Judul Buku: Telepon Genggam: Sehimpun Puisi
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Basabasi, Yogyakarta 2017, 83 halaman
Banyak cara berekspresi. Dengan berpuisi, fenomena sekitar dapat menjadi inspirasi untuk mengemas isi.
Wartapilihan.com, Jakarta -‘Dewasa ini, dunia perpuisian berkembang pada ranah sastra dengan semakin variatif dan inovatif tanpa menghilangkan ke’rasaan’-nya. Puisi jadi karya absurd bagi yang kurang mengerti, di sisi lain dapat jadi keindahan yang luar biasa; semua tergantung interpretasi dalam berimajinasi.
Kehidupan modern yang semakin canggih tak terelakkan dapat jadi salah satu sumber menulis puisi. Seperti yang dilakukan sastrawan Joko Pinurbo (Jokpin), ia mengemas dunia realitas dalam karya-karya imajiner-surealistik dengan caranya sendiri.
Puisi-puisi yang ditulis Jokpin dapat dibilang unik karena khas dan tidak mengikuti teori-teori puisi yang berkembang sebagaimana mestinya. Dalam buku ini, ia menjelaskan sebuah fenomena tentang telepon genggam atau yang kita kenal saat ini sebagai ‘gawai’ atau ‘gadget’. Seperti salah satu petikan puisi berikut, dengan judul ‘Laut’ yang ia tulis pada halaman 13:
Sekali-kali telepon genggam / perlu diajak piknik atau jalan-jalan / Ke pantai, misalnya. Supaya makin luas pandangannya. Makin lepas jangkauannya.
Di pantai ia jatuh cinta pada laut. / Ia memanggil-manggil nama laut, / tapi suaranya lenyap ditelan laut.
Aku tiduran di atas pasir / sementara telepon genggam sibuk / memotret awan dan air, merekam derai / dan desir. “Silahkan kau latihan mati,” katanya. “Aku mau begadang, /mendengarkan bisikan-bisikan laut.”
Sekarang, bila aku sakit, / telepon genggam suka menggodaku / dengan suara angin dan ombak. / Lalu ia perlihatkan profil bulan yang malu-malu, profil ajal / yang diutus waktu. Dalam demam tiba-tiba / aku mendengar gemuruh laut.
Dengan memiliki buku ini, 73 buah puisi dengan bentuk surealis seperti ini dapat Anda jadikan hiburan yang kadang ironis, kadang terlalu imajinatif untuk berpikir lebih jauh dan mendalam tentang kehidupan; mengasah rasa dan kepekaan pada kehidupan sekitar.
Tidak hanya tentang telepon yang dibahas, namun juga ada tentang kamar mandi–yang bahkan mungkin orang sering tak terpikirkan tapi sebetulnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Dengan membaca buku ini, Anda dapat merekam jejak perspektif dalam memandang kehidupan dengan lebih bijaksana dan kadang jadi lelucon cerdas tak pernah terpikirkan, namun bermakna.
Jokpin dalam Catatan Penutupnya mengatakan, ia menulis puisi bernarasi cerita untuk menyederhanakan kerumitan dan ketidakpastian yang kian meresap ke lapis-lapis terdalam dunia (dan) manusia. Di akhir, ia mengutip kata-kata Hannah Arendt yang menurut dia lirih, “Derita menjadi tertanggungkan ketika ia menjelma cerita.”
Eveline Ramadhini