WARTAPILIHAN.COM, Jakarta. Neno Warisman mengklarifikasi tulisannya atas tanggapan terhadap ucapan Said Aqiel Sirodj, Ketua Umum PBNU, yang menyatakan “Melihat film porno lebih baik daripada menonton ceramah provokatif”. Warta Pilihan secara khusus menghubungi Neno Warisman guna mendapat informasi lebih jauh, hari ini, Selasa (30/5).
Bagaimana tanggapan Bunda Neno terhadap tulisannya yang sempat viral berjudul KAMI PARA IBU TIDAK TERIMA Ucapan Said Aqiel “Melihat Film Porno Lebih Baik Daripada Menonton Ceramah Provokatif” pada situs portal-islam.id?
Pertama, harus saya sampaikan, bahwa viral yang dibubuhi keterangan di awal itu ditulis oleh orang lain, saya menulis tanpa nama. Ketika kemudian digabungkan itu bukan pekerjaan saya, tidak tahu siapa. Tulisan saya mulai dari ‘Wahai umat’ sampai selesai, tanpa nama. Buat saya, siapapun yang mengatakan atau siapapun yang tidak memahami persoalan hari ini, harus dipahami. Karena itu, saya nggak memerlukan nama.
Jadi ketika tulisan itu disandingkan, bukan pekerjaan saya. Tugas saya yang utama adalah memberikan penyadaran masyarakat bahwa ada yang terjadi, yang belum disadari oleh pejabat, pemerintah, bahwa hal ini yang seharusnya menjadi subjek, jangan dibawa kepada pribadi. Kalau mau berbicara tentang kondisi anak dan remaja yang sangat kronis, mari.
Tindak lanjut atas kritik tersebut bagaimana?
Pemerintahan yang baru dan juga seluruh masyarakat harus memberikan perhatian kepada anak dan remaja. Satu, saya ingatkan, anak-anak yang mereka tega, bengis, membacok, membawa parang, naik motor, saya mau bilang itu anak kita, itu anak yang terlalaikan. Mereka punya hak untuk hidup yang lebih baik. Tapi kenapa mereka melakukan hal yang begitu bodoh? Karena mereka tidak diurus oleh bangsa ini, oleh ibu bapaknya, oleh negaranya, mereka itu terlalaikan oleh orang tua.
Juga sebahagian dari yang sudah menganut Paham hidup bebas, LGBT, mereka juga anak kita. Apalagi yang menghuni penjara-penjara anak-anak perempuan, yang menjadi mediator narkoba, menjual diri mereka, anak-anak kita, mereka gadis-gadis kita. Jadi, jangan mempertajam esensi yang tidak perlu. Karena esensi tulisan saya untuk mengingatkan, Ada breaking system yang dirusak oleh pornografi yang angkanya sekarang mengerikan. Walaupun tidak diteruskan karena dana yang terbatas, tapi Yayasan Kita dan Buah Hati menemukan angka yang fantastis mengerikan.
Satu berbanding tujuh belas. Diantara 17 anak, hanya satu saja yang tidak terpapar. Kalaulah semua orang tahu, betapa sulitnya keluar dari lingkaran pornografi, mereka akan menangis berdarah-darah, betul. Nggak bisa tertawa dalam hidup. Karena mereka tidak melihat apa yang ada di balik kepala setiap anak. Bayangkan, di Jatinegara, di daerah padat rumah dengan petakan kecil 1 x 2 atau 2 x 2 saja, itu sudah diisi lorongnya di kampung-kampung dengan komputer yang di situ anak-anak bukannya main games dan kecanduan games—itu juga jadi satu pintu gerbang yang luar biasa. Karena, begitu mereka main satu game, yang kita bisa dapetin banyak, salah satu hadiahnya bersetubuh dengan perempuan di pinggir jalan dengan perempuan yang bisa mereka pilih. Sekarang, anak TK sudah memperkosa anak TK.
