MUI: Jawaban Para Ahli Ambigu

by
foto:istimewa

Para Ahli dari pihak Pemohon tampak grogi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hakim.

Wartapilihan.com, Jakarta —Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang terkait Uji Materi UU PNPS Tahun 1965. Agenda sidang ke-11 tersebut adalah mendengarkan keterangan dari dua orang Ahli dari Pihak Terkait yang dihadirkan Komnas Perempuan, Agus Sudibyo dan Muktiono. Keduanya adalah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan keterangan Ahli dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Manajer Nasution, disepakati akan didengar keterangannya pekan depan karena secara teknis makalahnya baru diterima MK pagi hari sebelum sidang berlangsung.

Ketua Majelis Hakim, Arief Hidayat, SH, memutuskan akan mendengar keterangan empat Ahli sekaligus dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai Pihak Terkait, masing-masingnya adalah Prof. Dr. Hj. Muhammad Amin Suma, Ustadz H. Aminuddin, Prof. Dr. Syaiful Bahri, dan Manejer Nasution.

Kedua Ahli dari pihak Komnas Perempuan, Agus Sudibyo dan Muktiono, memberi keterangan dan pandangan keagamaan, utamanya perlakuan oleh pemerintah terhadap kelompok agama minoritas dari perspektif Hak Asasi Manusia. Agus Sudibyo mengungkapkan sikap pemerintah menghadapi fakta-fakta perbedaan masyarakat yang majemuk.

“Negara sering menerapkan kebijakan yang utilitaristik, yakni kebijakan yang mengorbankan nasib sedikit orang demi kebahagiaan banyak orang,” ujar Agus.

Sedangkan Muktiono, Ahli kedua yang dihadirkan Komnas Perempuan mengatakan, Undang-Undang P3A dibentuk untuk memberikan perlindungan terhadap umat beragama dari suatu perilaku atau sikap religius heresy yang dapat berupa simony, blasphemy, atau apostasy yang secara teknis normatif dirupakan dalam terma penyimpangan, permusuhan, penyalahgunaan, atau antiagama.

“Situasi yang diskriminatif ini telah bertentangan dengan Pasal 28I ayat dua (2) konstitusi,” katanya.

Menurutnya, UU P3A adalah suatu instrumen hukum pembatasan hak, baik secara administratif maupun punitif, mempunyai karakter yang eksklusif yang berakibat pada terpinggirkannya prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan. Muktiono juga menyinggung soal kecenderungan korporatisme agama dan public order.

“Negara dalam melindungi hak beragama sebaiknya berfokus pada objek dan alasan perlindungan yang reliable untuk dilaksanakan seperti menyangkut ujaran kebencian atau hate speech, indoktrinasi, maupun ritual keagamaan atau kepercayaan yang mengancam keselamatan publik, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, moral masyarakat, atau hak dasar dan kebebasan orang lain,” jelas Muktiono.

Kuasa Hukum Pemohon, Holy K.M. Kalangit, yang meminta kedua Ahli untuk dapat menguraikan bagaimana mengukur keadaan darurat yang dapat dijadikan alasan untuk negara bisa menemukan konstitusi yang menjamin kesetaraan, keadilan, dan perlindungan dari kekerasan tersebut dalam kaitannya dengan public order.

Sedangkan Pihak Pemerintah, diwakili Fadil Jauhari, mempertanyakan keterkaitan antara Pasal 28J ayat (2) dimana setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, hubungannya dengan UndangUndang P3A.

“Saya ingin mengetahui pandangan kedua Ahli tentang ajaran Ahmadiyah yang dilarang terkait melakukan tafsiran-tafsiran yang berbeda dan bertentangan dengan ajaran agama Islam itu sendiri,” tuturnya.

Hakim Aswanto menanyakan kepada dua orang Ahli, terkait makna kebebasan dan perlindungan kebebasan beragama.
Apakah maknanya itu tidak meliputi bahwa ketika seorang memilih suatu agama dan berdasarkan kitab suci dari agama yang ia pilih itu sudah menegaskan pokok-pokok ajaran agama.

“Tetapi kemudian ketika ada orang lain yang menggunakan nama sama dengan agama saya, tapi kemudian pokok-pokok ajarannya berbeda, apakah itu masih dalam konteks itu tadi?,” tanya Aswanto.

Menurutnya, persoalan tersebut bukan soal mayoritas-minoritas, tapi soal persoalan ketidaksamaan pandang. Pemohon punya pandangan yang berbeda (Ahmadiyah-Red) dengan pandangan dari pihak terkait tertentu (Islam-Red).

“Persoalannya, apakah Ahmadiyah ini menerapkan ajaran Islam yang murni atau ini ajaran yang berbeda, tetapi menggunakan nama yang sama. Islam,” tandas dia.

Atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut, kedua Ahli dari pihak Pemohon tampak grogi menyampaikan jawaban terkait pokok persoalan.

“Jawaban tidak jelas dan semata-mata pemihakan seratus persen kepada Pemohon,” ujar Kuasa Hukum MUI Kaspudin Nor.

Hadir mengikuti sidang dari Dewan Da’wah diwakili oleh Wakil Ketua Umum Amlir Syaifa Yasin, Sekretaris Umum Avid Solihin, Ketua Bidang Ghazwul Fikri, H.T. Romly Qomaruddien, dan Peneliti dari Pusat Kajian Dewan Da’wah Hadi Nur Ramadhan.

Zuhdi/Yuddi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *