Negara Dijerat Lintah Darat

by
foto:http://img2.bisnis.com

Di tengah pembangunan yang gencar pada rezim Presiden Joko Widodo, hutang semakin melintang; negara terancam jeratan hutang yang menggunung.

Wartapilihan.com, Jakarta –Dalam buku ‘Proyeksi Ekonomi Indonesia 2017: Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia’ dijelaskan, pada dasarnya pembangunan yang diatur dalam kebijakan fiskal memang diperlukan untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi.

Tetapi di sisi lain, buku yang diterbitkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan ditulis oleh Enny Sri Hartati dan kawan-kawan ini mengatakan, ironisnya, dalam kurun lima tahun terakhir realisasi defisit
anggaran cenderung meningkat.

“Penyebabnya, rata-rata realisasi belanja tumbuh di kisaran 5 persen, sementara
realisasi pendapatan negara hanya tumbuh kisaran 3 persen. Bahkan defisit APBN 2015 melonjak melebihi target yaitu mencapai 2,59,” tulis Enny dan kawan-kawan.

Dengan demikian, Enny merekomendasikan agar pemerintah mengevaluasi efektifitas defisit APBN yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal ekspansif ini.

“Idealnya, ekspansi fiskal harus berdampak pada peningkatan produktifitas yang di antaranya harus tercermin pada peningkatan penerimaan negara dan menurunnya pembiayaan defisit ke depan. Namun yang terjadi, defisit keseimbangan primer justru semakin membengkak,” terangnya prihatin .

Oleh sebab itu, ia menekankan agar Pemerintah tegas menetapkan kriteria atau prasyarat suatu program atau proyek yang boleh dibiayai dengan utang.

“Di samping untuk menjamin efektif meningkatkan produktifitas, juga harus
mampu mengembalikan beban bunga dan cicilan utang.
Sungguh pun begitu, perlu dikembangkan berbagai strategi alternatif pembiayaan guna tetap menjaga
kesinambungan fiskal. Sayangnya, pemerintah cenderung mencari instrumen pembiayaan yang instan,” jelas dia.

Seperti diketahui, pada Agustus 2016 hutang dalam negeri sudah mencapai 1.966,8 Triliun. Sedangkan utang luar negeri pemerintah hingga 1.471,4 triliun.

“Alhasil, rasio total utang pemerintah dalam lima tahun terakhir naik cukup
fantastis dari Rp1.809 triliun atau 23 persen terhadap PDB di 2011, menjadi Rp 3.445 triliun atau 27,3 persen terhadap PDB pada September 2016,” tukas Enny.

Ia menyayangkan, realisasi anggaran yang dibiayai dengan hutang tidak terserap secara optimal. Dilihat dari Sisa
Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) rata-rata sebesar Rp23,6 triliun.

“SiLPA memang akan menambah saldo anggaran lebih (SAL) yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan tahun
berikutnya. Namun SiLPA yang berasal dari utang, tentu akan menimbulkan beban tambahan bagi Pemerintah,” pungkasnya.

Pertumbuhan Ekonomi Mandek

Sementara itu, Jazuli Juwaini yang merupakan Ketua Fraksi PKS mengatakan, janji ekonomi yang dilantunkan Jokowi masih jauh panggang dari api.

“Kita apresiasi sejumlah capaian positif pemerintah antara lain pada percepatan pembangunan infrastruktur, meski demikian kita tidak boleh abai pada rendahnya capaian ekonomi secara umum terutama dalam aspek fundamental kesejahteraan rakyat,” terang Jazuli dalam sambutannya pada acara Diskusi Publik Evaluasi Kinerja Pemerintahan Jokowi-JK dengan Tema ‘Menagih Janji Ekonomi Meroket, Jokowi 2018 Mau Kemana?’, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, (11/12/2017).

Pertama, ia menerangkan, ekonomi Indonesia belum menunjukkan perkembangan menggembirakan.
“Pertumbuhan ekonomi masih bergerak rata-rata di bawah 5 persen per tahun. Angka tersebut jauh dari target pemerintah, dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 7 persen per tahun,” kata Jazuli.

Kedua, masih kurang maksimalnya pertumbuhan ekonomi, pada gilirannya memengaruhi kemampuan pemerintah menekan persoalan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan.

“Jumlah penduduk miskin melonjak pada Maret 2017. Sebagian besar tenaga kerja bekerja di sektor-sektor yang rendah dalam tingkat pendidikan, produktivitas dan upah. Sehingga, relatif sulit menekan ketimpangan pendapatan.”

Hal yang ketiga, pertumbuhan ekonomi yang rendah, diikuti dengan perlambatan peranan sektor-sektor penyerap tenaga kerja (labor incentive/tradable), seperti sektor pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan. “Peranan sektor tradable terhadap pertumbuhan ekonomi semakin menurun karena minimnya stimulus pemerintah, baik segi pembiayaan maupun nonpembiayaan,” tuturnya.

Selanjutnya, pemerintah pun belum berhasil menaikkan posisi daya saing ekonomi nasional secara signifikan, sehingga realisasi investasi bergerak lamban.

Kelima, hal yang disayangkan oleh Jazuli, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat.

“Satu yang paling nyata adalah penaikan harga-harga barang-barang yang diatur pemerintah, seperti bbm, listrik, dan biaya-biaya administrasi seperti pengurusan STNK, dan biaya-biaya lain termasuk kebijakan perpajakan yang memberatkan.”

Hal itu berdampak pada ekonomi masyarakat yang kian tergerus oleh inflasi, terutama penduduk 40 persen terbawah. Sementara itu penduduk ekonomi menengah mulai menahan belanja, yang tergambar dari lonjakan simpanan di sektor perbankan.

Keenam, menurut dia, sektor fiskal turut memunculkan kekhawatiran, karena tingginya defisit. Padahal, Indonesia baru saja memeroleh investment grade sebagai apresiasi terhadap pengelolaan fiskal sehat.

“Tantangan sektor fiskal mengarah pada sulitnya menggenjot pendapatan di tengah-tengah belanja yang terus melonjak. Hal ini menyebabkan kenaikan utang yang cukup tinggi, sehingga membebani keuangan pemerintah ke depan,” tukasnya.

Ia sebagai perwakilan dari Fraksi PKS berharap, catatan evaluasi tersebut dapat diperbaiki dengan signifikan di dua tahun sisa masa pemerintahan yang akan datang.

“Tahun 2018, ekonomi global diproyeksi membaik dan diharapkan dapat berdampak positif bagi ekonomi nasional. Kekuatan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Namun demikian, pemerintah diharapkan tidak mengintervensi ekonomi dengan kenaikan harga-harga barang, yang berpotensi menekan daya beli,” pungkas Jazuli.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *