Pengkhianatan Sang Pahlawan Planet
Menurut ‘’striker’’ kelompok pendukung Ahok ini, masa depan IPB terancam oleh calon rektor yang hampir semuanya sektarian.
Wartapilihan.com, Bogor –Pesta demokrasi intelektual pemilihan calon rektor IPB (Institut Pertanian Bogor) periode 2017-2022 berlangsung mulus hingga babak ‘’semi final’’. Dari 24 bakal calon, terseleksi 6 kandidat terbaik, dan akhirnya mengerucut pada tiga nama utama. Prof Yonny Koesmaryono, Prof Muh Yusram Massijaya, dan Dr Arif Satria, akan bertemu di babak ‘’final’’ dalam sidang paripurna Majelis Wali Amanat (MWA) IPB pada November mendatang.
“MWA sebagai forum pengambil keputusan tertinggi IPB, perguruan tinggi berbadan hukum (PTN-BH) akan memilih dan menetapkan rektor terpilih dari tiga calon rektor yang diajukan oleh Senat Akademik IPB melalui sidang paripurna,” kata Ketua MWA IPB Prof M A Chozin usai mengumumkan nama ketiga calon rektor pada Senin (09/10) di Gedung Rektorat Andi Hakim Nasoetion IPB.
Hasil penjaringan calon rektor pengganti Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto MSc yang sudah dua periode menjabat, itu disambut positif oleh seluruh alumni IPB. Baik yang tergabung dalam wadah ‘’pelat merah’’ maupun ‘’pelat hitam’’.
Dengan tagar #KamiBersamaAlmamater, Grup Facebook Ikatan Alumni IPB (IA-IPB) tegas menerima hasil-hasil pemilihan calon rektor.
Himpunan Alumni IPB (HA-IPB) sami mawon. Wadah alumni ‘’pelat merah’’ ini semula mengajukan jago sendiri yakni Prof Wiku Bakti Bawono Adisasmito, Dr Bayu Krisnamurti, dan Dr Rinekso Soekmadi. Mereka menyisihkan dua bakal calon lainnya yakni Prof Dr Damayanti Buchori dan Prof Dr Hermanto Siregar.
Para jagoan HA-IPB terseleksi melalui konvensi dengan sejumlah panelis seperti Prof Dr Rhenald Kasali dan Prof FG Winarno.
Walau kandidat-kandidatnya gagal melaju di bursa pencalonan, HA-IPB tetap berjiwa besar. Mereka menghormati keputusan Senat Akademik dan mendukung penuh proses pemilihan Rektor yang dilakukan dengan metode scientific justification. Demikian seperti disampaikan Ketua Umum DPP HA-IPB Dr Bambang Hendroyono dalam keterangan pers pada 30 September lalu.
Kekompakan IPB dan almamaternya tersebut sempat dinodai manuver Dewan Pembina (Debina) HA-IPB. Mereka menyurati Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir agar seleksi calon rektor IPB ditunda.
Sebelumnya, pada Jumat (29/9), Debina HA-IPB juga sudah menyurati Ketua Senat Akademik IPB terkait proses pemilihan rektor. Surat berisi keprihatinan atas metodologi proses seleksi dari 24 menjadi 6 bakal calon rektor IPB.
Surat itu diteken Ketua Debina HA-IPB Nurcahyo Adi, Iriana Ekasari, Aunur Rofiq, Suwidi Tono, Nurul Almy Hafild, Edhy Aruman, dan Imam Soeseno.
Yang paling ‘’militan’’ dalam menentang hasil pemilihan calon rektor IPB adalah Nurul Almy Hafild. ‘’Striker’’ kelompok pendukung Ahok (Basuki Tjahja Purnama) ini, di laman Facebook-nya menulis, dari 6 orang calon rektor yang terseleksi, hanya satu orang yang dikenal tidak sektarian. Namun, katanya, diketahui mempunyai hubungan keluarga dengan ketua salah satu partai.
‘’Kalau 3 yang terpilih adalah BCR (bakal calon rektor –red) yang terindikasi dekat dengan partai dan golongan sektarian, maka jangan harap IPB akan berubah, malah kecenderungan sektarian akan makin menguat,’’ tulis perempuan yang dikenal sebagai Emmy Hafild, itu.
Dalam perasaan Emmy, IPB yang dulu sangat terbuka, sangat toleran, saat ini bernuansa tirani mayoritas. ‘’Civitas academica IPB kalau mau maju sebagai pimpinan, harus mendapat dukungan dari golongan tertentu dan yang merupakan “representatif” dari partai tertentu pula yang sektarian,’’ celotehnya dalam posting tertanggal 7 Oktober 2017 pukul 7:46 pm.
Menurut Mantan Ketua Himpunan Profesi Mahasiswa Agrometeorologi IPB, Rokim Askar AK, sikap Emmy Hafild itu mengkhianati orangtuanya sendiri. Emmy yang lahir di Pertumbukan, Sumatera Utara, 3 April 1958, adalah anak seorang aktivis Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) – sebuah partai ‘’sektarian’’ yang dilarang Belanda waktu itu.
Setelah menjadi ‘’Ahoker’’, Emmy juga berkhianat pada 34 tahun pengabdiannya berjuang di sektor lingkungan hingga menjabat Direktur Walhi Nasional (1996-1999 dan 1999-2001) dan Greenpeace Southeast Asia.
Menolak bersekutu dengan korporat ‘’Naga’’, pada Oktober 2015 Emmy mundur dari Greenpeace Indonesia. “Lega rasanya, saya memutuskan untuk berhenti menjadi supporter Greenpeace Indonesia. Karena saya kecewa dan marah dengan strategi constructive engagement Greenpeace dengan perusahaan besar (Sinar Mas, APRIL, APP dan WILMAR) yang terlibat dalam kebakaran lahan gambut,” tulis Emmy Hafild di laman facebook miliknya, Kamis (29/10/2015).
Tetapi begitu menjadi juru bicara gerombolan ‘’Badja’’ (Basuki-Djarot), kepedulian lingkungan Emmy berubah secara diametral. Ia yang pada 1999 dinobatkan sebagai salah satu ‘’Hero of The Planet’’ versi Majalah Time, dikritik sesama aktivis lingkungan karena membela kebijakan Gubernur Ahok yang tidak ramah-lingkungan. Misalnya penggusuran warga pinggir kali, pembangunan 6 ruas jalan tol kota Jakarta, dan reklamasi Teluk Jakarta yang penuh pat-gulipat.
Bowo