Pemerintah Represif, Politik Identitas Menguat

by
foto:https://mmc.tirto.id

Plt. (pelaksana tugas) Ketua DPR RI Fadli Zon menilai, politik identitas menguat karena Negara abai terhadap keadilan sosial.

Wartapilihan.com, Jakarta –Di penghujung tahun 2017, Plt. Ketua DPR RI Fadli Zon memberikan refleksi atas kehidupan politik dalam satu tahun terakhir. Menurutnya, ada beberapa kata kunci yang telah meramaikan jagat politik Indonesia sepanjang 2017, yaitu hoax, SARA, toleransi, politik identitas, dan UU Ormas. Semuanya bukanlah isu yang menyenangkan.

“Wajah dunia politik kita sepanjang tahun 2017 sepertinya sangat dipengaruhi oleh wajah Pilkada DKI. Hampir seluruh isu yang mewarnai Pilkada DKI, mulai dari isu SARA, politik identitas, atau isu hoax, yang oleh para pengamat di-framing sebagai kebangkitan populisme kanan, kemudian bergema secara nasional,” ujar Fadli dalam keterangan pers di Jakarta.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu menyebut, sebagai bangsa majemuk, bangkitnya wacana politik identitas memang pantas membuat masyarakat berkaca diri. Politik identitas erat kaitanya dengan proses aksi reaksi di lingkungan masyarakat. Mengeksploitasi kekhawatiran sangatlah tak berguna. Rakyat mesti bertanya, apa yang telah membuat politik identitas seolah kembali bangkit belakangan ini?

“Sejak awal saya berpandangan jika perbenturan keras yang terjadi selama periode kampanye Pilkada DKI kemarin terlalu gegabah jika hanya didudukkan semata sebagai persoalan sektarian versus kebhinekaan. Meminjam analisisnya Inglehart dan Norris, populisme biasanya berkembang karena dua faktor, yaitu kesenjangan ekonomi dan terjadinya benturan kebudayaan,” tuturnya.

Itu sebabnya, dia berpandangan jika bangkitnya politik identitas yang terjadi belakangan ini tak berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap kebhinekaan, tetapi karena dipancing oleh meningkatnya ketidakadilan sosial. Menurutnya, indeks ketimpangan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia terjadinya di masa pemerintahan Jokowi. Menurut studi Amy Chua, pasar bebas dan demokrasi yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat sangat rentan melahirkan konflik dan instabilitas.

“Jadi, soal ketimpangan ekonomi ini memang tidak bisa diabaikan,” imbuhnya.

Di luar soal ekonomi, lanjut Fadli, benturan kultural juga bisa jadi pemicu munculnya populisme. Kenapa populisme sangat mewarnai Pilkada DKI kemarin, misalnya, juga karena gesekan kebudayaan ini. Di balik hutan beton Jakarta, sebagaimana halnya kota-kota tua lainnya, banyak orang lupa bahwa Jakarta juga adalah sebuah tempat yang memiliki identitas dan jejak historis yang panjang. Ketika identitas dan jejak historis itu dipinggirkan, dikaburkan, dan bahkan—entah secara sengaja maupun tak sengaja—sedang coba dikuburkan melalui sejumlah agenda ekonomi dan politik ruang oleh Gubernur DKI yang lama, tentu akan ada resistensi dari mereka yang merasa terikat pada identitas-identitas tradisional tersebut. Resistensi itulah yang kemudian telah melahirkan apa yang oleh para pengamat disebut sebagai kebangkitan populisme tadi.

“Itu sebabnya, resep untuk mengatasi gejala menguatnya politik identitas bukanlah dengan melakukan kegiatan indoktrinasi, melainkan dengan menata kebijakan ekonomi dan politik, termasuk politik tata ruang, yang lebih adil dan mengakomodasi kepentingan mereka yang selama ini termarjinalkan,” tandas Fadli.

Memasuki tahun politik, saran Fadli Zon, penting buat pemerintah untuk menjaga situasi agar tetap kondusif. Untuk itu, ruang publik mestinya makin bersih dari hoax dan ujaran kebencian. Sayangnya, pemerintah kadang justru menjadi pihak yang turut mengeruhkan suasana. Salah satunya adalah kasus Saracen. Polisi awalnya mengekspose kasus Saracen seolah ini adalah kasus besar terkait industri hoax dan penyebar kebencian di media sosial.

“Sayangnya, sebagaimana yang bisa kita baca dari proses peradilan yang tengah berjalan, tuduhan-tuduhan polisi yang bombastis tadi tak ada yang masuk dalam dakwaan jaksa. Artinya, tuduhan-tuduhan tadi sama sekali tidak bisa dibuktikan. Kita tentu berharap agar ke depannya Polri bisa lebih profesional dan fair dalam menjalankan tugasnya, agar tidak memancing spekulasi dan berkembangnya fitnah di masyarakat,” ungkapnya.

Sebab itu, simpul Fadli, menguatnya politik identitas mestinya dijawab oleh pemerintah dengan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, bukan dijawab dengan represi dan produksi stigma.

“Upaya represif terhadap para ulama dengan pelarangan-pelarangan justru memperkuat perlawanan politik identitas,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *