Sekitar 190.000 “shark tourist” mengunjungi Indonesia setiap tahun dengan tujuan untuk menyelam bersama hiu dan pari. Kelompok wisatawan ini menyumbang sekitar 22 juta dolar AS per tahun untuk perekonomian Indonesia, berkontribusi setidaknya 7 (tujuh) persen terhadap industri pariwisata laut Indonesia yang bernilai satu miliar dolar AS. Demikian ringkasan hasil sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan di Frontiers Marine in Science akhir April 2020 lalu.
Wartapilihan.com, Jakarta— Studi ini, yang dilakukan tahun 2017 ini mengidentifikasi 24 destinasi penting wisata hiu dan pari di Indonesia. Nusa Penida di Bali; Bunaken di Sulawesi Utara; Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur; Raja Ampat di Papua Barat; dan pulau-pulau Gili di Nusa Tenggara Barat adalah beberapa lokasi yang paling populer dan berpenghasilan tertinggi.
Indonesia adalah hotspot global bagi keanekaragaman spesies hiu dan pari. Teluk Belongas di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu dari sedikit lokasi di dunia di mana penyelam dapat melihat koloni hiu martil dan Teluk Saleh yang menjadi magnet baru untuk wisata hiu paus.
“Selama ini manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat belum optimal, termasuk kegiatan wisata penyelaman hiu martil di Teluk Belongas Sekotong, dan hiu paus di Teluk Saleh,” ungkap H. Yusron Hadi, S.T., M.UM., Kepala Dinas Kelautan Perikanan NTB. Pengembangan wisata hiu ini, lanjut Yusron, tidak saja berdampak ekonomi bagi peningkatan daya tarik obyek wisata daerah NTB, melainkan juga berdampak positif dalam pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan.
“Karenanya, penting bagi kami untuk membuka ruang interaksi, mendapatkan masukan terkait arah kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan melalui pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan jasa lingkungan untuk memastikan kelestarian sumber daya ikan dalam jangka panjang dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitarnya,” ujar Yusron Hadi.
Selain NTB, wisatawan penyelam dapat melihat spesies yang hanya dapat ditemukan di Indonesia, seperti hiu berjalan Halmahera (Halmahera walking shark) yang terdapat di Maluku Utara. Juga di Morotai, yang menyediakan wisatawan kesempatan berenang bersama hiu karang sirip hitam (blacktip reef shark) dan Kepulauan Banda Neira dengan wisata selam bersama hiu martil. Sayangnya, populasi hiu (dan pari) ini terancam, terutama disebabkan oleh penangkapan yang berlebih (overfishing). Hiu (dan kerabatnya yang bertulang rawan, Kelas Chondricthyes) adalah salah satu kelompok spesies paling terancam di dunia, dengan estimasi satu dari empat spesies terancam punah.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, M. Buyung Radjiloen, S.T., M.Si., menyatakan bahwa Maluku Utara merupakan provinsi kepulauan terbesar, beriklim tropis, dan memiliki stok keanekaragaman sumberdaya hayati tertinggi (mega biodiversity) dengan berbagai jenis sumber daya perikanan termasuk ikan hiu dan pari. Namun, Maluku Utara tercatat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat penangkapan hiu cukup tinggi di Indonesia, baik sebagai hasil tangkapan utama maupun sampingan.
“Padahal hiu memiliki peranan penting dalam keseimbangan rantai ekosistem di laut,” ujar M. Buyung Radjiloen. Hiu berjalan Halmahera (Hemiscyllium halmahera), misalnya, merupakan spesies endemik Maluku Utara dengan wilayah penyebaran yang sempit dan spesifik serta memiliki peranan penting dalam sistem rantai makanan di laut terutama pada struktur komunitas terumbu karang yang dangkal. Hiu berjalan ini merupakan spesies prioritas nasional yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
“Karena itu, saya mengusulkan kepada pemerintah segera menetapkan model pengelolaan kawasan konservasi perairan. Salah satu model usulan pengelolaannya dapat dilakukan dengan pendekatan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Maluku Utara yang berbasis masyarakat. Dengan demikian, hiu berjalan Halmahera bukan hanya sebagai spesies unggulan yang harus dilestarikan tapi juga dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat melalui pengembangan pariwisata bahari,” jelas Buyung.
