Di akhir semester menjelang libur panjang, para orang tua akan menerima hasil pembelajaran dalam bentuk angka-angka. Kebanyakan reaksi orangtua ialah marah-marah jika nilai anak jelek. Bagaimana semestinya menyikapi nilai anak, baik yang buruk maupun bagus?
Wartapilihan.com, Jakarta –Orangtua seringkali frustasi melihat nilai anak yang rendah, bahkan jika tidak mendapat ranking yang sepuluh besar. Pola pikir tersebut perlu diubah. Pasalnya, justru potensi anak dapat dilihat dari rapot sekolahnya.
Anang Prasetyo, pendidik Seni Budaya SMKN 1 Boyolangu merupakan salah seorang yang menekankan melihat potensi anak lewat nilai-nilai yang tertera pada raport ini.
Ia mendefinisikan, raport pada dasarnya laporan kemajuan perkembangan ananda selama satu semester dalam menempuh seperangkat materi pelajaran dan bukan merupakan hasil akhir.
“Oleh karenanya ada beberapa tips yang dapat dilakukan oleh orangtua,” kata Anang, beberapa waktu lalu.
Menurut Anang, rapot sebaiknya tidak dibuka terlebih dahulu. Tanyakan kepada ananda Pelajaran apa yang ia sukai dan siapakah guru yang ia sukai. Pasalnya, hal ini akan berpengaruh terhadap nilai di dalam raport.
“Kemudian, fokus pada nilai tertinggi yang ada di raport. Coba cek adakah signifikansi dengan pelajaran yang diminati anak dan gurunya yang ia sukai,”
“Fokuslah pada nilai tertinggi karena di situlah kelebihan Ananda. Itu adalah anugerah terindah dari Tuhan yang diberikan. Maka, terima dan disyukuri,” tukas Anang.
Narasumber Gria Edukasi Samara Fm 96.20 ini menambahkan, orangtua penting memetakan bakat anak sesuai otak kanan ataupun otak kirinya. Keunggulan otak kiri anak bisa dilihat dari nilai matematika, IPA/Sains, fisika, dan kimia. Sedangkan pada otak kanan, dapat dilihat dari nilai Seni Budaya, IPS dan juga bahasa.
“Jika Ananda dominannya di otak kiri maka arahkan nantinya ke jurusan sesuai bidang Otak kiri. Demikian sebaliknya. Raport ini juga bermanfaat untuk deteksi kecerdasan sekaligus penjurusan,”
Ia menekankan agar jangan sekali kali memaksakan anak yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. “Selain kasihan kepada anak karena menjadi beban, juga kecerdasan anak memang bukan di situ, akhirnya hasilnya dan prestasinya menjadi kurang maksimal,” pungkasnya.
Anang menambahkan, hakikat dari pendidikan bukan diukur dari nilai raport, melainkan menjadikan sang anak mencintai aktivitas membaca untuk mencari pengetahuan, dapat berpikir logis dan tahu mana yang salah dan benar.
“Juga agar anak mampu mengembangkan bakatnya, serta punya semangat juang untuk mewujudkan apa yang anak inginkan secara disiplin dan konsisten,” tutur dia.
Sementara itu, Lukman Tanjung selaku Ketua Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Depok mengatakan, nil untuk mencela atau memuji anak, tetapi untuk mengambil sebuah langkah strategis untuk tepat pada pengembangan diri anak.
“Mindset kita dalam pembelajaran memuja orang yang ranking pertama, dan mem-bully yang ranking di belakang. Bagi perkembangan anak hal itu tidak bagus. Yang rankingnya tinggi jadi sombong, yang nilainya rendah jadi tidak semangat, menjadi pencundang dalam kehidupan. Padahal tidak ada orang yang pecundang,” kata Lukman, kepada Warta Pilihan, Kamis, (28/12/2017).
Lukman menambahkan, pengurutan ranking berdasarkan nilai tidak perlu ada. Pasalnya, pada dasarnya setiap manusia memiliki keunggulan pada bidangnya masing-masing.
“Yang digali dari pendidikan, memotivasi kegairahan dalam sebuah proses pencarian bakat dirinya. Pendidikan idealnya membuat seseorang menggali pengetahuan yang dicari sampai ke ufuknya (ujungnya),” tukas Lukman.
Eveline Ramadhini