun 2011 pada PN Temanggung, tahun 2013 pada PN Depok, dan tahun 2018 pada PN Bantul. Penyerangan terhadap kendaraan yang dikendarai hakim terjadi di Gorontalo pada tahun 2013.
“Ini adalah prioritas utama demi terwujudnya kekuasaan Kehakiman yang mandiri,” paparnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan kejadian Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita ditembak orang hingga tewas ketika mengendarai kendaraannya menujuk kantor untuk bekerja. Penghadangan terhadap juru sita dalam proses eksekusi juga tidak terhitung jumlah.
“Kemudian pada tahun 2005, seorang hakim ditusuk oleh pihak di ruang sidang di PA Sidoarjo. Pada tanggal 23 Desember 2008 oknum jaksa menyerang hakim di PN Poso sesaat setelah hakim membebaskan terdakwa,” jelasnya.
Menurutny, daftar ini akan semakin panjang jika di list one-byone peristiwa contempt terhadap Pengadilan beserta aparaturnya. Terakhir tanggal 18 Juli yang lalu di PN Jakarta Pusat, seorang oknum advokat menganiaya dengan sabuknya terhadap hakim yang sedang membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum.
“Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan bukti adanya ancaman terhadap eksistensi badan peradilan serta aparatur pengadilan untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik di negara tercinta ini,” tuturnya.
Kata Syamsul, ancaman demikian tidak akan berkurang jika tidak dicegah melalui penegakan UU yang efektif. “Artinya, kesadaran dan tingkat pendidikan saja tidak cukup untuk mengurangi terjadinya contempt of court,” pungkasnya.
Adi Prawiranegara