Pada tahun 2014, 87% mahasiswa Indonesia salah masuk jurusan atau cenderung tidak cocok dengan jurusannya.
Wartapilihan.com, Jakarta —Setiap anak terlahir secara istimewa dengan bakat-bakat unik nan spesifik yang dimilikinya. Sayangnya, ketika ia dewasa seringkali menjadi tidak bahagia karena menjalani kehidupan tidak sesuai dengan panggilan jiwa. Neno Warisman, seorang pemerhati pendidikan mengatakan, sekolah merupakan salah satu pihak yang perlu untuk melakukan pemetaan bakat. Mulai Oktober 2017 mendatang, pemerintah DKI Jakarta yang baru, Anies dan Sandi akan melakukan ini di sekolah-sekolah Jakarta.
“(Adalah) niat yang sangat baik untuk memberikan program terhadap guru untuk memahami anak didiknya termasuk bakat-bakatnya. Di sekolah akan dilakukan pemetaan bakat oleh Tim Edu, semua anak dan guru mendapatkan itu. Ibu dan bapaknya akan memperhatikan dan mengamati dilatih untuk bisa tahu bakat anaknya. Di sekolah, ada alat ukurnya, namanya Talents Mapping,” ungkap Neno, kepada Warta Pilihan.
Menurutnya, tidak cukup hanya partisipasi dari orang tua dan sekolah untuk realisasikan ini, tetapi juga di lingkungan masyarakat. Ia menceritakan kisahnya ketika di Kampung Bayam. Ada anak-anak yang hobi bernyanyi dan memainkan gitar. Namun, ketika mengamen justru diciduk oleh aparat. “Padahal, hal ini harusnya tidak terjadi lagi, ke depan pemerintah Jakarta sudah memiliki Taman Rekreasi Bakat dan Karakter (TRBK).
“Apa saja bakatnya, mereka bisa dididik atau didampingi oleh aktivis lingkungan di RT/RW. Membina mereka sampai profesional,” terang lulusan Sastra Perancis Universitas Indonesia ini.
Ia menambahkan, pemetaan bakat ini juga penting bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Pasalnya, mereka bahkan memiliki bakat untuk menghafal al-Quran dengan tepat dan paten. “Coba aja anak autis disuruh untuk melakukan hal-hal tersebut. Runut dia (membacanya), seperti digital. Ketika dia berubah (ayatnya), dia panik. Karena memang al-Quran menghendaki ketepatan.”
Permasalahan dalam Sistem Pendidikan
Neno menjelaskan, ada beberapa masalah yang mendasar dan penting dalam sistem pendidikan dewasa ini. Pertama, anak-anak yang dididik cenderung mengalami tekanan yang represif, salah satunya ialah kata ‘tidak naik kelas’. “Saya tidak setuju kalau ada ketidaknaikan kelas, itu kan ancaman otak yang membuat anak menjadi sangat capek. Itu nggak bisa dipisahkan,” ungkap dia.
Kedua, sistem pengurutan peringkat juga merupakan hal yang tidak baik, karena cenderung merendahkan yang satu dengan yang lain. Sedangkan potensi yang digali di sekolah hanya aspek kecerdasan kognitif, belum mencakup kecerdasan afektif.
“(Sistem pemeringkatan) nggak bagus, itu kan merendahkan yang satu, sementara potensi yang diujikan hanya kecerdasan kognitif saja, yang afeksi kan gak bisa. Dia baik hati, suka menolong, memaafkan, bekerjasama, itu afeksi justru yang sekarang berkembang di dunia perofesional , yang paling hebat itu attitude (sikap),” tuturnya.
Ia mengatakan, sikap justru dibentuk bukan oleh aspek kognitif, melainkan oleh aspek rasa atau afeksi. Pendidikan saat ini cenderung tidak mewadahi kecerdasan ‘lain’ selain kecerdasan kognitif, padahal hal itu secara tidak langsung dapat membunuh potensi anak. “Kalau akal itu kan mengacu pada perbuatan-perbuatan yang disistem. Tapi, melakukannya dengan baik, dengan kesantunan dengan penuh tanggungjawab, itu afeksi yang bekerja. Pendidikan kita sangat kurang pada afeksiya, sehingga tidak patut anak dinilai dari yang baku, seperti ranking,” tandasnya.
Ia berharap, setiap anak dapat diperlakukan dengan istimewa karena setiap anak berharga, tidak ada yang lebih cerdas ataupun lebih pandai—karena semuanya sama hebatnya dan sangat spesial. “Kita ingin supaya tidak terjadi lagi di Jakarta beberapa tahun mendatang. Orang tua, guru dan lingkungan mengakui untuk akhirnya mereka benar-benar menjadi pembakat yang hebat,” pungkasnya. ||
Eveline Ramadhini