Wartapilihan.com, Depok – Pendidikan anak secara formal seringkali dijadikan suatu pilihan paling umum bagi anak-anak usia dini.
Masyarakat Indonesia kini banyak menyekolahkan anak-anaknya yang berusia 3-5 tahun ke Playgroup maupun Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang merogoh kocek yang yang tidak sedikit per tahunnya.
Orang tua pada umumnya melihat, otak anak pada dasarnya seperti spons yang dapat menyerap apa saja. Pemahaman tersebut terjadi karena ilmu yang dimiliki orangtua cenderung setengah-setengah yang berujung pada pemahaman yang kurang tepat tentang pendidikan anak. Masyarakat sering menganggap anak yang cerdas adalah anak yang sudah bisa membaca, menulis dan menghitung dengan baik. Padahal, hal tersebut dapat mematikan potensi-potensi lain yang tertanam pada diri anak, seperti kemampuan motorik, afektif maupun kognitif.
Di sisi lain, rupanya Pendidikan Anak Usia Dini ini masih cenderung belum siap secara sistem dan ketahanan (sustainability). Menurut Herrawati, terdapat berbagai permasalahan dalam implementasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yaitu (1) Tingkat pendidikan guru hanya 23,06 % yang berpendidikan S1, sementara standar Nasional Pendidikan semestinya minimal lulusan S1 PAUD, Pendidikan maupun Psikologi, (2) Persoalan kualitas program dan lembaga PAUD yang belum memadai, (3) Sepertiga anak usia 3-6 tahun belum mendapat layanan PAUD, (4) Keterlibatan keluarga yang belum sejalan bersama lembaga PAUD, dan (5) Pembelajaran PAUD yang semestinya 80% membangun sikap, justru lebih fokus pada pembelajaran baca-tulis-hitung (calistung) yang bernuansa akademik.
Seorang ahli psikologi anak, Elly Risman, menjelaskan, anak pada usia dini sebaiknya tidak disekolahkan dalam Playgroup, PAUD maupun sejenisnya. Apa pasal? Ia menilai otak anak pada usia dini masih belum siap, sehingga jika dipaksakan dapat berpotensi besar menyebabkan kanker pada otak.
Elly menyarankan, anak sebaiknya disekolahkan pada usia di atas 5 tahun. Pasalnya, usia golden age 0-8 tahun, anak lebih membutuhkan bermain daripada bersosialisasi maupun menaati segala peraturan atau prosedur yang berlaku di sekolah. Selain bermain, usia tersebut juga sangat penting untuk membentuk kelekatan antara orang tua dengan anaknya.
Pendiri Yayasan Buah Hati ini berpendapat, kepintaran anak ada masanya. Ketika masih usia dini, yang diperlukan oleh anak adalah perasaan bahagia, bukan kepintaran akademik semacam membaca, menulis, maupun menghitung.
Hal ini juga didukung oleh Prof. Neil Postman dalam buku Dissapearence Childhood dengan mengatakan “Jangan kau cabut anak-anak dari dunianya terlalu cepat, karena kau akan mendapatkan orang dewasa yang kekanak-kanakan.”
Menurut Psikologi Indonesia, menyekolahkan anak pada usia yang terlalu dini dapat menyebabkan BLAST (bored, lonely, angry/afraid, stress, tired) pada anak yang dapat berdampak buruk bagi perkembangan emosionalnya.
Harry Santosa, penulis buku Fitrah Based Education, menjelaskan, beberapa aspek fitrah yang membutuhkan keterlibatan orang tua, yang pertama adalah fitrah keimanan. Orang tua berperan untuk membangkitkan gairah cintanya kepada Allah Ta’ala dan kedua orang tuanya sebagai teladan yang paling berpengaruh pada kondisi psikologis anak, khususnya pada usia 0 hingga 6 tahun, anak sudah mengetahui dan menjalankan shalat 6 waktu, berpuasa, dan lain sebagainya.
Kedua, fitrah seksualitas. Orang tua berperan menyosialisasikan pada anak mengenai identitas gendernya secara jelas, terkhusus pada usia 3 tahun. Kemelekatan antara ayah-ibu dan anak sangat penting untuk menghindari kebingungan sang anak pada identitas gendernya.
Ketiga, fitrah individualitas. Pada anak usia 0-6 tahun, ia memiliki ego yang tinggi. Jika ia harus bersosialisasi dengan kawannya, maka ia akan dipaksa untuk berbagi dan mengalah. Kelak bisa jadi ketika dewasa, ia menjadi peragu atau kikir. Dalam sekolah usia dini, biasanya individualitas bukan sesuatu yang dihargai, melainkan prinsip kebersamaan dan keberagaman.
Keempat, fitrah belajar. Anak ketika pada usia dini memiliki imajinasi yang luas, maka permainan terbaiknya adalah alam dan juga permainan-permainan yang merangsang imajinasi anak. Kebanyakan sekolah PAUD pada umumnya memberikan permainan kognitif bermain di dalam ruangan. Padahal gairah belajar anak wajib ditumbuhkan daripada kemampuan calistung. Maka, tugas orang tua yaitu membangkitkan gairah belajar, bukan banyak mengajarkan.
Kelima, fitrah bakat. Anak memiliki bakatnya masing-masing yang unik, maka orang tua wajib memantau dan mengamatinya, serta memberikan sarana untuk menumbuhkembangkan bakat unik sang anak. Perhatikan apa yang anak sukai dan tidak sukai, kemudian berikan dukungan penuh dan empati yang besar terhadap anak.
Keenam, fitrah estetika dan bahasa. Pada usia dini ini, anak perlu untuk dikuatkan dengan bahasa ibu (bahasa native) yang dituturkan oleh ayah ibu di rumah. Berikan berbagai bacaan atau dongeng yang menguatkan bahasa ibu. Terdapat beberapa kasus di PAUD yang menggunakan bahasa asing dan bilingual. Hal itu dapat berdampak pada mental block pada anak.
Ketujuh, fitrah jasmani. Anak pada dasarnya memiliki kemampuan motorik yang baik. Mereka mengingat dengan otot (muscle memory) bukan dengan otak. Beberapa penelitian menyebutkan, anak lebih baik pertumbuhan jiwa dan sosialnya apabila bermain dengan ayah.
Memilih pendidikan PAUD bukan sesuatu yang sepenuhnya salah apabila diperhatikan beberapa hal, seperti (1) PAUD yang dipilih merupakan sekolah yang mengoptimalkan peran orang tua dalam proses, (2) Orang tua tetap bertanggung jawab pada pertumbuhan seluruh potensi fitrahnya yang kemudian dikomunikasikan dengan PAUD yang dipilih, dan (3) Orang tua memanfaatkan waktu sebaik-baiknya ketika bersama anak. I
Penulis: Eveline Ramadhini.