Jadi kita ini sekarang sedang ada dalam satu keadaan, bukan soal Pilkada, bukan soal politik, tapi ini soal ‘apa kita masih punya source untuk mengisi dewan-dewan, yang mengisi lahan-lahan’. Jangan terlalu positif dan jangan terlalu melihat segalanya seperti enggak ada apa-apa. Bukan kenakalan remaja, bukan. Itu kelalaian kita, kelalaian orang tua. Dan juga pemerintah yang tidak juga membuat keputusan besar untuk membuat pendidikan pengasuhan, bukan pendidikan formal. Orang tua dan calon orang tua, itu harus dicegat dengan satu ilmu yang namanya ilmu pengasuhan yang diremehkan. Ilmu kedokteran, hebat. Ilmu ekonomi, hebat. Ilmu arsitektur, hebat. Tapi menjadi orang tua tidak pernah dipelajari. Padahal ini ilmu, namanya ilmu pengasuhan. Bagaimana ibu bicara, begitulah jiwa anak akan terbentuk. Bagaimana ayah bertingkah laku, begitulah pribadi anak terbentuk. Sesimpel itu dianggap remeh. Padahal ini yang paling penting.
Ketika kita melakukan pengasuhan yang tepat, maka kita akan punya generasi yang hebat. Tapi ini bukan berita yang menarik, yang menjual, good news. Kalau media hanya melihat bad news. Kalau udah sampai gontok-gontokan, yang sudah terlihat jeleknya, baru jadi berita. Tapi kalau jauh-jauh hari dibilang, ini ada bahaya. Ini harus kita tekuni. Pemerintah harus kasih uang besar untuk pengasuhan, untuk pendidikan orang tua. Untuk calon-calon orang tua. Masuk ke SD, SMP, SMA, Universitas, untuk bagian dari kurikulum. Menjadi orang tua yang hebat harus dirancang, dan menjadi pembentukan manusia, pembentukan pembangunan manusia. Nggak bisa sekali jadi, nggak bisa tiba-tiba berharap kayak sihir. Itu harus ditekuni oleh pemimpin dan orang yang punya tanggungjawab terhadap rakyatnya.
Kira-kira upaya apa yang bisa dilakukan? Apakah harus ada sekolah parenting?
Sekolah parenting sudah dilaksakanakn, seperti seminar, tapi nggak cukup. Ini adalah gerakan yang harus dilakukan secara masif, diakui oleh pemerintah, dibiayai juga oleh pemerintah negeri ini. Tapi, kalau pemerintah mau menghancurkan rakyatnya ya begini caranya.
Kira-kira harapan terhadap hal ini bagaimana?
Saya berharap pada pemerintahan yang baru, Mas Anies, Mas Sandi dan juga kepada Pak Djarot yang jadi Plt tolong perhatikan. Anak-anak yang sudah jadi korban itu, jangan dikemplangin kepalanya, jangan disiksa mereka itu. Coba tolong, selamatkan, dibina dengan betul-betul, diserahkan kepada orang yang amanah, yang mencintai manusia, kehidupan. Sekarang kita, Islam, sedang porak-poranda karena para ulama sebahagian sudah dikriminalisasi, seperti pekerjaan satu belum selesai, pekerjaan ini ada lagi, dan seterusnya. Perlu bantuan, kalau memang pemerintah ini bekerja dengan adil, ya.
Tolong nomor satu hentikan ini semuanya, hentikan huru hara ini. Dan kemudian, beri waktu kepada para pendidik untuk bekerja. Karena Jakarta gerbang Indonesia, beri waktu pada pemerintah baru di Jakarta ini untuk menyusun para pendidik ini bekerja dengan sungguh-sungguh menangani, terutama soal anak-anak dan remaja. Karena memang mereka hanya menjadi objek, belum menjadi subjek pembangunan. Saya sungguh meminta, jadikan anak dan remaja sebagai objek pembangunan kita.
Reporter: Eveline Ramadhini