Seharusnya, kata Ali, pemerintah mengeluarkan kebijakan impor di saat kondisi sedang defisit. Ditambah, pada September 2017, Gerakan Petani Nusantara menyatakan beberapa daerah gagal panen karena serangan wereng.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Di musim panen beras dan beberapa daerah yang mengalami surplus seperti Sulawesi Selatan, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan impor beras dari Thailand dan Vietnam sebanyak 500.00 ton.
Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) Ali Fathoni mengatakan, pemerintah tidak tepat mengeluarkan kebijakan impor beras. Sebab, kata dia, ketika bulan Desember harga beras mulai naik, seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan itu. Namun, pemerintah beranggapan stock beras masih aman.
“Bulan berikutnya, naik lagi, sampai sekarang. Berarti ada yang something wrong. Mekanisme pasar menyatakan, kalau ada harga naik berarti suplai berkurang,” ujar Ali kepada Warta Pilihan (wartapiliham.com) di Gedung Iluni UI, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (18/1).
Lebih lanjut, dia memertanyakan pemerintah apakah suplainya yang tidak tersedia atau barang tersebut (beras) tidak sampai ke konsumen.
“Nah, ini kan problemnya di pemerintah. Kalau pemerintah tidak tahu dimana letak kejanggalannya, berarti problem,” tuturnya.
Seharusnya, jelas Ali, pemerintah mengeluarkan kebijakan impor di saat kondisi sedang defisit. Ditambah, pada September 2017, Gerakan Petani Nusantara menyatakan beberapa daerah gagal panen karena serangan wereng.
“Pemerintah seharusnya bisa mengantisipasi di bulan-bulan itu. Teman-teman Serikat Tani mengatakan di Sulawesi surplus. Artinya, permasalahan bukan di petani, tetapi di Bulog,” terangnya.
Terlebih, kata Ali, tidak menutup kemungkinan ada oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan keuntungan dari impor beras. Bayangkan, lanjutnya, jika harga di Thailand/Vietnam 400$, atau sekitar Rp 6.000 – Rp. 7.000 jika dikonversi ke rupiah, dengan total ongkos 70$, maka totalnya hanya 500$.
“Tapi dikalikan 500.000 ton dengan margin cukup besar, itu sudah berapa? Kita nggak bisa nunjuk batang hidungnya, tapi kalau ada aroma begitu (permainan oknum) sudah pasti. Sebab, ini soal mekanisme dagang saja. Masalahnya, kalau mendekati pemegang kebijakan, maka ada indikasi-indikasi yang tidak tepat,” tandasnya.
Hal senada diutarakan Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang (KPIBC) Zulkifli Rasyid, ia ingin harga eceran tertinggi (HET) dihapus. Sebab, tidak ada kepentingan sama sekali dengan produsen beras.
“Buat apa menteri membuat Undang-Undang tapi nggak sesuai dengan kejadian di pasar. Semua harga beras sekarang di atas HET. HET beras medium Rp 9.450, sedangkan harga di pasar Rp 11.000. HET premium Rp 12.800, sekarang Rp. 13.000. Buat apa HET?,” tanyanya.
Zul menduga, data surplus sebanyak 1,2 juta ton yang dimiliki Kementerian Pertanian tidak valid. Meskipun, Kementan mengatakan surplus terjadi dimana-mana.
“Ini bahaya lho bulan Januari-Februari. Kita boleh-boleh saja impor di saat tidak ada, tapi kita tidak boleh impor di saat mau panen. Sekarang walaupun mau panen, tetapi sangat diperlukan,” ujarnya menirukan seperti yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla.
Ahmad Zuhdi