Uber, Gojek dan Grab sebagai moda transportasi online banyak digunakan masyarakat, terutama masyarakat urban. Seiring kemajuan teknologi, nilai manusia yang sering disebut ‘mitra’ dalam dunia transportasi online semakin teralienasi.
Wartapilihan.com, Jakarta –Di satu sisi, penggunaan transportasi online dinilai menguntungkan bagi pengguna/penumpang. Pasalnya, transportasi jenis ini dinilai lebih mudah, murah dan cepat dibandingkan angkutan umum maupun ojek konvensional.
Tetapi, di sisi lain, semakin banyaknya orang yang harus menjadi ‘mitra’ atau ‘driver’, resiko besar harus ditanggungnya. Di sisi lain, penghasilan yang tidak seberapa menuntut dirinya untuk terus bekerja dari pagi hingga malam untuk memenuhi target agar mendapatkan bonus harian. Jika tidak memenuhi, yang ia dapatkan sulit untuk mencukupi.
Aulia D Nastiti baru-baru ini menyebarluaskan hasil penelitiannya tentang eksploitasi yang dilakukan oleh Uber, Gojek dan Grab dalam paper bahasa Inggris yang berjudul ‘Worker Unrest and Contentious Labor Practice of Ride-Hailing Services ini Indonesia’.
Mahasiswa Ilmu Politik di Northwestern University ini menemukan bahwa kata ‘mitra’ ataupun ‘wirausahawan mikro’ yang selama ini melekat bagi para driver (pengemudi) merupakan pencitraan yang mengecoh dan mengelabui, baik bagi driver maupun penumpang.
Pasalnya, ia justru menemukan, alih-alih menjalani hubungan kemitraan, pengemudi mengalami relasi eksploitatif. “Mereka diperlakukan seperti buruh informal dengan perlindungan kerja yang minim atau bahkan tak ada sama sekali,” ungkap Aulia.
Penelitian yang ia lakukan selama enam bulan, dari November 2016 hingga April 2017, ia menganalisis narasi dan testimoni pengemudi dalam berbagai forum di Facebook dan Google+ yang diikuti lebih dari 80.000 anggota. Ia juga berbincang dengan sepuluh pengemudi di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar pada pertengahan 2017.
Dengan menggunakan teknologi dan retorika, Aulia memaparkan, perusahaan transportasi daring berhasil mendikte pengemudi dan dalam waktu yang sama menciptakan ilusi hubungan yang setara. Sistem tersebut menciptakan ketimpangan akses dan kuasa yang membuat perusahaan mampu memaksa pengemudi terus memeras keringat. “Di saat yang sama, perusahaan mengeliminasi hak-hak pengemudi sebagai pekerja dan membebankan biaya dan risiko kepada mereka,” Aulia menekankan.
Dengan tarif yang dipatok hanya Rp. 1.000 hingga Rp. 2.000 per kilometer, mau tidak mau pengemudi harus dapat uang dari bonus harian sebagai pendapatan utama.
Bonus diberikan berdasarkan poin. Mengantar penumpang untuk jarak jauh dan pesanan tertentu seperti pengantaran makanan dihargai dengan poin lebih tinggi. Namun pesanan jenis ini juga memakan lebih banyak biaya bagi pengemudi karena mereka harus menanggung bahan bakar dan parkir.
Agar bisa mengambil bonus, pengemudi harus meraih 60-75% rata-rata tingkat penerimaan pesanan (persentase pekerjaan yang tuntas dari seluruh pesanan, atau persentase performa) dan mendapat rating 4,5 dari penumpang.
Sistem semacam ini, menurut Aulia membentuk pola yang disebut “gamification of work” atau kerja yang dibuat menyerupai permainan. Perusahaan menentukan target pencapaian penghasilan yang mendorong pengemudi untuk bekerja lebih lama dan lebih keras.
“Kerja pengemudi tidak hanya sesederhana memberikan tumpangan tapi juga permainan matematika: pengemudi harus terus mengkalkulasi poin, bonus, persentase performa, dan rating agar mendapatkan upah yang cukup,” ujar Aulia.
Dengan kata lain, perusahaan berupaya menutupi praktik ekploitasi tenaga kerja dalam bingkai retorika kebebasan, fleksibilitas, dan kemitraan. Retorika ini bertumpu pada konsep konvensional hubungan kerja yakni pemberi kerja memiliki alat produksi dan membayar upah per jam. “Kenyataan bahwa perusahaan hanya menyediakan aplikasi selalu ditekankan untuk menciptakan kesan bahwa pengemudi bukanlah pekerja,” pungkas dia.
Posisi Lemah Pengemudi sebagai ‘Mitra’
Sementara itu, Sosiolog Universitas Indonesia, Ganda Upaya menjelaskan, hasil penelitian tersebut pada dasarnya menunjukkan posisi driver yang lemah disebabkan oleh (1) surplus tenaga kerja di perkotaan, (2) pemerintah yang menekankan Uber, Gojek dan Grab mengurangi kemacetan dan membuka lapangan pekerjaan, dan (3) transportasi online dianggap lebih murah dan cepat.
Ganda menekankan, posisi driver yang lemah ini terjadi karena kurang terorganisir dan tidak didukung oleh elemen masyarakat yang lain, seperti lembaga pemerintahan seperti DPRD, juga organisasi buruh lainnya.
“Konflik terjadi karena otoritas manager atau perusahaan lebih dominan dari buruh atau drivers dimana kepentingan perusahaan dipertaruhkan dengan menekan atau mendominasi para drivers. Tuntutan drivers sekedar perbaikan ekonomi, tidak menegasikan perusahaan-perusahaan tersebut,” terang Ganda, kepada Warta Pilihan, Selasa, (10/10/2017).
Di sisi lain, Anang Ghazali selaku pemerhati dunia marketing mengatakan, aturan perusahaan sepanjang tidak melanggar apa yang ditetapkan pemerintah tidak ada masalah, selama driver menyetujui dan menerima aturan tersebut.
“Ojeg online bikin aturan yang terkesan menang sendiri karena perusahaan ojeg online banyak diminati,” pungkas Anang.
“Perusahaan merasa kalau para driver nggak suka dengan aturan itu, silahkan keluar. Di sini mereka punya bargain yg kuat. Posisi driver lemah. Bentuk serikat kerja driver bagus untuk upaya nego ke perusahaan,” tandasnya.
Eveline Ramadhini