Studi ini memperkirakan, jika tanpa hiu di lokasi-lokasi tersebut, industri pariwisata Indonesia berpotensi kehilangan sekitar 25% dari pendapatan wisata selam per tahun. Berdasarkan proyeksi, jika populasi hiu terus menurun, industri pariwisata dapat mengalami kerugian ekonomi lebih dari 121 juta dolar AS per tahun pada tahun 2027, serta akan berdampak buruk pada spesies, ekosistem laut, perikanan, dan manusia.
Mengingat pendapatan per tahun saat ini dari wisata hiu bernilai sekitar 1,5 kali dari nilai ekspor hiu tahunan, maka wisata hiu harus memberikan insentif ekonomi untuk konservasi hiu. Namun, penelitian ini menemukan ketidakcocokan nilai ekonomi absolut wisata hiu dan pari, dengan manfaat yang diterima masyarakat yang bergantung pada penangkapan hiu. Studi ini mengungkapkan, sebagian besar nelayan hiu tidak berada pada posisi yang menguntungkan dalam menerima manfaat ekonomi langsung dari wisata hiu dan pari. Karena penangkapan berlebih menjadi ancaman utama populasi hiu, ketidakmampuan dalam melibatkan dan memberikan insentif yang tepat untuk nelayan dapat menghambat upaya konservasi hiu dan pari di Indonesia. Hal ini menimbulkan isu lainnya mengenai siapa yang menanggung biaya dan manfaat konservasi serta mekanisme pendistribusiannya secara adil.
“Perusahaan swasta adalah pihak penerima utama manfaat konservasi hiu, yakni melalui pendapatan wisata, sementara nelayan mengalami kerugian ekonomi karena upaya perlindungan dan pengelolaan hiu. Mekanisme pendanaan konservasi yang inovatif, seperti pajak pariwisata dan pembayaran melalui skema jasa ekosistem, dapat membantu mendistribusikan kembali biaya dan manfaat ini,” ungkap Country Director Wildlife Conservation Society Indonesia Program, Dr. Noviar Andayani. Isu pembiayaan berkelanjutan untuk konservasi bahkan lebih mendesak, karena ekonomi pariwisata global tengah menurun di tengah pandemi COVID-19. Investasi jangka panjang yang stabil akan jauh lebih diperlukan dari sekadar pemulihan ekowisata.
Mekanisme pembiayaan yang telah ada, seperti yang ditetapkan di Kepulauan Gili, yang mengalokasikan donasi wisata selam ke pengelola kawasan konservasi, dapat memberikan cetak biru untuk insentif konservasi hiu. Ocean Eye, misalnya, sebuah aplikasi yang diinisiasi oleh Dr. Jane Lubchenco dan dikembangkan oleh beberapa peneliti, juga berupaya menyalurkan donasi dari penyelam untuk memberikan manfaat finansial bagi masyarakat pesisir, yang terkait langsung dengan populasi satwa laut yang sehat.
Sejauh ini, Pemerintah pusat bersama pemerintah provinsi di Aceh dan Nusa Tenggara Barat telah melakukan upaya untuk melindungi dan mengelola populasi hiu. Misalnya, dengan menyiapkan dan merilis kuota berbasis sains untuk membatasi penangkapan dan perdagangan hiu kejen (silky shark). Pemerintah baru-baru ini juga menetapkan kawasan lindung dan langkah-langkah pengelolaan perikanan untuk hiu dan pari di Aceh Jaya, Lunyuk, dan Tanjung Luar. Sebelumnya, pemerintah juga telah menetapkan zona larang tangkap hiu dan pari di Taman Nasional Komodo dan Raja Ampat. Dana tambahan yang diinvestasikan dari pariwisata dapat membantu meningkatkan upaya-upaya ini sehingga hiu dan pari dapat dilindungi secara efektif dan dikelola secara berkelanjutan, serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan ekosistem.